Sunday, February 6, 2022

Bab 111 Novel Twilight – PETAK UMPET - Baca Di Sini

Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.

Dalam novel ini Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis, permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.

Sebelum kamu membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.

Ok, Silahkan baca novel Twilight Bab 111 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu hadapi.

Baca Novel Twilight – PETAK UMPET Bab 111

22. PETAK UMPET

BUTUH waktu jauh lebih sedikit dari yang kuduga— semua ketakutan, keputusasaan, kehancuran hatiku. Detik demi detik berlalu lebih lambat daripada biasanya.

Jasper belum kembali ketika aku akhirnya menghampiri Alice. Aku takut berada satu ruangan dengannya, takut ia akan menebaknya... tapi juga takut bersembunyi darinya untuk alasan yang sama.

Novel Twilight


Seharusnya aku tahu aku takkan mungkin sanggup terkejut, pikiranku begitu tersiksa dan labil, tapi aku toh terkejut juga saat melihat Alice membungkuk di meja, mencengkeram tepi-nya dengan kedua tangan.

“Alice?”

Ia tidak bereaksi ketika aku memanggil namanya, tapi kepalanya perlahan bergerak dari satu sisi ke sisi lain, dan aku melihat wajahnya. Tatapannya hampa, terpana... Pikiranku melayang pada ibuku. Apakah aku sudah terlambat?

Aku bergegas ke sisinya, otomatis menyentuh tangannya.

“Alice!” seru Jasper, muncul tepat di belakang Alice, kedua tangannya memeluk tangan Alice, melepaskan cengkeramannya dari meja.

Di seberang ruangan, pintu menutup dengan bunyi klik pelan.

“Ada apa?” desak Jasper

Alice memalingkan wajah dariku dan membenamkannya dada Jasper.

“Bella,” katanya.

“Aku di sini,” balasku.

Kepalanya menoleh, matanya terpaku padaku, ekspresinya masih hampa, aneh. Aku langsung tersadar ia tidak berbicara padaku, ia menjawab pertanyaan Jasper.

“Apa yang kaulihat?” kataku—suaraku yang datar dan tak peduli tidak mencerminkan pertanyaan. Jasper menatapku tajam. Aku menjaga ekspresiku tetap hampa dan menunggu.

Mata Jasper bingung saat dengan cepat bergantian menatap wajahku dan Alice, merasakan kepanikan... karena sekarang aku bisa menebak apa yang dilihat Alice.

Aku merasakan ketenangan meliputi sekelilingku. Aku menyambutnya, menggunakannya untuk mengendalikan emosiku.

Alice sendiri juga berhasil mengontrol dirinya.

“Tidak ada apa-apa, sungguh,” akhirnya ia menjawab, suaranya luar biasa tenang dan meyakinkan.

“Hanya ruangan yang sama seperti sebelumnya.”

Alice akhirnya memandangku, ekspresinya lembut dan tenang-

“Kau mau sarapan?”

“Tidak, aku makan di bandara saja.” Aku juga terdengar sangat tenang. Aku pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Hampir seolah meminjam indra istimewa Jasper, aku bisa merasakan keinginan Alice – meskipun tersembunyi dengan baik – agar aku meninggalkan kamar dan ia bisa berdua saja dengan Jasper.

Supaya ia bisa memberitahu Jasper bahwa mereka melakukan sesuatu yang keliru, bahwa mereka bakal gagal...

Aku bersiap-siap seperti robot, berkonsentrasi pada setiap hal kecil. Rambutku dibiarkan tergerai, berayun menutupi wajah. Suasana damai yang diciptakan Jasper memengaruhi dan membantuku berpikir jernih.

Membantuku menyusun rencana. Aku merogoh-rogoh tasku hingga menemukan kaus kakiku yang berisi uang. Aku mengosongkannya dan memasukkan uangnya ke saku. Ingin sekali rasanya segera tiba di bandara, dan aku merasa lega ketika kami berangkat pukul tujuh.

Kali ini aku duduk sendirian di belakang. Alice menyandarkan tubuh di pintu, wajahnya menghadap Jasper, tapi dari balik kacamata hitamnya ia melirikku setiap beberapa detik.

“Alice?” tanyaku cuek. Ia menjawab hati-hati,

“Ya?”

“Bagaimana cara kerjanya? Hal-hal yang kaulihat itu?” Aku menatap ke luar jendela, suaraku terdengar bosan.

“Kata Edward yang kaulihat tidak berarti final... bahwa halhal berubah?” Menyebut namanya lebih sulit dari yang kukira. Pasti itulah yang membuat Jasper waspada dan mengerahkan gelombang ketenangan baru di mobil yang kami tumpangi.

“Ya, hal-hal bisa berubah...” gumam Alice—mudahmudahan, pikirku.

“Beberapa hal lebih pasti dari yang lain... seperti cuaca. Manusia lebih sulit. Aku hanya melihat hal yang mereka lakukan ketika mereka sedang melakukannya. Begitu mereka berubah pikiran—membuat keputusan baru, tak peduli betapa kecil—seluruh masa depan pun berubah.”

Aku mengangguk penuh perhatian. “Jadi kau tak bisa melihat James di Phoenix sampai dia memutuskan datang ke sini.”

“Ya,” ia menimpali, kembali waspada.

Dan ia tidak melihatku di ruangan cermin itu bersama

James aku membuat keputusan untuk menemuinya di sana. Aku berusaha tidak memikirkan apa lagi yang mungkin dilihatnya. Aku tak ingin kepanikanku membuat Jasper semakin curiga.

Mereka akan mengawasiku lebih ketat lagi sekarang, terutama setelah penglihatan Alice. Rencanaku nyaris tak mungkin terlaksana.

Kami tiba di bandara. Keberuntungan berpihak padaku, atau barangkali kebetulan saja. Pesawat Edward mendarat di terminal empat, terminal paling besar tempat mendaratnya semua penerbangan—jadi fakta itu bukan sesuatu yang aneh. Tapi toh itulah terminal yang kubutuhkan: yang terbesar, yang paling memusingkan. Dan ada pintu di lantai tiga yang bisa jadi satu-satunya kesempatan.

Kami parkir di lantai empat, di garasi berukuran raksasa. Aku menunjukkan jalan, berhubung pengetahuanku tentang

bandara ini lebih baik daripada mereka. Kami menggunakan lift untuk turun ke lantai tiga tempat para penumpang turun. Lama sekali Alice dan Jasper memandangi papan jadwal penerbangan.

Aku bisa mendengar mereka mendiskusikan pro dan konrra tentang New York, Atlanta, Chicago. Tempat-tempat yang tak pernah kulihat. Dan takkan pernah kulihat. Aku menunggu kesempatan, tidak sabar, tak mampu menghentikan jari kakiku mengetuk-ngetuk.

Kami duduk di barisan kursi panjang di dekat pendeteksi logam, Jasper dan Alice pura-pura memerhatikan orang-orang yang lalulalang, tapi sebenarnya mereka mengawasiku. Lirikan cepat mereka mengikuti setiap gerakanku. Benar-benar tak ada harapa.

Apakah aku lari saja? Apakah mereka berani menggunakan kemampuan mereka untuk menghentikanku di tempat umum seperti ini? Atau mereka hanya mengikuti? Aku mengeluarkan surat tak beralamat itu dari sakuku dan meletakkannya di atas tas kulit hitam Alice.

Ia menatapku

“Suratku,” kataku. Ia mengangguk, menyelipkannya di balik penutup bagian atas. Edward akan segera menemukannya.

Penutup Novel Twilight – PETAK UMPET Bab 111

Gimana Novel twilight – Port PETAK UMPET Bab 111 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik tombol navigasi bab di bawah ini.

Selanjutnya
Sebelumnya

0 comments: