Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 119 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – JALAN BUNTU Bab 119
“Tapi kau tak perlu lagi, dasar bodoh,” ia tertawa.
“Phil bisa tinggal bersama kita lebih sering lagi
sekarang... kami sudah sering membicarakannya, dan kalau dia harus melakukan
perjalanan jauh, aku akan tinggal separuh waktu denganmu dan separuh lagi
dengannya.”
“Mom.” Aku meragu, bertanya-tanya bagaimana bersikap
diplomatis tentang hal ini.
“Aku ingin tinggal di Forks. Aku sudah bisa menyesuaikan
diri dengan baik di sekolah, dan aku punya beberapa teman cewek”—ia melirik ke
arah Edward lagi saat aku mengingatkannya aku punya teman, jadi aku mencoba
alasan lain—
“dan Charlie membutuhkanku. Dia sebatang kara di sana, dan
dia sama sekali tak bisa memasak.”
“Kau mau tinggal di Forks?” tanyanya, heran.
Ide ini tak terbayangkan olehnya. Lalu matanya
kembali melirik
Edward. “Kenapa?”
“Sudah kubilang–sekolah, Charlie–aduh!” Aku
mengangkat bahu.
Bukan ide bagus. Tangannya bergerak ke sana kemari,
mencoba menemukan bagian rubuhku yang bisa ditepuk-tepuk. Ia menaruh tangannya
di dahiku, karena bagian itu tidak diperban.
“Bella, Sayang, kau tidak menyukai Forks,” ia
mengingatkanku.
“Tidak terlalu buruk, Mom.”
Ia merengut, lalu memandangku dan Edward bergantian,
kali ini benar-benar disengaja.
“Apakah karena anak laki-laki ini?” bisiknya.
Aku hendak berbohong tapi mata Mom mengamati wajahku,
dan aku tahu ia bisa melihat jawabannya di sana. “Dia salah satu alasannya,”
aku mengakui. Tak perlu kuakui, dialah alasan terbesarku. “Apakah kau sempat
berbicara dengan Edward?” tanyaku.
“Ya.” Ia bimbang memandangi
Edward yang diam tak bergerak.
“Dan aku ingin bicara denganmu
rentang hal ini.” O-ow.
“Tentang apa?” tanyaku.
“Kurasa anak laki-laki itu jatuh cinta padamu,”
tuduhnya, berusaha menjaga suaranya tetap pelan.
“Aku juga berpikir begitu,” ujarku.
“Dan bagaimana perasaanmu padanya?” Ia tak bisa
menutupi rasa penasaran dalam suaranya.
Aku mendesah, memalingkan wajah. Meskipun aku sangar
menyayangi ibuku, ini bukan sesuatu yang ingin kubicarakan dengannya.
“Aku cukup tergila-gila padanya.” Nah—itu
kedengarannya seperti sesuatu yang mungkin dikatakan seorang remaja cewek
centang cowok pertamanya.
“Well, dia
kelihatan sangat baik, dan, ya Tuhanku, dia luar biasa tampan, tapi kau masih
sangat muda. Bella...” Suaranya terdengar ragu-ragu; sejauh yang bisa kuingat,
inilah pertama kalinya sejak aku berusia delapan tahun ia nyaris menunjukkan
otoritasnya sebagai orangtua.
Aku mengenali nada masuk-akal-namun-tegas dari
percakapan yang pernah kualami dengannya ketika membahas cowok.
“Aku tahu itu, Mom. Jangan khawatir. Aku Cuma
naksir,” aku menenangkannya.
“Benar,” ia menimpali, langsung senang.
Kemudian ia mendesah, dan dengan perasaan bersalah
melirik jam bundar besar di dinding.
“Kau harus pergi?” Ia menggigit bibir.
“Phil seharusnya menelepon sebentar lagi... Aku tak
tahu kau akan segera sadar...”
“Tidak apa-apa, Mom.” Aku berusaha menyembunyikan
rasa legaku supaya perasaannya tidak terluka.
“Aku tidak akan sendirian.”
“Aku akan segera kembali. Aku tidur di sini, kau
tahu,” ujarnya, bangga pada dirinya sendiri.
“Oh, Mom, kau tak perlu melakukannya! Kau bisa tidur
di rumah—aku takkan menyadarinya.” Pengaruh obat penghilang sakit di otakku
membuatku sulit berkonsentrasi sekarang, meski nyatanya aku telah tidur
berhari-hari.
“Aku terlalu tegang,” ia mengakui malu-malu.
“Telah terjadi tindak kejahatan di kompleks kita, dan
aku tidak suka berada di sana sendirian.”
“Kejahatan?” tanyaku kaget.
Seseorang menerobos ke studio tari di pojokan dekat
rumah dan membakarnya hingga rata dengan tanah—sama sekali tak bersisa! Dan
mereka meninggalkan mobil curian tepat di halaman depan. Kau ingat dulu kau
menari di sana,
Sayang?”
“Aku ingat.” Aku bergidik dan meringis ngeri.
“Aku bisa tinggal. Sayang kalau kau membutuhkanku.”
“Tidak, Mom. Aku akan baik-baik saja. Edward akan
menemaniku.”
Ekspresinya menunjukkan bahwa sepertinya itulah alasannya
ingin tinggal.
“Aku akan kembali malam ini.” Kedengarannya itu seperti
peringatan sekaligus janji, dan ia kembali menatap Edward saat mengucapkannya.
“Aku sayang kau, Mom.”
“Aku juga sayang kau. Bella. Cobalah untuk lebih
berhari-hari ketika berjalan. Sayang, aku tak ingin kehilangan dirimu.”
Mata Edward tetap terpejam, tapi senyum lebar
mengembang di wajahnya.
Perawat masuk untuk memeriksa
semua infusku dan kabel-kabel yang menempel di rubuhku. Mom mengecup dahiku,
menepuk-nepuk tanganku yang diperban, kemudian pergi.
Perawat memeriksa catatan di monitor jantungku.
“Kau tegang Sayang? Irama jantungmu sedikit lebih
tinggi di bagian ini.”
“Aku baik-baik saja,” aku meyakinkannya.
“Akan kuberitahu dokter bahwa kau sudah sadar. Dia
akan ke sini sebentar lagi.”
Begitu perawat menutup pinru, Edward langsung berada
di sisiku.
“Kau mencuri mobil?” Alisku terangkat.
Ia tersenyum, sama sekali tak menyesal. “Mobil bagus,
lajunya sangat cepat.”
“Bagaimana tidur siangmu?” tanyaku.
“Menarik.” Matanya menyipit.
“Apa?”
Ia menunduk ketika menjawab, “Aku terkejut. Kupikir
Florida... dan ibumu... Well, kupikir
itulah yang kauinginkan.”
Aku menatapnya tak mengerti.
“Tapi kau harus berada di dalam ruangan seharian bila
berada di Florida. Kau hanya bisa keluar pada malam hari, seperti vampir
sejati.” Ia nyaris tersenyum, tapi tidak juga.
Lalu wajahnya serius.
“Aku akan tinggal di Forks, Bella. Atau di mana pun
yang keadaannya seperti di sana,” ia menjelaskan.
“Di tempat aku tak bisa melukaimu lagi.”
Awalnya aku tak langsung memahaminya. Aku terus
menatapnya hampa saat kata-katanya satu per satu tersusun dalam benakku bagai
kepingan puzzle mengerikan. Aku nyaris tak menyadari detak jantungku yang
semakin memburu, meskipun, saat napasku semakin liar, aku merasakan nyeri di
dadaku.
Penutup Novel Twilight – JALAN
BUNTU Bab 119
Gimana Novel twilight – Port JALAN BUNTU Bab 119 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa
yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya.
Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik tombol navigasi bab di bawah ini.
0 comments: