Novel Twilight (New Moon), ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada orang
tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight (New Moon) Bab 12 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – JAHITAN Bab 12
"Memang," Carlisle
sependapat.
"Yang terjadi malam ini
adalah apa yang paling ditakutinya bakal terjadi. Membahayakanmu, karena
keadaan kami yang seperti ini."
"Itu bukan salahnya."
"Bukan salahmu juga."
Aku mengalihkan tatapanku dan
mata Carlisle yang indah dan bijak. Aku tidak sependapat dengannya.
Carlisle mengulurkan tangan dan
membantuku berdiri. Kuikuti dia ke ruang utama. Esme sudah kembali; sedang
mengepel lantai tempatku jatuh tadi—dengan cairan desinfektan murni tanpa
campuran kalau menilik dari baunya.
"Esme, biar aku
saja," Bisa kurasakan wajahku kembali merah padam.
"Aku sudah selesai."
Esme mendongak dan tersenyum padaku.
"Bagaimana
keadaanmu?"
"Baik-baik saja," aku
meyakinkan dia.
"Carlisle menjahit lebih
cepat daripada dokter lain yang pernah menanganiku." Mereka berdua
tertawa.
Alice dan Edward muncul dari
pintu belakang. Alice bergegas mendapatiku, tapi Edward berdiri agak jauh,
ekspresinya sulit digambarkan.
"Ayolah," ajak Alice.
"Akan kucarikan sesuatu
yang tidak begitu mengerikan untuk dipakai." Alice menemukan kemeja Esme
yang warnanya mendekati warna bajuku tadi.
Charlie tak bakal memerhatikan,
aku yakin. Perban putih panjang di lenganku tidak tampak terlalu serius setelah
aku tak lagi memakai baju yang berlepotan bercak darah. Charlie toh tak pernah
terkejut melihatku diperban.
“Alice," bisikku saat ia kembali berjalan menuju
pintu.
"Ya?" Suara Alice
tetap pelan, memandangiku dengan sikap ingin tahu, kepalanya ditelengkan ke
satu sisi.
"Seberapa parah?" Aku
tak yakin apakah berbisik-bisik begini ada gunanya.
Walaupun kami di lantai atas,
dengan pintu tertutup, mungkin ia tetap bisa mendengarku. Wajah Alice menegang.
"Aku belum bisa memastikan."
"Jasper bagaimana?"
Alice mendesah. "Dia
sangat kesal pada dirinya sendiri. Itu memang lebih sulit baginya dibanding
bagi yang lain, dan dia tidak suka merasa diri lemah."
"Itu bukan salahnya. Bisa
tolong katakan padanya aku tidak marah, sama sekali tidak marah padanya, bisa,
kan?"
"Tentu saja."
Edward menungguku di pintu
depan. Begitu aku sampai di kaki tangga, ia membukakan pintu tanpa sepatah kata
pun.
"Bawa
barang-barangmu!" pekik Alice waktu aku berjalan waswas menghampiri
Edward.
Ia meraup kedua bungkusan, yang
satu baru separo terbuka, serta kameraku dari bawah piano, dan menjejalkan
semuanya ke lekukan lenganku yang tidak terluka.
"Kau bisa mengucapkan
terima kasih belakangan, kalau sudah membuka kado-kadomu!” Esme dan Carlisle
mengucapkan selamat malam dengan suara pelan. Sempat kulihat mereka diam
Tiraikasih diam melirik putra mereka yang diam seribu bahasa, sama seperti aku.
Lega rasanya berada di luar;
aku bergegas melewati deretan lentera dan mawar yang kini mengingatkanku pada
peristiwa tak mengenakkan tadi. Edward berjalan di sampingku tanpa bicara. Ia
membukakan pintu penumpang untukku, dan aku naik tanpa protes.
Di atas dasbor terpasang pita
merah besar, menempel di stereo yang baru. Kurenggut pita itu dan kubuang ke
lantai. Waktu Edward naik di sampingku, kutendang pita itu ke bawah kursi.
Edward tidak melihat ke arahku ataupun stereo
itu. Kami juga tidak menyalakannya, dan entah bagaimana kesunyian justru
semakin terasa oleh raungan mesin yang tiba-tiba. Edward ngebut terlalu kencang
melintasi jalan yang gelap dan berkelok-kelok.
Kesunyian itu membuatku
sinting.
“Katakan sesuatu," pintaku
akhirnya saat Edward berbelok memasuki jalan raya.
"Kau ingin aku bilang apa?"
tanyanya dengan sikap menjauh.
Aku meringis melihat sikapnya
yang tak mau mendekat.
"Katakan kau memaafkan
aku." Perkataanku itu menimbulkan secercah kehidupan di wajahnya—secercah
amarah.
"Memaafkanmu? Untuk
apa?"
"Seandainya aku lebih berhati-hati, tidak akan
terjadi apa-apa.”
"Bella, jarimu hanya
teriris kertas—itu bukan alasan untuk mendapat hukuman mati."
"Tetap saja aku yang
salah."
Kata-kataku seolah membobol
bendungan.
"Kau yang salah? Kalau
jarimu teriris kertas di rumah Mike Newton, dan di sana ada Jessica, Angela,
dan teman-teman normalmu lainnya, apa hal terburuk yang mungkin terjadi?
Mungkin mereka tidak bisa menemukan plester untukmu? Kalau kau terpeleset dan
menabrak tumpukan piring kaca karena ulahmu sendiri—bukan karena ada yang mendorongmu—bahkan
saat itu pun, hal terburuk apa yang bisa terjadi? Paling-paling darahmu
berceceran mengotori jok mobil saat mereka mengantarmu ke UGD? Mike Newton bisa
memegangi tanganmu saat dokter menjahitmu— dan dia tidak perlu berjuang melawan
dorongan untuk membunuhmu selama berada di sana. Jangan menyalahkan dirimu
sendiri dalam hal ini, Bella. Itu hanya akan membuatku semakin jijik pada
diriku sendiri."
"Bagaimana bisa Mike Newton
dibawa-bawa dalam pembicaraan ini?" tuntutku.
"Mike Newton dibawa-bawa dalam
pembicaraan ini karena akan jauh lebih aman kalau kau berpacaran saja dengan
Mike Newton," geram Edward.
"Lebih baik mati daripada berpacaran dengan Mike
Newton." protesku.
"Aku lebih baik mati daripada berpacaran dengan
orang lain selain kau.”
"Jangan sok melodramatis, please"
"Kalau begitu, kau juga
tidak usah ngomong yang bukan-bukan."
Edward tidak menjawab. Ia
menatap garang ke luar kaca, ekspresinya kosong. Aku memeras otak, mencari cara
untuk menyelamatkan malam ini. Tapi sampai truk berhenti di depan rumahku, aku
masih belum menemukan caranya.
"Kau akan menginap malam
ini?" tanyaku.
"Sebaiknya aku
pulang."
Hal terakhir yang kuinginkan
adalah Edward berkubang dalam perasaan bersalah.
"Untuk ulang
tahunku," desakku.
"Tidak bisa dua-duanya—kau
ingin orang mengabaikan hari ulang tahunmu atau tidak. Pilih salah satu,"
Nadanya kaku, tapi tidak seserius sebelumnya.
Diam-diam aku mengembuskan napas
lega.
"Oke. Aku sudah memutuskan
aku tidak mau kau mengabaikan hari ulang tahunku. Kutunggu kau di atas."
Aku melompat turun, meraih
kado-kadoku. Edward mengerutkan kening.
"Kau tidak perlu membawanya."
“Aku menginginkannya," jawabku otomatis, kemudian
bertanya-tanya dalam hati apakah Edward menggunakan teknik psikologi terbalik.
“Tidak, itu tidak benar. Carlisle dan Esme
mengeluarkan uang untuk membeli kadomu."
Penutup Novel Twilight (New Moon) – JAHITAN Bab 12
Gimana Novel twilight (New Moon) – Port JAHITAN Bab
12 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab
berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab
berikutnya dengan mengklik tombol navigasi bab di bawah ini.
0 comments: