Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 112 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – PETAK UMPET Bab 112
Menit-menit berlalu dan waktu kedatangan Edward
semakin dekat. Betapa menakjubkan, setiap sel tubuhku sepertinya mengetahui
kedatangannya, menginginkan kedatangannya. Itu membuatnya sangat sulit. Aku
mendapati diriku memikirkan alasan untuk tetap tinggal,
untuk melihatnya dulu, baru melarikan diri. Tapi aku
tahu akan mustahil kabur jika Edward sudah di sini. Beberapa kali Alice
menawarkan menemaniku membeli sarapan. Aku memberitahunya belum ingin sarapan.
Aku memandang papan jadwal kedatangan, memerhatikan
saat penerbangan demi penerbangan tiba tepat waktu. Penerbangan dari Seattle
merangkak mendekati baris teratas.
Ketika aku hanya punya tiga puluh menit untuk
melarikan diri, angka-angka itu berubah. Pesawatnya tiba sepuluh menit lebih
cepat. Aku tak punya waktu lagi.
“Kurasa aku mau makan sekarang” kataku buru-buru.
Alice berdiri. “Aku ikut bersamamu.”
“Kau keberatan kalau Jasper saja yang menemaniku?”
tanyaku.
“Aku merasa sedikit...” Aku tidak menyelesaikan
kalimatku.
Mataku cukup liar sehingga bisa menyampaikan apa yang
tidak kukatakan.
Jasper bangkit berdiri. Mata Alice tampak bingung
tapi yang membuatku lega—ia tidak curiga. Ia pasti menganggap perubahan dalam
penglihatannya sebagai hasil rencana si pemburu, bukannya pengkhianatanku.
Jasper berjalan tanpa suara di sisiku, tangannya di
punggungku, seolah membimbingku. Aku berpura-pura tidak tertarik pada beberapa
kafe yang mula-mula kami lihat, pandanganku mencari-cari apa yang sesungguhnya
kuinginkan. Dan di sanalah, di belokan, di luar jangkauan mata Alice yang
tajam: toilet wanita lantai tiga.
“Kau keberatan?” tanyaku pada Jasper saat kami melintasinya.
“Aku tidak bakal lama.”
Begitu pintu menutup di belakang aku lari. Aku ingat
saat tersesat dari kamar mandi ini karena pintunya ada dua. Pintu yang lain tak
jauh dari lift. Aku hanya perlu lari sebentar, dan kalau Jasper tetap menunggu
di tempat, ia takkan bisa melihatku.
Aku tidak menoleh ke belakang saat berlari. Ini
satu-satunya kesempatanku, bahkan kalaupun Jasper melihat, aku harus terus
berlari.
Orang-Orang menatapku, tapi aku mengabaikannya. Di
belokan lift sudah menanti, dan aku berlari, mengulurkan tangan di antara
pintunya yang hampir menutup.
Lift itu penuh sesak oleh orang-orang yang akan
turun. Aku menyelinap di antara para pengguna lift yang kesal, dan memastikan
tombol lantai satu telah ditekan. Sudah menyala, dan pintu lift pun menutup.
Begitu pintunya membuka, aku lari lagi meninggalkan
gerutuan jengkel di belakangku. Aku memperlambat lariku saat melewati petugas
sekuriti di rel pemindai koper, dan lari lagi begitu mendekati pintu keluar.
Aku tidak tahu apakah Jasper sudah mulai mencariku atau
belum. Aku hanya punya bertapa detik kalau ia mengikuti bau tubuhku. Aku
melompat keluar dari pintu otomatis, nyaris menabrak kacanya ketika pintu itu
membuka terlalu pelan.
Tak ada taksi satu pun.
Aku tak punya waktu. Alice dan Jasper entah hampir
menyadari aku menghilang, atau malah sudah. Mereka akan menemukanku dalam
sekejap.
Pintu shuttle menuju Hyart sedang menutup, jaraknya
beberapa meter di belakangku.
“Tunggu!” aku berseru, melambai-lambai ke arah
pengemudinya.
“Ini shuttle ke Hyart,” si pengemudi berseru bingung
saat membukakan pintu.
“Ya,” napasku tersengal-sengal,
“itu tujuanku.” Aku bergegas menaiki undakannya.
Ia ragu-ragu melihatku tidak membawa bawaan, tapi kemudian
mengangkat bahu, tak mau repot-repot bertanya.
Kebanyakan kursinya kosong. Aku duduk sejauh mungkin dari
penumpang lain dan memandang ke luar jendela saat mula-mula jalan setapak,
kemudian bandaranya, melesat dari pandangan.
Aku tak bisa menahan diri membayangkan Edward berdiri di
ujung jalan saat menemukan ujung jejakku. Aku belum boleh menangis, aku
mengingatkan diri. Jalan yang harus kulalui masih panjang.
Keberuntungan masih bersamaku. Di depan Hyatt,
pasangan yang kelelahan tampak mengeluarkan koper terakhir dari bagasi taksi.
Aku melompat dari shuttle dan berlari ke taksi, menyelinap ke jok di belakang
pengemudi.
Pasangan itu dan si pengemudi shuttle menatapku.
Kuberitahu sopir taksi yang terkejut itu alamat
ibuku. “Aku harus tiba di sana secepat mungkin.” “Itu di Scottsdale,”
protesnya.
Aku melempar empat dua puluh dolaran ke kursi di
sebelahnya. ‘Apakah itu cukup?”
“Tentu, Nak, tidak masalah.”
Aku bersandar lagi di jok, melipat tangan di
pangkuan, Kota yang familier mulai melesat di sekelilingku, tapi aku tidak
memandang ke luar jendela.
Aku memaksa diriku tetap penuh kendali. Kuputuskan
untuk tidak menyerah, mengingat rencanaku sudah berjalan dengan baik. Tak ada
gunanya larut dalam ketakutan, juga kekhawatiran. Takdirku telah ditentukan
Sekarang aku hanya tinggal mengikutinya.
Jadi. Sebagai ganti panik aku memejamkan mata dan
menghabiskan dua puluh menit perjalanan itu bersama Edward.
Aku membayangkan tetap tinggal di bandara untuk
bertemu Edward. Aku membayangkan aku berdiri berjinjit untuk melihat wajahnya
lebih dulu. Betapa luwes dan anggun gerakannya di antara keramaian orang yang
memisahkan kami.
Kemudian aku lari mendekat—kikuk seperti biasa—dan
aku pun berada dalam pelukan tangan pualamnya, akhirnya aman.
Aku bertanya-tanya ke mana kami
akan pergi. Ke suatu tempat di utara, agar ia bisa keluar di siang hari. Atau
mungkin di tempat yang sangat terpencil, supaya kami bisa berbaring di bawah
matahari bersama-sama lagi.
Aku membayangkannya di pantai,
kulitnya berkilauan bagai air laut. Tak peduli betapa lamanya kami harus
bersembunyi. Terperangkap dalam kamar hotel bersamanya akan menjadi surga dunia
bagiku. Aku masih menyimpan banyak sekali pertanyaan untuknya.
Aku bisa mengobrol dengannya
selamanya, tak pernah tidur, tak pernah meninggalkan sisinya.
Penutup Novel Twilight – PETAK
UMPET Bab 112
Gimana Novel twilight – Port PETAK UMPET Bab 112 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu
penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan khawatir kami telah
menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik tombol navigasi bab di bawah ini.