Novel Twilight (New Moon), ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada orang
tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight (New Moon) Bab 18 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – TAMAT Bab 18
Sudah bisa ditebak, perang
potret pun terjadi. Kulihat mereka mengedarkan kamera ke sekeliling meja,
tertawa terbahak-bahak, berpose, dan mengeluh karena difoto dalam keadaan
jelek. Anehnya, tingkah mereka terasa kekanak-kanakan bagiku. Mungkin aku saja
yang sedang tidak mood untuk bersikap
layaknya manusia normal hari ini.
"Waduh," kata Jessica
dengan nada meminta maaf saat mengembalikan kamera padaku.
"Sepertinya kami
menghabiskan filmmu."
"Tidak apa-apa. Aku sudah
memotret semua yang perlu kupotret kok."
Usai sekolah, Edward mengantarku ke lapangan parkir sambil
membisu. Aku harus bekerja lagi, dan sekali ini aku justru merasa senang.
Bersamaku ternyata tidak membantu memperbaiki keadaan.
Mungkin kalau ia sendirian justru akan membuat suasana hatinya
lebih baik. Aku memasukkan filmku ke Thriftway dalam perjalanan ke Newton's,
kemudian mengambil fotofoto yang sudah dicuci cetak sepulang kerja.
Di rumah aku menyapa Charlie sekilas, menyambar sebungkus granola bar dari dapur, lalu bergegas
masuk ke kamar sambil mengempit amplop berisi foto-foto itu.
Aku duduk di tengah ranjang dan
membuka amplop itu dengan sikap ingin tahu bercampur waswas. Konyolnya, aku
masih separo berharap foto pertama akan menampilkan bidang kosong. Waktu
mengeluarkannya, aku terkesiap dengan suara keras.
Edward tampak sama tampannya
dengan aslinya, menatapku dengan sorot hangat yang kurindukan beberapa hari
belakangan ini.
Sungguh luar biasa bagaimana
seseorang bisa tampak begitu... begitu... tak terlukiskan. Seribu kata pun
takkan mampu menandingi foto ini. Dengan cepat aku melihat-lihat sekilas foto
lain dalam tumpukan, lalu menjejerkan tiga di antaranya di tempat tidur.
Foto pertama adalah foto Edward
di dapur, sorot matanya yang hangat memancarkan kegembiraan. Foto kedua adalah
foto Edward dan Charlie, menonton ESPN. Perbedaan ekspresi Edward tampak nyata.
Sorot matanya tampak hati-hati
di sini, tidak ramah. Masih tetap sangat tampan, namun wajahnya terkesan lebih
dingin, lebih menyerupai patung, kurang hidup. Terakhir foto Edward dan aku
berdiri berdampingan dengan sikap canggung.
Wajah Edward sama seperti dalam
foto terakhir, dingin dan menyerupai patung. Kekontrasan di antara kami sangat
menyakitkan. Ia tampak bagai dewa. Aku tampak sangat biasa, bahkan untuk ukuran
manusia, nyaris polos. Kubalik foto itu dengan perasaan jijik.
Bukannya mengerjakan PR, aku malah begadang untuk
memasukkan foto-foto itu ke album. Dengan
bolpoin aku membuat catatan di
bawah semua foto, nama-nama dan tanggalnya. Aku sampai pada foto Edward dan
aku, dan, tanpa memandanginya terlalu lama, melipatnya jadi dua dan
menyelipkannya ke sudut logam, sisi Edward menghadap ke atas.
Setelah selesai, aku
menjejalkan tumpukan foto kedua ke amplop yang masih baru, lalu menulis surat
terima kasih yang panjang untuk Renee. Edward masih belum datang juga.
Aku tak ingin mengakui dialah
alasanku begadang hingga larut begini. Aku berusaha mengingat kapan terakhir
kali ia tidak datang, tanpa alasan, tanpa menelepon... Ternyata tidak pernah.
Lagi-lagi, aku tak bisa tidur nyenyak.
Sama seperti dua hari
sebelumnya, suasana di sekolah juga tetap penuh kebisuan yang menegangkan dan
membuat frustrasi. Aku lega waktu melihat Edward menungguku di lapangan parkir,
tapi kelegaan itu sirna dengan cepat. Tak ada perubahan dalam dirinya, kecuali
mungkin ia lebih menjauh.
Sulit rasanya mengingat alasan
dari semua kekacauan ini. Hari ulang tahunku rasanya telah lama berselang.
Kalau saja Alice kembali. Segera. Sebelum keadaan jadi makin tak terkendali
lagi. Tapi aku tak bisa bergantung pada hal itu.
Aku sudah memutuskan kalau aku
tak bisa bicara dengan Edward hari ini, benar-benar bicara, aku akan menemui
Carlisle besok. Aku harus melakukan sesuatu.
Sepulang sekolah Edward dan aku akan membicarakannya
sampai tuntas, aku berjanji pada diriku sendiri. Aku tak mau menerima alasan
apa pun.
Edward mengantarku ke trukku,
dan aku menguatkan diri untuk melontarkan tuntutan.
"Keberatan tidak kalau aku datang ke
rumahmu hari ini?" tanya Edward sebelum kami sampai ke truk, menduluiku.
"Tentu saja tidak."
"Sekarang?" tanya
Edward lagi, membukakan pintu untukku.
“Tentu," aku menjaga
suaraku tetap datar, walaupun tidak menyukai nada mendesak dalam suaranya.
"Aku hanya akan memasukkan
surat untuk Renee ke bus surat dalam perjalanan pulang. Sampai ketemu di
rumah." Edward memandangi amplop tebal di jok trukku.
Tiba-tiba ia mengulurkan tangan
dan menyambarnya.
"Biar aku saja"
ujarnya pelan.
"Dan aku akan tetap lebih
cepat sampai di rumah daripada kau." Ia menyunggingkan senyum separo
favoritku, tapi kesannya lain. Matanya tidak memancarkan senyum itu.
"Oke," aku setuju,
tak mampu membalas senyumnya. Edward menutup pintu, lalu berjalan ke mobilnya.
Memang benar Edward sampai lebih dulu di rumahku. Ia
sudah memarkir mobilnya di tempat Charlie biasa parkir waktu aku menghentikan
trukku di depan rumah. Itu pertanda buruk.
Berarti ia tidak berniat lama-lama
di rumahku. Aku menggeleng dan menghela napas dalamdalam, berusaha menabahkan
hati.
Edward turun dari mobil waktu
aku keluar dari trukku, lalu berjalan menghampiriku. Ia mengulurkan tangan,
mengambil tasku. Itu normal. Tapi ia menyurukkannya lagi ke jok truk.
Itu tidak normal.
"Ayo jalan-jalan
denganku," ajaknya, suaranya tanpa emosi. Ia meraih tanganku.
Aku tidak menjawab. Aku tak
punya alasan untuk memprotes, tapi aku langsung tahu apa yang kuinginkan. Aku
tidak menyukainya. Ini gawat, ini benar-benar gawat, suara di kepalaku berkata
berulang-ulang.
Tapi Edward tidak menunggu
jawabanku. Ditariknya aku ke sisi timur halaman, tempat hutan berbatasan dengan
halaman. Aku mengikutinya meski dalam hati menolak, berusaha berpikir di
sela-sela kepanikan yang melandaku.
Inilah yang kuinginkan, aku
mengingatkan diriku sendiri. Kesempatan untuk membicarakannya sampai tuntas.
Jadi mengapa kepanikan ini mencekikku?
Kami baru beberapa langkah
memasuki pepohonan ketika Edward berhenti. Kami bahkan belum sampai di jalan
setapak—aku masih bisa melihat rumahku.
Begini kok dibilang
jalan-jalan.
Edward bersandar di pohon dan memandangiku, ekspresinya tak
terbaca.
Penutup Novel Twilight (New Moon) – TAMAT Bab 18
Gimana Novel twilight (New Moon) – Port TAMAT Bab
18 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab
berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab
berikutnya dengan mengklik tombol navigasi bab di bawah ini.
0 comments: