Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 122 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – ACARA ISTIMEWA Bab 122
EPILOG: ACARA ISTIMEWA
EDWARD membantuku naik ke mobilnya, sangat
berhati-hati dengan sutra dan shiffon-nya, bunga-bunga yang baru saja
disematkannya di rambutku yang ditata ikal penuh gaya, serta tongkat
berjalanku.
Ia mengabaikan bibirku yang cemberut sangat marah.
Setelah aku duduk nyaman, ia menyelinap ke jok pengemudi, dan melaju mundur
dari jalanan sempit dan panjang itu.
“Kapan tepatnya kau akan memberitahuku apa yang
terjadi?” gerutuku.
Aku benar-benar tidak suka kejutan.
Dan ia tahu itu.
“Aku benar-benar terkejut kau belum mengetahuinya
juga.” Ia tersenyum mengejek, dan aku tercekat. Apakah aku bakal terbiasa
dengan kesempurnaannya?
“Aku sudah bilang kau terlihat sangat tampan, bukan?”
ujarku.
“Sudah.” Ia tersenyum.
Aku belum pernah melihatnya mengenakan hitam. Warna itu
sangat kontras dengan kulitnya yang pucat, membuat ketampanannya benar-benar
bagaikan mimpi.
Itu tak dapat kusangkal, bahkan kalaupun kenyataan dirinya
mengenakan tuksedo membuatku sangat gugup.
Tidak segugup yang ditimbulkan gaunku.
Atau sepatu yang kukenakan. Sepatuku hanya satu,
berhubung kakiku yang lain masih rapat terbalut gips. Tapi hak stiletto yang
kukenakan hanya dipegangi tali sutra, dan itu jelas takkan membantuku saat
berjalan terpincang-pincang begini.
“Aku takkan bertamu lagi kalau Alice akan
memperlakukanku seperti Barbie Percobaan,” sahutku seraya mencengkeram jok
kursi.
Aku menghabiskan sebagian besar hariku di kamar Alice
yang sangat luas, menjadi korban tak berdaya saat ia berperan jadi penata
rambut dan penata rias. Setiap kali aku merasa tak nyaman atau mengeluh, ia
mengingatkanku bahwa ia sama sekali tidak ingat bagaimana rasanya menjadi
manusia, dan memintaku tidak menghancurkan kesenangannya.
Kemudian ia memakaikan gaun paling konyol— warna biru
gelap, berimpel, dan tanpa lengan, dengan label berbahasa Prancis yang tak
kumengerti—gaun yang lebih cocok dikenakan dalam peragaan busana daripada di
Forks.
Tak ada yang bagus dari pakaian formal kami, aku
yakin itu. Kecuali... tapi aku takut menguraikan kecurigaanku, bahkan dalam
pikiranku sendiri. Perhatianku teralih dering telepon. Edward mengeluarkan
ponsel dari saku dalam jasnya, melihat sebentar ke layar sebelum menjawab.
“Halo, Charlie,” sahutnya hati-hati.
“Charlie?” Dahiku berkerut.
Charlie... agak sedikit kurang bersahabat sejak
kepulangan-ku ke Forks. Ia menyikapi pengalaman burukku dalam dua sikap.
Terhadap Carlisle, ia teramat sangat bersyukur dan
berterima kasih. Di sisi lain ia sangat yakin semua ini salah Edward—sebab
kalau bukan karena Edward, aku tidak akan meninggalkan rumah. Dan Edward sama
sekali tidak menentangnya.
Belakangan ini Charlie memberlakukan beberapa
peraturan yang tak pernah diterapkannya padaku sebelumnya: jam malam... jam
berkunjung.
Sesuatu yang dikatakan Charlie membuat mata Edward
membelalak rak percaya, kemudian senyuman langsung mengembang di wajahnya.
“Kau bercanda!” Ia tertawa.
“Ada apa?” desakku.
Ia mengabaikanku.
“Biarkan aku bicara padanya,” saran Edward,
kegembiraannya tampak nyata.
Ia menunggu sebentar.
“Halo, Tyler, ini Edward Cullen.” Suaranya sangat
ramah, tapi hanya di permukaan.
Aku mengenalnya cukup baik untuk menangkap kejailan
di baliknya. Apa yang dilakukan Tyler di rumahku? Kebenaran mengerikan mulai
terbentuk di benakku. Sekali lagi aku memandang gaun yang kukenakan atas
paksaan Alice itu.
“Aku menyesal kalau ada semacam kesalahpahaman, tapi
Bella sudah punya teman kencan malam ini.” Nada suara Edward berubah, dan
ancaman dalam suaranya tibatiba jauh lebih nyata saat ia melanjutkan
kata-katanya.
“Dan sejujurnya dia tidak akan punya waktu untuk
siapa pun kecuali aku, setiap malam. Jangan tersinggung. Aku menyesal malammu
tidak menyenangkan.” Ia sama sekali tidak terdengar menyesal.
Kemudian ia menutup telepon, senyum lebar menghiasi
wajahnya.
Wajah dan leherku merah padam karena marah. Aku bisa
merasakan air mata kemarahan menggenangi mataku. Ia terkejut melihatku.
“Apakah bagian terakhir tadi kelewatan? Aku tak
bermaksud menyinggung perasaanmu.” Aku mengabaikan kata-katanya.
“Kau mengajakku ke prom!” teriakku. Sekarang semua
sudah jelas.
Kalau saja aku memerhatikan sejak awal, aku yakin pasti
bisa melihat tanggal di poster-posrer di seluruh penjuru sekolah. Tapi aku tak
pernah menyangka ia bakal mengajakku. Tidakkah Edward mengenalku sama sekali?
Ia tidak mengira reaksiku bakal begitu, itu sudah
jelas. Ia mengatupkan bibir dan matanya menyipit. “Jangan mempersulit keadaan.
Bella.”
Aku menoleh ke luar jendela; kami sudah setengah
jalan menuju sekolah.
“Kenapa kau melakukan ini padaku?” tanyaku cemas. Ia
menunjuk tuksedonya.
“Sungguh, Bella, menurutmu apa yang kita lakukan?”
Aku merasa dipermalukan. Pertama, karena aku tidak
melihat apa yang tampak jelas di depan mata. Juga karena kecurigaan
samar—sebenarnya harapan—yang berkembang di hatiku seharian ini, mengingat
Alice mencoba mengubahku jadi ratu kecantikan, benar-benar jauh melenceng.
Harapanku yang setengah mengerikan kelihatannya
sangat konyol sekarang.
Aku sudah menduga sesuatu sedang terjadi. Tapi prom,
yang benar saja! Itu sama sekali tak terpikirkan olehku.
Air mata kemarahan menetes di pipiku. Aku cemas
mengingat aku tak terbiasa mengenakan maskara. Bergegas kuusap bagian bawah
mataku agar maskaranya tidak belepotan.
Tanganku tidak hitam ketika kutarik; barangkali Alice
tahu aku membutuhkan makeup antiair.
“Ini benar-benar konyol. Kenapa kau menangis?” tanya
Edward kesal.
“Karena aku marah!”
“Bella.” Mata keemasannya menatapku lekat-lekat.
“Apa?” gumamku, bingung.
“Ayolah,” desaknya.
Tatapannya mencairkan segenap amarahku. Mustahil
bertengkar dengannya kalau ia bersikap curang seperti itu.
Aku menyerah.
“Baiklah.” Bibirku mencebik, aku tak mampu
memelototinya segalak yang kuinginkan.
“Aku akan ikuti maumu. Tapi nanti akan kaulihat.
Nasib burukku belum berakhir. Barangkali aku akan mematahkan kakiku yang lain.
Lihat sepatu ini! Ini jerat kematian!” Aku menjulurkan kakiku yang sehat
sebagai buktinya.
“Hmmm.” Ia memandangi kakiku lebih lama dari
seharusnya.
“Ingatkan aku untuk berterima kasih pada Alice untuk
hal itu nanti malam.”
“Alice akan datang?” Ini sedikit menenangkan. “Bersama Jasper, dan Emmett... dan Rosalie,” ia mengakui.
Penutup Novel Twilight – ACARA
ISTIMEWA Bab 122
Gimana Novel twilight – Port ACARA ISTIMEWA Bab 122 ? keren kan ceritanya.
Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan
khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik
tombol navigasi bab di bawah ini.
0 comments: