Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 120 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – JALAN BUNTU Bab 120
Ia tidak mengatakan apa-apa; ia memerhatikan wajahku
dengan saksama ketika rasa sakit yang tak ada hubungannya dengan tulang-tulang
yang patah, rasa sakit yang jauh lebih parah, mengancam menghancurkanku.
Kemudian perawat lain melangkah pasti memasuki ruangan. Edward duduk tak
bergerak saat perawat mengamati ekspresiku dengan pandangan terlatih, sebelum
beralih ke monitor.
“Waktunya untuk obat penghilang sakit. Sayang?”
tanyanya ramah, sambil menepuk-nepuk kantong infus.
“Tidak, tidak,” gumamku, berusaha menghilangkan
kepedihan dari suaraku.
“Aku tidak membutuhkan apaapa.” Aku tak bisa
memejamkan mata sekarang.
“Tak perlu berpura-pura berani. Sayang. Sebaiknya kau
tidak terlalu tegang; kau perlu beristirahat.” Ia menunggu, tapi aku hanya
menggeleng.
“Baiklah,” ia mendesah.
“Tekan saja tombol bantuan kalau kau sudah siap.”
Ia memandang Edward serius, dan sekali lagi melirik,
waswas mesin-mesin itu, lalu pergi.
“Sssstt, Bella, tenanglah.”
“Jangan tinggalkan aku.” Aku memohon, suaraku parau
“Aku takkan meninggalkanmu,” ia berjanji.
“Sekarang tenanglah sebelum aku memanggil perawat
untuk memberimu obat penenang.” Tapi jantungku tak mau tenang.
“Bella.” Ia membelai wajahku hati-hati.
“Aku takkan ke mana-mana. Aku akan ada di sini selama
kau membutuhkanku.”
“Kau bersumpah takkan meninggalkanku?” bisikku.
Setidaknya aku mencoba mengendalikan napasku yang tersengal-sengal. Rusukku
nyeri.
Ia meletakkan tangannya di kedua sisi wajahku dan
mendekatkan wajahnya ke wajahku. Matanya lebar dan serius.
“Aku bersumpah.”
Aroma napasnya menenangkan. Sepertinya meringankan rasa
nyeri yang muncul ketika aku bernapas. Ia terus menatapku sementara tubuhku
pelan-pelan rileks dan suara bip mesin kembali normal. Matanya berwarna gelap,
lebih mendekati hitam daripada keemasan.
“Lebih baik?” tanyanya.
“Ya,” sahutku hati-hati.
Ia menggeleng dan menggumamkan sesuatu yang tak kumengerti.
Kurasa aku memilih kata
“overreaction – bereaksi berlebihan.”
“Mengapa kau bilang begitu?” aku berbisik, menjaga
suaraku agar tidak gemetaran.
“Apakah kau lelah menyelamatkanku setiap saat? Kau
ingin aku pergi?”
“Tidak, aku tak ingin tanpa dirimu. Bella, tentu saja
tidak. Yang benar saja. Dan aku juga senang-senang saja menyelamatkanmu—jika
saja bukan karena fakta bahwa akulah yang justru menempatkanmu dalam bahaya...
bahwa akulah alasan kau berada di sini.”
“Ya, kaulah penyebabnya.” Aku merengut. “Alasan aku
berada di sini—hidup-hidup.”
“Nyaris,” ia berbisik. “Dibalut perban dan plester
dan nyaris tak bisa bergerak.”
“Maksudku bukan pengalaman nyaris mati yang baru saja
kualami ini,” kataku, mulai jengkel.
“Aku sedang memikirkan yang lain—kau boleh pilih.
Kalau bukan karena kau, aku sudah membusuk di pemakaman Forks.” Ia meringis
mendengar kata-kataku, tapi raut khawatir tak enyah juga dari wajahnya.
“Meski begitu, itu bukan yang terburuk,” ia melanjutkan
berbisik, seolah-olah aku tak pernah mengatakan apa-apa.
“Yang terburuk bukanlah saat melihatmu di sana, terbaring
di lantai... meringkuk dan terluka.” Suaranya tercekat.
“Yang terburuk bukanlah berpikir bahwa aku terlambat.
Bahkan bukan mendengarmu menjerit kesakitan—semua ingatan mengerikan itu akan
kubawa bersamaku sepanjang masa. Bukan, yang paling parah adalah merasa...
mengetahui bahwa aku tak bisa berhenti. Percaya aku sendirilah yang akan
membunuhmu.”
“Tapi kau tidak membunuhku.”
“Aku bisa saja. Semudah itu.”
Aku tahu aku harus tetap tenang... tapi ia mencoba
membujuk dirinya sendiri untuk meninggalkanku, dan rasa panik mencekat
paru-paruku, mencoba melepaskan diri.
“Berjanjilah padaku.” Aku berbisik.
“Apa?”
“Kau tahu maksudku.” Aku mulai marah sekarang. Ia
benar-benar bersikeras untuk terus berpikir negatif.
Ia mendengar perubahan pada nada suaraku. Tatapannya
tajam.
“Sepertinya aku tak cukup kuat untuk berada jauh
darimu, Jadi kurasa kau akan menemukan caranya... entah itu akan membunuhmu
atau tidak.” Ia menambahkan dengan kasar.
“Bagus.” Meski begitu ia tidak berjanji—fakta itu tak
terlewatkan olehku.
Kepanikanku nyaris tak terbendung; tak ada lagi kekuatan
yang tersisa dalam diriku untuk mengendalikan amarahku.
“Kau memberitahuku bagaimana kau berhenti... sekarang aku
mau tahu kenapa,” desakku.
“Kenapa?” ulangnya hati-hati.
“Kenapa kau melakukannya. Kenapa kau tak membiarkan
racunnya menyebar? Saat ini aku akan sama seperti dirimu.”
Mata Edward sepertinya berubah
hitam, dingin, dan aku ingat, ia tak ingin aku mengetahui hal seperti ini.
Alice pasti terlalu disibukkan
oleh hal-hal tentang dirinya yang baru diketahuinya... atau ia sangat
berhati-hati dengan pikirannya ketika berada di sekitar Edward—jelas Edward
tidak tahu Alice telah memberitahuku tentang penciptaan vampir.
Ia terkejut, marah. Lubang
hidungnya kembangkempis, mulutnya seolah dipahat dan batu. Ia tidak akan
menjawab, itu sangat jelas.
“Aku akan menjadi yang pertama mengakui bahwa aku tak
berpengalaman menjalin hubungan,” kataku. “Tapi kelihatannya masuk akal...
seorang laki-laki dan perempuan seharusnya sederajat... salah satu dari mereka
tak bisa selalu menghambur dan menyelamatkan yang lain. Mereka harus saling
menyelamatkan satu sama lain.”
Ia melipat tangan dan meletakkannya di sisi tempat
tidurku, lalu meletakkan dagunya di sana. Raut wajahnya lembut, kemarahannya
mereda.
Sepertinya ia telah memutuskan ia tidak marah padaku.
Kuharap aku punya kesempatan untuk mengingatkan Alice sebelum Edward
menemuinya.
“Kau telah menyelamatkanku,” katanya pelan.
“Aku tidak bisa selalu menjadi Lois Lane,” aku
berkeras.
“Aku juga ingin jadi Superman.”
“Kau tidak tahu apa yang kauminta.” Suaranya lembut;
ia menatap lekat-lekat ujung sarung bantal.
“Kurasa aku tahu.”
“Bella, kau tidak tahu. Aku telah melewati hampir
sembilan puluh tahun memikirkan hal ini, dan aku masih tidak yakin.”
“Apa kau berharap Carlisle tidak menyelamatkanmu?”
“Tidak, aku tidak berharap begitu.” Ia berhenti
sebelum melanjutkan,
“Tapi hidupku sudah berakhir. Aku tidak menyerahkan
apa pun.”
“Kaulah hidupku. Hanya kehilangan dirimu yang bisa
menyakitiku.” Aku semakin baik dalam hal ini. Mudah rasanya mengakui betapa aku
membutuhkannya.
Penutup Novel Twilight – JALAN
BUNTU Bab 120
Gimana Novel twilight – Port JALAN BUNTU Bab 120 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa
yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya.
Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik tombol navigasi bab di bawah ini.