Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 111 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – PETAK UMPET Bab 111
22. PETAK UMPET
BUTUH waktu jauh lebih sedikit dari yang kuduga—
semua ketakutan, keputusasaan, kehancuran hatiku. Detik demi detik berlalu
lebih lambat daripada biasanya.
Jasper belum kembali ketika aku akhirnya menghampiri
Alice. Aku takut berada satu ruangan dengannya, takut ia akan menebaknya...
tapi juga takut bersembunyi darinya untuk alasan yang sama.
Seharusnya aku tahu aku takkan mungkin sanggup
terkejut, pikiranku begitu tersiksa dan labil, tapi aku toh terkejut juga saat
melihat Alice membungkuk di meja, mencengkeram tepi-nya dengan kedua tangan.
“Alice?”
Ia tidak bereaksi ketika aku memanggil namanya, tapi
kepalanya perlahan bergerak dari satu sisi ke sisi lain, dan aku melihat
wajahnya. Tatapannya hampa, terpana... Pikiranku melayang pada ibuku. Apakah
aku sudah terlambat?
Aku bergegas ke sisinya, otomatis menyentuh
tangannya.
“Alice!” seru Jasper, muncul tepat di belakang Alice,
kedua tangannya memeluk tangan Alice, melepaskan cengkeramannya dari meja.
Di seberang ruangan, pintu menutup dengan bunyi klik
pelan.
“Ada apa?” desak Jasper
Alice memalingkan wajah dariku dan membenamkannya dada
Jasper.
“Bella,” katanya.
“Aku di sini,” balasku.
Kepalanya menoleh, matanya terpaku padaku,
ekspresinya masih hampa, aneh. Aku langsung tersadar ia tidak berbicara padaku,
ia menjawab pertanyaan Jasper.
“Apa yang kaulihat?” kataku—suaraku yang datar dan
tak peduli tidak mencerminkan pertanyaan. Jasper menatapku tajam. Aku menjaga
ekspresiku tetap hampa dan menunggu.
Mata Jasper bingung saat dengan cepat bergantian
menatap wajahku dan Alice, merasakan kepanikan... karena sekarang aku bisa
menebak apa yang dilihat Alice.
Aku merasakan ketenangan meliputi sekelilingku. Aku
menyambutnya, menggunakannya untuk mengendalikan emosiku.
Alice sendiri juga berhasil mengontrol dirinya.
“Tidak ada apa-apa, sungguh,” akhirnya ia menjawab,
suaranya luar biasa tenang dan meyakinkan.
“Hanya ruangan yang sama seperti sebelumnya.”
Alice akhirnya memandangku, ekspresinya lembut dan
tenang-
“Kau mau sarapan?”
“Tidak, aku makan di bandara saja.” Aku juga
terdengar sangat tenang. Aku pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Hampir seolah meminjam indra istimewa Jasper, aku bisa merasakan keinginan
Alice – meskipun tersembunyi dengan baik – agar aku meninggalkan kamar dan ia
bisa berdua saja dengan Jasper.
Supaya ia bisa memberitahu Jasper bahwa mereka
melakukan sesuatu yang keliru, bahwa mereka bakal gagal...
Aku bersiap-siap seperti robot, berkonsentrasi pada
setiap hal kecil. Rambutku dibiarkan tergerai, berayun menutupi wajah. Suasana
damai yang diciptakan Jasper memengaruhi dan membantuku berpikir jernih.
Membantuku menyusun rencana. Aku merogoh-rogoh tasku
hingga menemukan kaus kakiku yang berisi uang. Aku mengosongkannya dan
memasukkan uangnya ke saku. Ingin sekali rasanya segera tiba di bandara, dan
aku merasa lega ketika kami berangkat pukul tujuh.
Kali ini aku duduk sendirian di belakang. Alice
menyandarkan tubuh di pintu, wajahnya menghadap Jasper, tapi dari balik
kacamata hitamnya ia melirikku setiap beberapa detik.
“Alice?” tanyaku cuek. Ia menjawab hati-hati,
“Ya?”
“Bagaimana cara kerjanya? Hal-hal yang kaulihat itu?”
Aku menatap ke luar jendela, suaraku terdengar bosan.
“Kata Edward yang kaulihat tidak berarti final...
bahwa halhal berubah?” Menyebut namanya lebih sulit dari yang kukira. Pasti
itulah yang membuat Jasper waspada dan mengerahkan gelombang ketenangan baru di
mobil yang kami tumpangi.
“Ya, hal-hal bisa berubah...” gumam Alice—mudahmudahan,
pikirku.
“Beberapa hal lebih pasti dari yang lain... seperti cuaca.
Manusia lebih sulit. Aku hanya melihat hal yang mereka lakukan ketika mereka
sedang melakukannya. Begitu mereka berubah pikiran—membuat keputusan baru, tak
peduli betapa kecil—seluruh masa depan pun berubah.”
Aku mengangguk penuh perhatian. “Jadi kau tak bisa
melihat James di Phoenix sampai dia memutuskan datang ke sini.”
“Ya,” ia menimpali, kembali waspada.
Dan ia tidak melihatku di ruangan cermin itu bersama
James aku membuat keputusan untuk
menemuinya di sana. Aku berusaha tidak memikirkan apa lagi yang mungkin
dilihatnya. Aku tak ingin kepanikanku membuat Jasper semakin curiga.
Mereka akan mengawasiku lebih
ketat lagi sekarang, terutama setelah penglihatan Alice. Rencanaku nyaris tak
mungkin terlaksana.
Kami tiba di bandara. Keberuntungan berpihak padaku,
atau barangkali kebetulan saja. Pesawat Edward mendarat di terminal empat,
terminal paling besar tempat mendaratnya semua penerbangan—jadi fakta itu bukan
sesuatu yang aneh. Tapi toh itulah terminal yang kubutuhkan: yang terbesar,
yang paling memusingkan. Dan ada pintu di lantai tiga yang bisa jadi
satu-satunya kesempatan.
Kami parkir di lantai empat, di garasi berukuran raksasa.
Aku menunjukkan jalan, berhubung pengetahuanku tentang
bandara ini lebih baik daripada mereka. Kami
menggunakan lift untuk turun ke lantai tiga tempat para penumpang turun. Lama
sekali Alice dan Jasper memandangi papan jadwal penerbangan.
Aku bisa mendengar mereka mendiskusikan pro dan
konrra tentang New York, Atlanta, Chicago. Tempat-tempat yang tak pernah
kulihat. Dan takkan pernah kulihat. Aku menunggu kesempatan, tidak sabar, tak
mampu menghentikan jari kakiku mengetuk-ngetuk.
Kami duduk di barisan kursi panjang di dekat
pendeteksi logam, Jasper dan Alice pura-pura memerhatikan orang-orang yang
lalulalang, tapi sebenarnya mereka mengawasiku. Lirikan cepat mereka mengikuti
setiap gerakanku. Benar-benar tak ada harapa.
Apakah aku lari saja? Apakah mereka berani
menggunakan kemampuan mereka untuk menghentikanku di tempat umum seperti ini?
Atau mereka hanya mengikuti? Aku mengeluarkan surat tak beralamat itu dari
sakuku dan meletakkannya di atas tas kulit hitam Alice.
Ia menatapku
“Suratku,” kataku. Ia mengangguk, menyelipkannya di balik penutup bagian atas. Edward akan segera menemukannya.
Penutup Novel Twilight – PETAK
UMPET Bab 111
Gimana Novel twilight – Port PETAK UMPET Bab 111 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu
penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan khawatir kami telah
menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik tombol navigasi bab di bawah ini.
0 comments: