Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 114 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – PETAK UMPET Bab 114
“Maafkan hal tadi, Bella, tapi tidakkah lebih baik
kalau ibumu tak perlu terlibat urusan kita?” Suaranya sopan, ramah.
Dan tiba-tiba aku tersadar. Ibuku aman. Ia masih di
Florida. Ia tak pernah menerima pesanku. Ia tak pernah dibuat ketakutan oleh
mata merah gelap milik wajah amat pucat di depanku ini.
Ibuku aman. “Ya,” aku menjawab, suaraku lega. “Kau
tak terdengar marah meskipun aku telah mengelabuimu.”
“Memang tidak.” Suaraku yang tiba-tiba meninggi
memicu keberanianku.
Apa artinya sekarang? Sebentar lagi segalanya bakal
berakhir.
Charlie dan Mom takkan pernah terluka, tak perlu
merasa takut. Aku nyaris pusing. Bagian analitis dalam benakku mengingatkan
bahwa aku nyaris meledak akibat tekanan yang kurasakan.
“Betapa aneh. Kau benar-benar tulus dengan
perkataanmu” Matanya yang gelap menilaiku dengan sangat tertarik.
Iris nyaris hitam, hanya ada sedikit nuansa kemerahan
di sekelilingnya. Haus.
“Kalian manusia bisa lumayan menarik. Kurasa aku bisa
membayangkan gambaranmu. Mengagumkan – sebagian kalian sepertinya sama sekali
tidak memikirkan kepentingan sendiri.” Ia berdiri beberapa meter dariku, tangan
dilipat, menatapku dengan sorot penasaran.
Tak ada kebengisan pada wajah atau sikap tubuhnya.
Tampangnya sangat biasa, sama sekali tak ada yang istimewa pada wajah maupun
tubuhnya.
Hanya kulitnya yang putih dan mata berkantong yang
sudah biasa bagiku. Ia mengenakan kaus lengan panjang biru pucat dan jins
belel.
“Kurasa kau akan memberitahuku bahwa kekasihmu akan
membalaskan dendam untukmu?” ia bertanya, dan bagiku ia seperti berharap-harap.
“Tidak, kurasa tidak. Setidaknya, aku memintanya
untuk tidak melakukannya.”
“Apa katanya?”
“Aku tidak tahu.” Rasanya aneh sekali bisa
berkomunikasi dengan pemburu yang sopan ini.
“Aku meninggalkan surat untuknya.”
“Betapa romantis, surat terakhir. Dan menurutmu dia
akan menghargainya?” Suaranya hanya sedikit tegang sekarang nada sinis mewarnai
nada bicaranya yang sopan.
“Kuharap begitu.”
“Hmmm. Well,
kalau begiru harapan kita berbeda. Kau tahu, semua ini sedikit terlalu mudah,
kelewat cepat. Sejujurnya, aku kecewa. Aku mengharapkan tantangan yang lebih
besar. Lagi pula, aku hanya memerlukan sedikit keberuntungan.” Aku menunggu
dalam diam.
“Ketika Victoria tak dapat menyentuh ayahmu, aku
menyuruhnya mencari tahu lebih banyak tentangmu. Tak ada gunanya berlari
mengejarmu ke seluruh dunia padahal aku bisa menunggu nyaman di tempat yang
kutentukan. Jadi, setelah berbicara dengan Victoria, kuputuskan untuk pergi ke
Phoenix mengunjungi ibumu. Kudengar kau ingin pulang. Awalnya, aku tak pernah
mengira kau bersungguhsungguh.
Kemudian aku bertanya-tanya. Manusia bisa sangat
mudah ditebak; mereka suka berada di tempat familier, tempat aman. Dan bukankah
ini rencana yang sempurna, pergi ke tempat terakhir yang mungkin menjadi tempat
persembunyianmu—tempat yang katamu akan kaudatangi.
“Tapi tentu saja aku tidak yakin, itu hanya dugaan.
Aku biasanya punya insting mengenai mangsa yang kuburu, kau boleh menyebutnya
indra keenam.
Aku mendengarkan pesanmu setibanya di rumah ibumu,
tapi tentu saja aku tak yakin dari mana kau menelepon. Memiliki nomormu tentu
sangat berguna, tapi kau bisa saja berada di Antartika, dan permainan ini
takkan berjalan kecuali kau di dekat-dekat sini.
“Kemudian kekasihmu naik pesawat ke Phoenix. Victoria
mengawasi mereka untukku, tentu saja. Dalam sebuah permainan dengan banyak
pemain, aku tak bisa bekerja sendirian, Jadi mereka memberitahu apa yang
kuharapkan, bahwa kau ada di sini. Aku sudah siap; aku telah menyaksikan semua
video rekamanmu yang menarik. Kemudian tinggal sedikit gertakan saja.”
“Sangat mudah, kau tahu, tidak terlalu memenuhi
standarku. Jadi. Begini, kuharap kau salah mengena, kekasihmu. Edward. Bukan?”
Aku tak menyahut. Nyaliku benar-benar ciut. Aku punya
firasat sebentar lagi ia akan mencapai tujuannya yang sebenarnya. Dan
kemenangannya sama sekali tak ada hubungannya denganku. Tak ada kepuasan dalam
mengalahkan diriku, manusia lemah ini.
“Apakah kau sangat keberatan kalau aku meninggalkan
pesan untuk Edward-mu?”
Ia mundur selangkah dan menyentuh video kamera
digital seukuran telapak tangan, dengan hati-hati meletakkannya di atas stereo.
Nyala lampu merah kecil menandakan alat itu sudah mulai merekam. Ia mengaturnya
beberapa kali, melebarkan lensanya. Aku menatapnya ngeri.
“Maafkan aku, tapi aku hanya berpikir dia takkan mampu
menahan diri untuk tidak memburuku setelah menyaksikan ini. Dan aku tak ingin
dia melewatkan apa pun. Tentu saja, ini semua untuknya. Kau hanya manusia, yang
sayang sekali berada di tempat yang salah, pada waktu yang salah, dan tak
diragukan lagi, boleh kutambahkan, berada bersama kelompok yang salah.”
Ia menghampiriku, tersenyum. “Sebelum kita mulai...”
Perutku mual ketika ia berbicara. Sesuatu yang tidak
kuperkirakan.
“Aku senang memanas-manasi sedikit. Sebenarnya
jawabannya sudah ada di sana selama ini, dan aku begitu takut Edward akan
mengetahuinya dan merusak kesenanganku. Hal seperti itu pernah terjadi, oh,
sudah lama sekali. Satu-satunya mangsaku yang berhasil kabur dariku.
Penutup Novel Twilight – PETAK
UMPET Bab 114
Gimana Novel twilight – Port PETAK UMPET Bab 114 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu
penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan khawatir kami telah
menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik tombol navigasi bab di bawah ini.
0 comments: