Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 113 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – PETAK UMPET Bab 113
Bisa kulihat wajahnya dengan sangat jelas
sekarang...bahkan mendengar suaranya. Dan terlepas dari semua ketakutan dan
keputusasaanku, aku merasa bahagia. Aku begitu larut dalam lamunan, sehingga
tak menyadari betapa cepat waktu berlalu.
“Hei, berapa nomornya?’
Pertanyaan sopir taksi membuyarkan lamunanku, dan
bayangan indahku pun lenyap. Rasa ngeri yang dingin dan tanpa kompromi menanti
untuk mengisi ruang kosong yang ditinggalkannya.
“Lima-delapan-dua-satu.” Suaraku tercekat. Sopir
taksi menatapku, khawatir aku sakit atau apa.
“Kalau begitu, kita sudah sampai.” Ia ingin sekali
mengeluarkanku dari mobilnya, barangkali berharap aku takkan meminta kembalian.
“Terima kasih,” bisikku.
Tak ada alasan untuk takut, aku mengingatkan diriku
sendiri. Rumahnya kosong. Aku harus bergegas; ibuku menantiku, ketakutan,
mengandalkan aku. Aku lari ke pintu, mengulurkan tangan ke atasnya dan
mengambil kunci. Kubuka pintunya.
Di dalam gelap, kosong, normal. Aku berlari
menghampiri telepon seraya menyalakan lampu dapur. Di sana, di whiteboard,
tampak sepuluh digit angka yang rapi. Jemariku gemetaran menekan nomor itu, beberapa
kali keliru. Aku harus menutup dan memulai lagi.
Kali ini aku hanya berkonsentrasi pada
tombol-tombolnya, dengan saksama menekannya satu per satu. Berhasil. Aku
mendekatkan gagang telepon ke telinga dengan tangan gemetar. Hanya berdering
satu kali.
“Halo, Bella,” suara tenang itu menyambut di ujung
telepon. “Ini sangat cepat. Aku terkesan.”
“Apakah ibuku baik-baik saja?”
“Dia sangat baik-baik. Jangan khawatir, Bella, aku
sama sekali tak punya masalah dengannya. Kecuali kau tidak datang sendirian, tentunya.”
Ringan, senang. “Aku sendirian.” Aku tak pernah sesendiri ini seumur hidupku.
“Bagus sekali. Sekarang, kau tahu studio balet di
belokan dekat rumahmu?”
“Ya, aku tahu jalan ke sana.”
“Well kalau
begitu, kita akan bertemu sebentar lagi” Aku menutup telepon.
Aku lari meninggalkan ruangan, melewati pintu muka,
menuju panas yang menyengat.
Tak ada waktu untuk menoleh dan memandang rumahku,
dan aku tak ingin melihatnya seperti saat ini— kosong, simbol rasa takut dan
bukannya tempat berlindung.
Orang terakhir yang memasuki ruang-ruang yang sangat
kukenal itu adalah musuhku.
Dari sudut mata aku nyaris bisa melihat ibuku berdiri
di bawah bayangan pohon kayu putih tempat aku biasa bermain ketika masih
kanak-kanak.
Atau berlutut di gundukan tanah di sekitar kotak pos,
makam segala macam bunga yang coba ditanam Mom. Ingatan-ingatan itu lebih baik
daripada kenyataan mana pun yang bakal kulihat hari ini.
Tapi aku menjauh dari semua itu, menuju belokan,
meninggalkan semua di belakangku.
Aku merasa sangat lamban, seperti berlari di pasir
basah— seolah-olah aku tak memiliki kekuatan untuk menyusuri jalanan ini.
Beberapa kali aku terpeleset, sekali jatuh, menahan
tubuhku dengan tangan, lalu tertatih-tatih bergerak maju. Tapi akhirnya aku
sampai di ujung jalan.
Tinggal satu ruas jalan lagi sekarang. Aku berlari,
peluh menetes-netes di wajahku, napasku terengah-engah. Sinar matahari terasa
panas di kulitku. Kelewat terang saat memantul di aspal putih dan menyilaukan
pandangan.
Aku merasa terekspos habis-habisan. Lebih mengerikan
daripada yang pernah kubayangkan, aku kini mengharapkan hutanhutan hijau Forks
yang protektif rumahku.
Ketika berbelok di sudut terakhir, menuju Jalan Cactus aku
bisa melihat studio itu, seperti yang selama ini kuingat Lapangan parkir di
depannya kosong, semua kerai jendela tertutup.
Aku tak bisa lari lagi—aku tak sanggup bernapas, kelelahan
dan ketakutan mengalahkanku. Aku memikirkan ibuku agar bisa terus bergerak,
langkah demi langkah.
Ketika semakin dekat, aku bisa melihat tanda di balik pintu.
Ditulis tangan di atas kertas pink menyala, tulisan itu berbunyi
“studio tari ditutup selama libur musim semi”. Kusentuh
gagang pintunya, menariknya membuka perlahan. Tidak dikunci.
Aku berusaha mengatur napas, dan membuka pintu.
Lobi gelap dan kosong sejuk, terdengar deru suara
pendingin ruangan. Kursi plastik lipat ditumpuk sepanjang dinding karpetnya
beraroma sampo. Lantai dansa sebelah barat gelap, aku bisa melihatnya lewat
jendela yang terbuka.
Lampu-lampu di lantai dansa sebelah timur yang lebih
besar menyala, tapi kerai jendelanya tertutup. Ketakutan mencengkeramku begitu
kuat hingga seperti menjeratku. Aku tak bisa memaksa kakiku melangkah. Kemudian
suara ibuku memanggil.
“Bella? Bella?” Nada histeris yang sama. Aku berlari
ke pintu, menuju sumber suara.
“Bella, kau membuatku takut! Jangan pernah lakukan
itu lagi?” Suaranya berlanjut ketika aku berlari memasuki ruangan panjang
berlangit-langit tinggi itu.
Aku memandang sekelilingku, berusaha menemukan dan
mana datangnya suara Mom. Aku mendengarnya tertawa, dan aku pun berputar
menghadap ke arah suara itu.
Di sanalah dia, di layar televisi, mengacak-acak
rambutku merasa lega. Rekaman itu diambil saat Thanksgiving, waktu usiaku dua
belas. Kami pergi mengunjungi nenekku di California, itu tahun terakhir sebelum
ia meninggal.
Suatu hari kami ke pantai, dan aku menjulurkan
tubuhku terlalu jauh ke bibir dermaga. Ia melihatku nyaris jatuh, berusaha
menggapai keseimbangan.
“Bella? Bella?” ia memanggilku ketakutan.
Kemudian layar televisi berubah jadi biru.
Perlahan-lahan aku berbalik. James berdiri mematung
di ambang pintu belakang, begitu kaku hingga awalnya aku tak mengenalinya. Ia
memegang remote control.
Lama kami bertatapan, kemudian ia tersenyum. Ia berjalan menghampiriku, lumayan dekat, lalu melewatiku untuk meletakkan remote di sebelah VCR. Aku hati-hati berbalik, memerhatikannya.
Penutup Novel Twilight – PETAK
UMPET Bab 113
Gimana Novel twilight – Port PETAK UMPET Bab 113 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu
penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan khawatir kami telah
menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik tombol navigasi bab di bawah ini.