Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 118 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – JALAN BUNTU Bab 118
“Kenapa kau ada di sini?” aku bertanya.
Ia menatapku, pertama bingung, kemudian kepedihan
terpancar di matanya. Alisnya bertaut saat wajahnya menekuk.
“Kau ingin aku pergi?”
“Tidak!” protesku, ngeri membayangkannya.
“Bukan, maksudku, kenapa ibuku pikir kau ada di sini?
Aku harus tahu apa yang harus kuceritakan saat dia kembali.”
“Oh,” kata Edward, dahinya kembali mulus bak pualam.
“Aku datang ke Phoenix untuk berbicara dari hati ke hati.
Untuk meyakinkanmu agar kembali ke Forks.” Matanya yang lebar tampak jujur dan
tulus, hingga aku sendiri nyaris memercayainya.
“Kau setuju menemuiku, dan kau mengemudi ke hotel tempatku
menginap bersama Carlisle dan Alice— tentu saja aku ke sini dengan ditemani
orangtua,” ia menambahkannya lugu,
“tapi kau terpeleset ketika sedang naik tangga menuju
kamarku dan... well, kau tahu
kelanjutannya. Tapi kau tak perlu mengingat detailnya; kau punya alasan bagus
untuk tidak mengingatnya dengan jelas.”
Aku memikirkannya beberapa saat.
“Ada beberapa kekurangan dalam cerita itu. Tak ada
jendela yang pecah, misalnya.
“Tidak juga,” katanya.
“Alice terlalu banyak bersenangsenang ketika
menciptakan barang bukti. Semua telah diatasi, kami membuatnya sangat
meyakinkan—barangkali kau bisa menuntut hotelnya kalau mau. Kau tak perlu
mengkhawatirkan apa pun.” Ia berjanji, mengusap pipiku dengan sentuhan paling
ringan.
“Sekarang tugasmu hanya sembuh.”
Aku tidak terlaju tenggelam dalam rasa sakit atau
pengaruh obat hingga tak bereaksi terhadap sentuhannya. Suara bip di monitor
langsung bergerak tak terkendali— sekarang bukan ia satu-satunya yang bisa
mendengar irama jantungku yang mendadak liar.
“Ini bakal memalukan,” gumamku pada diri sendiri.
Ia tertawa, dan tatapannya mengira-ngira. “Hmmm, aku
jadi penasaran...”
Ia mencondongkan tubuh perlahan; suara bip semakin
cepat bahkan sebelum bibirnya menyentuh bibirku. Tapi ketika akhirnya bibir
kami bersentuhan, meskipun teramat lembut, bunyi bip itu mendadak berhenti.
Ia langsung tersentak, ekspresi waswasnya berubah
lega saat monitor menunjukkan jantungku berdetak lagi.
“Sepertinya aku harus lebih berhati-hati lagi
denganmu daripada biasanya.” Dahinya berkerut.
“Aku belum selesai menciummu,” aku mengeluh.
“Jangan buat aku pergi menghampirimu.”
Ia tersenyum, dan membungkuk untuk mencium lembut
bibirku. Monitor langsung bergerak kacau lagi.
Tapi kemudian bibirnya menegang. Ia menarik diri.
“Kurasa aku mendengar ibumu,” katanya, tersenyum.
“Jangan tinggalkan aku,” aku berseru, rasa panik yang
tak masuk akal merasukiku.
Aku tak bisa membiarkannya pergi—ia mungkin akan
menghilang dariku lagi. Sekejap ia melihat ketakutan di mataku.
“Aku takkan meninggalkanmu,” ia berjanji,
sungguh-sungguh, kemudian tersenyum.
“Aku akan tidur siang.”
Ia pindah dari kursi plastik keras di sampingku ke
sofa recliner dari kulit sintetis warna turquoise di ujung tempat tidur, lalu
berbaring dan memejamkan mata. Posisinya diam tak bergerak.
“Jangan lupa bernapas,” bisikku sinis. Ia menarik
napas panjang, matanya masih terpejam.
Aku bisa mendengar ibuku sekarang. Ia sedang
berbicara dengan seseorang barangkali perawat, dan ia terdengar lelah dan
sedih.
Ingin rasanya aku melompat dari tempat tidur dan
berlari padanya, untuk menenangkannya, meyakinkan semuanya baik-baik saja. Tapi
keadaanku tak memungkinkan aku melompat, jadi aku menunggunya dengan tidak
sabar.
Terdengar suara pintu berderit, dan ia mengintip dari
sana.
“Mom!” aku berbisik, suaraku
penuh sayang dan lega. Ia melihat Edward yang tertidur di sofa recliner dan
berjingkat menghampiriku.
“Dia tak pernah pergi, ya kan?” gumamnya pada diri
sendiri.
“Mom, aku senang sekali bertemu denganmu!” Ia
membungkuk dan memelukku lembut, dan aku merasakan air mata hangat menetes di
pipiku.
“Bella, aku sedih sekali!”
“Maafkan aku, Mom. Tapi sekarang semua baik-baik
saja, tidak apa-apa,” aku mencoba menenangkannya.
“Aku senang akhirnya kau tersadar.” Ia duduk di tepi tempat
tidur.
Aku tiba-tiba menyadari aku tak tahu ini hari apa.
“Berapa lama aku tak sadarkan diri?”
“Sekarang hari Jumat. Sayang, kau tak sadar cukup
lama.”
“Jumat?” Aku terkejut. Aku mencoba mengingat hari
ketika...
tapi aku tak ingin memikirkannya.
“Mereka harus terus memberimu obat penenang untuk
sementara waktu, Sayang—luka-lukamu parah sekali.”
“Aku tahu.” Aku bisa merasakannya.
“Kau beruntung dr. Cullen ada di sana. Dia baik,
meskipun masih sangat muda. Dan dia lebih mirip model daripada dokter...”
“Kau bertemu Carlisle?”
“Dan adik Edward, Alice. Dia
gadis menyenangkan.”
“Memang,” aku menimpali sepenuh
hati. Ia menoleh ke arah Edward, yang berbaring di kursi dengan mata terpejam.
“Kau tidak bilang punya
temanteman yang baik di Forks.”
Aku tersenyum, kemudian mengerang.
“Apa yang sakit?” Mom bertanya waswas, kembali
menghadapku.
Mata Edward berkilat menatapku.
“Tidak apa-apa,” aku meyakinkan mereka.
“Aku hanya perlu mengingat untuk tidak bergerak.”
Edward kembali pura-pura tidur.
Aku mengambil kesempatan untuk mengalihkan topik.
“Di mana Phil?” tanyaku cepat.
“Di Florida—oh, Bella! Kau takkan menyangka! Tepat
sebelum berangkat, kami mendapat berita terbaik!” “Phil mendapatkan kontrak?”
aku menebaknya.
“Ya! Bagaimana kau tahu? The Suns, kau percaya?” “Itu
hebat, Mom,” kataku, berusaha terdengar bersemangat, meskipun aku tidak begitu
mengerti apa artinya itu.
“Dan kau akan sangat menyukai Jacksonville,” Mom
sibuk meracau sementara aku hanya terpaku menatapnya.
“Aku sedikit khawatir saat Phil mulai membicarakan
Akron, salju dan semuanya, karena kau tahu betapa aku sangat membenci dingin,
tapi sekarang Jacksonville! Matahari selalu bersinar, dan kelembabannya tak
seburuk itu. Kami menemukan rumah yang paling menggemaskan, warna kuning dengan
bingkai putih, dan teras persis seperti di film-film tua, dan pohon ek raksasa,
dan jaraknya hanya beberapa menit dari laut, dan kau akan memiliki kamar
mandimu sendiri—“
“Mom, tunggu sebentar!” selaku.
Mata Edward masih terpejam, tapi ia kelihatan terlalu tegang untuk bisa
dibilang tidur.
“Apa yang kaubicarakan? Aku
takkan pergi ke Florida. Aku tinggal di Forks.”
Penutup Novel Twilight – JALAN
BUNTU Bab 118
Gimana Novel twilight – Port JALAN BUNTU Bab 118 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa
yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya.
Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik tombol navigasi bab di bawah ini.
0 comments: