Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 115 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – PETAK UMPET Bab 115
“Kau tahu, vampir yang begitu tololnya untuk jatuh
cinta pada korban kecilnya ini mengambil keputusan yang tak sanggup diambil
oleh Edward-mu yang lemah itu. Ketika vampir tua itu tahu aku mengincar teman
kecilnya, dia menculik gadis itu dari rumah sakit jiwa tempatnya bekerja—aku
takkan pernah mengerti obsesi yang dimiliki beberapa vampir terhadap kalian
manusia—dan begitu vampir tua itu membebaskannya, dia membuat gadis itu aman.
Gadis itu sepertinya bahkan tidak merasakan sakitnya, makhluk kecil malang. Dia
telah terperangkap di lubang hitam itu terlalu lama. Ratusan tahun sebelumnya
dia bisa saja dibakar karena penglihatannya. Pada tahun 1920-an, hukumannya
adalah rumah sakit jiwa dan terapi syok. Ketika gadis itu membuka mata,
kemudaannya yang baru membuatnya kuat, seolah-olah dia belum pernah melihat
matahari. Si vampir tua menjadikannya vampir baru yang kuat, dan tak ada alasan
lagi bagiku untuk menyentuhnya.” Ia mendesah.
“Sebagai balas dendam, aku menghancurkan si vampir
tua.”
“Alice,” desahku, terkejut.
“Ya, teman kecilmu. Aku terkejut melihatnya di
lapangan itu. Jadi kurasa pengalaman ini tidak buruk-buruk amat bagi
kelompoknya. Aku mendapatkanmu, tapi mereka mendapatkannya. Satu-satunya korban
yang berhasil kabur dariku. Suatu kehormatan, sebenarnya.
“Dan aromanya memang sangat lezat, aku masih menyesal
tak sempat mencicipinya... Aromanya bahkan lebih lezat daripada kau. Maaf – aku
tak bermaksud menyinggungmu. Aroma tubuhmu sangat menyenangkan. Bunga-bungaan,
bagaimanapun...”
Ia maju selangkah lagi, sampai jaraknya tinggal
beberapa senti. Ia mengangkat beberapa helai rambutku dan mengendusnya dengan
lembut. Lalu perlahan-lahan ia mengembalikannya lagi di tempat semula, dan aku
merasakan ujung jarinya yang dingin di leherku.
Ia mengangkat tangannya dan mengelu pipiku sekilas
dengan ibu jarinya, wajahnya penasaran Aku ingin sekali menjauhkan diri
darinya, tapi tubuhku membeku Aku bahkan tak bisa beringsut.
“Tidak,” gumamnya pada diri sendiri, lalu menjatuhkan
tangannya,
“aku tak mengerti.” Ia mendesah.
“Well,
kurasa kita selesaikan saja sekarang. Kemudian aku bisa menelepon teman-temanmu
dan memberitahu mereka di mana bisa menemukanmu, dan pesan kecilku.” Aku
benar-benar mual sekarang.
Ada rasa sakit yang mendekat, dan aku bisa melihat di
matanya. Ia tidak akan puas hanya dengan menang memangsaku, lalu pergi. Takkan
berakhir cepat seperti yang kuharapkan. Lututku gemetaran, dan aku khawatir
bakal jatuh.
Ia melangkah mundur dan mulai mengelilingiku, dengan
wajar, seakan-akan mencari sudut pandang yang lebih baik dari patung di museum.
Wajahnya masih ramah dan terbuka saat memutuskan dari
mana harus memulai. Kemudian ia mencondongkan tubuh, dan senyumnya yang menawan
perlahan melebar, semakin lebar, hingga tidak menyerupai senyuman sama sekali
melainkan deretan gigi, terpapar jelas dan berkilauan.
Aku tak dapat menahan diri—aku mencoba lari. Sama
sia-sianya seperti yang kuperkirakan, selemah lututku saat itu. Kepanikan
menguasaiku dan aku melesat ke pintu darurat.
Dalam sekejap ia sudah di depanku. Aku tidak melihat
apakah ia menggunakan tangan atau kakinya, terlalu cepat. Entakan keras
menghantam dadaku—tubuhku melayang ke belakang dan aku mendengar suara pecahan
saat kepalaku menghantam cermin. Kacanya hancur berantakan,
serpihan-serpihannya berserakan dan bertebaran di lantai di sampingku.
Aku kelewat terkejut untuk bisa merasakan sakit. Aku
tak bisa bernapas, perlahan-lahan ia menghampiriku.
“Itu efek yang sangat menyenangkan,” katanya,
mengamati kaca-kaca yang berserakan, suaranya kembali ramah.
“Kupikir ruangan ini cukup dramatis untuk film
sederhanaku. Itu sebabnya aku memilih tempat ini untuk berjumpa denganmu.
Sempurna, ya kan?” Aku mengabaikannya, dengan tangan dan lutut aku merangkak ke
pintu lain.
Ia langsung menghadangku, kakinya menginjak kakiku.
Aku mendengar suara keretak itu sebelum merasakannya. Tapi
kemudian aku merasakannya, dan aku tak dapat menahan jerit kesakitanku. Aku
berbalik untuk meraih kakiku, dan ia berdiri menjulang di atasku, tersenyum.
“Apakah kau mau memikirkan kembali permintaan terakhirmu?”
tanyanya ramah.
Ibu jari kakinya menekan kakiku yang patah dan aku mendengar
lengkingan kesakitan. Aku terkejut menyadari akulah yang menjerit itu.
“Tidakkah kau lebih ingin Edward berusaha mencariku?”
ujarnya.
“Tidak!” seruku parau.
“Tidak, jangan Edward –“ Lalu sesuatu menghantam
wajahku, melemparkanku kembali ke cermin yang sudah pecah.
Selain sakit di kakiku, aku merasakan robekan tajam
di kulit kepalaku, di tempat pecahan kaca itu menusukku. Cairan hangat mengalir
deras di antara helai rambutku. Aku bisa merasakannya membasahi bagian bahu
kausku, mendengarnya menetes-netes di lantai kayu di bawahku.
Aromanya membuatku mual.
Dalam keadaan pusing dan mual aku melihat sesuatu
yang tiba-tiba memberiku secercah harapan terakhir. Matanya, yang sebelumnya
penuh tekad, kini membara dengan hasrat tak terkendali.
Darah yang mengalir – meninggalkan noda kemerahan di
kaus putihku, dengan cepat menggenang di lantai – membuatnya sinting karena
dahaga. Terlepas dari tujuan awalnya, ia tak dapat menahan diri lebih lama.
Biarlah segera berlalu sekarang hanya itu yang bisa
kuharapkan saat aliran darah dari kepalaku mulai membuatku tak sadarkan diri.
Mataku memejam.
Aku mendengar, seolah dari kedalaman air, raungan terakhir si pemburu. Aku bisa melihat, lewat lorong panjang yang terbentuk di mataku, sosok gelapnya menghampiriku. Dengan kekuatan terakhir, tanganku terangkat menutup wajah. Mataku terpejam dan aku pun tak sadarkan diri.
Penutup Novel Twilight – PETAK
UMPET Bab 115
Gimana Novel twilight – Port PETAK UMPET Bab 115 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu
penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan khawatir kami telah
menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik tombol navigasi bab di bawah ini.
0 comments: