Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 125 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – ACARA ISTIMEWA Bab 125
“Tidak juga,” katanya singkat.
“Jangan marah pada Billy,” desahku.
“Dia hanya mengkhawatirkan diriku demi kebaikan
Charlie. Bukan apa-apa.”
“Aku tidak marah pada Billy,” ia meralat tajam.
“Tapi anak laki-lakinya membuatku jengkel.” Aku
menarik tubuhku agar bisa memandangnya.
Wajahnya sangat serius.
“Kenapa?”
“Pertama-tama dia membuatku mengingkari janjiku
sendiri.”
Aku menatapnya tidak mengerti.
Ia setengah tersenyum.
“Aku sudah berjanji takkan melepaskanmu malam ini,”
ia menjelaskan.
“Oh. Well,
aku memaafkanmu.”
“Terima kasih. Tapi ada hal lain.” Wajah Edward
cemberut.
Aku menunggu dengan sabar.
“Dia menyebutmu cantik,” akhirnya ia meneruskan
katakatanya,
kerutan di wajahnya semakin nyata.
“Mengingat penampilanmu saat ini, itu bisa dibilang
menghina. Kau lebih dari sekadar cantik.”
Aku tertawa. “Kau mungkin sedikit bias.”
“Kurasa tidak. Lagi pula, aku punya daya lihat yang
sempurna.”
Kami kembali berdansa, kakiku di atas kakinya saat ia
menarikku lebih dekat.
“Jadi, apakah kau akan menjelaskan alasan untuk semua
ini?” aku bertanya-tanya.
Ia menunduk menatapku, bingung, dan aku memandang
pita kertas krep dengan penuh arti. Ia berpikir sebentar kemudian mengubah
arah, memutarmutar
tubuhku melewati keramaian menuju pintu belakang gym.
Sekilas aku sempat melihat Jessica dan Mike yang setang berdansa sambil
memandangiku penasaran. Jessica melambai, dan aku balas tersenyum padanya.
Angela juga ada di sana, tampak luar biasa bahagia
dalam pelukan si kecil Ben Cheney; Angela tak pernah melepaskan pandangannya
dari Ben, yang sedikit lebih pendek daripadanya. Lee, Samantha, Lauren, dan
Conner menatap kami geram; aku bisa menyebutkan semua orang yang menari
melewatiku. Kemudian kami sampai di luar, di bawah cahaya temaram matahari
terbenam serta udara sejuk.
Begitu kami sendirian, ia menggendong dan membawaku
melintasi halaman yang gelap ke bangku di bawah bayangan pepohonan madrone.
Ia duduk di sana, sambil terus memelukku erat di
dadanya. Bulan telah muncul di langir, rampak jelas di antara awan-awan tipis,
dan wajahnya bertambah pucat dalam cahaya putih.
Mulutnya tegang, matanya resah.
“Intinya?” aku memulai dengan lembut.
Ia mengabaikanku, menatap bulan.
“Twilight, lagi,” gumamnya.
“Akhir yang lain. Tak peduli berapa sempurna sebuah
hari, toh harus berakhir juga.”
“Beberapa hal tak perlu berakhir,” gumamku setengah
mendesis, langsung tegang.
Ia mendesah.
“Aku membawamu ke prom,” katanya pelan, akhirnya
menjawab pertanyaanku,
“karena aku tak ingin kau kehilangan momen apa pun.
Aku tak ingin kehadiranku menjauhkanmu dan segala peluang kalau aku bisa
membuatnya terjadi. Aku ingin kau menjadi manusia. Aku ingin hidupmu berjalan
seperti seharusnya seandainya aku mati pada tahun 1918.”
Aku bergidik mendengar kata-katanya, lalu menggeleng
marah.
“Dalam dimensi paralel aneh manakah aku bakal pernah
mau pergi ke prom atas keinginanku sendiri? Seandainya kau tidak seribu kali
lebih kuat dariku, aku takkan pernah membiarkanmu membawaku kemari.” Ia
tersenyum sekilas, tapi senyum itu tidak menyentuh matanya.
“Kau sendiri yang bilang ini tidak terlalu buruk.”
“Itu karena aku bersamamu.”
Beberapa saat kami terdiam. Ia menatap bulan dan aku
menatapnya. Kuharap ada cara untuk menjelaskan betapa aku sama sekali tidak
tertarik pada kehidupan manusia yang normal.
“Maukah kau memberirahuku sesuatu?” tanyanya,
menunduk, menatapku seraya tersenyum simpul.
“Bukankah aku selalu melakukannya?”
“Berjanjilah kau akan memberitahuku,” desaknya,
tersenyum.
Aku tahu aku bakal langsung menyesalinya.
“Baiklah.”
“Kau sepertinya benar-benar terkejut saat mengetahui
aku akan membawamu ke sini,” ia memulai.
“Memang” selaku.
“Tepat,” ia menyetujui.
“Tapi kau pasti sudah punya teori lain... aku
penasaran—kaupikir kenapa aku mendandanimu seperti ini?”
Benar, aku langsung menyesal.
Kucibirkan bibirku, raguragu.
“Aku tidak ingin memberitahumu.”
“Kau sudah berjanji,” tukasnya keberatan.
“Aku tahu.”
“Apa masalahnya?”
Aku tahu ia mengira perasaan malulah yang menahanku.
“Kurasa itu akan membuatmu marah—atau sedih.”
Alisnya bertaut di atas matanya saat ia
memikirkannya.
“Aku masih ingin tahu. Kumohon.” Aku mendesah. Ia
menunggu.
“Well. Aku menduga
itu semacam... acara istimewa. Tapi aku tidak berpikir ini kegiatan manusia
biasa... prom!” ejekku.
“Manusia?” tanyanya datar. Ia memilih kata kuncinya.
Aku memandangi gaunku, memainkan chiffon-nya. Ia menunggu dalam diam.
“Oke,” aku buru-buru mengaku.
“Aku berharap kau mungkin berubah pikiran... bahwa
kau akan mengubahku, akhirnya.”
Berbagai emosi muncul bergantian di wajahnya. Aku
mengenali beberapa di antaranya: amarah... sedih... kemudian ia tampak senang.
“Kaupikir itu sejenis acara resmi, ya?” godanya
sambil menyentuh kerah tuksedonya.
Aku cemberut untuk menyembunyikan rasa maluku.
“Aku kan tidak tahu. Setidaknya bagiku ini lebih
masuk akal daripada prom.” Ia masih nyengir.
“Tidak lucu, tahu,” kataku.
“Tidak, kau benar, ini tidak lucu,” ia menimpali,
senyumnya memudar. “Meskipun begitu aku lebih suka menganggapnya lelucon,
daripada percaya bahwa kau serius.”
“Tapi aku memang serius.”
Ia menghela napas dalam. “Aku tahu. Dan kau
benarbenar menginginkannya?”
Kepedihan itu kembali tampak di matanya. Kugigit
bibirku dan mengangguk
“Kau siap mengakhiri semua ini,” gumamnya, nyaris
kepada dirinya sendiri,
“siap menjadikan ini akhir hidupmu, meskipun hidupmu
bahkan belum dimulai. Kau siap merelakan semuanya.”
“Ini bukan akhir, ini baru permulaan,” sergahku,
suaraku berbisik.
“Aku tidak pantas mendapatkannya,” katanya sedih. “Kau
ingat waktu kaubilang aku tidak melihat diriku sendiri dengan sangat jelas?”
tanyaku, satu alisku terangkat.
“Kau sama butanya denganku.”
“Aku tahu siapa diriku.” Aku mendesah.
Penutup Novel Twilight – ACARA
ISTIMEWA Bab 125
Gimana Novel twilight – Port ACARA ISTIMEWA Bab 125 ? keren kan ceritanya.
Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan
khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik
tombol navigasi bab di bawah ini.
0 comments: