Novel Twilight (New Moon), ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada orang
tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight (New Moon) Bab 11 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – JAHITAN Bab 11
Carlisle tertawa, ketegangan
langsung mencair.
"Oh, tidak. Kau harus
membereskan masalah ini dengan dia!” Tapi sejurus kemudian ia menghela napas
panjang.
"Itu bagian yang aku tidak
akan pernah bisa yakin. Kupikir, dalam banyak hal lain, aku sudah melakukan
yang terbaik dengan apa yang harus kulakukan. Tapi benarkah tindakanku yang
membuat orang lain menjalani kehidupan seperti ini? Aku tak bisa
memutuskan."
Aku tidak menjawab. Aku
membayangkan bagaimana jadinya hidupku seandainya Carlisle menolak godaan untuk
mengubah keberadaannya yang sendirian... dan bergidik.
"Ibu Edward-lah yang
membuatku yakin dengan keputusanku" Suara Carlisle nyaris hanya bisikan.
Matanya menerawang kosong ke luar jendela yang gelap.
"Ibunya?" Setiap kali aku bertanya kepada
Edward tentang orangtuanya, ia hanya berkata mereka sudah lama meninggal dan
ingatannya kabur. Sadarlah aku ingatan Carlisle terhadap orangtua Edward, meski
pertemuan mereka sangat singkat, pastilah sangat jelas.
"Ya. Namanya Elizabeth. Elizabeth Masen. Ayahnya,
Edward Senior, tidak pernah tersadar selama di rumah sakit. Dia meninggal saat
gelombang pertama serangan influenza terjadi. Tapi Elizabeth sadar nyaris
hingga menjelang meninggal. Edward mirip sekali dengannya—warna rambutnya juga
pirang tembaga, begitu juga matanya, sama-sama hijau."
"Mata Edward dulu
hijau?" gumamku, berusaha membayangkannya.
"Ya..." Carlisle
menerawang jauh.
"Elizabeth sangat
mengkhawatirkan putranya. Dia mempertaruhkan peluangnya untuk selamat dengan
berusaha merawat Edward dalam keadaan sakit. Kusangka Edward-lah yang akan
lebih dulu meninggal, kondisinya jauh lebih parah daripada ibunya.
Saat maut menjemput Elizabeth,
prosesnya sangat cepat. Kejadiannya tepat setelah matahari terbenam, dan aku
datang untuk menggantikan para dokter yang sudah bekerja seharian. Saat itu
rasanya sulit sekali berpura-pura—begitu banyak yang harus ditangani, dan aku
tidak butuh istirahat. Betapa bencinya aku harus pulang ke rumah, bersembunyi
dalam gelap dan berpurapura tidur padahal begitu banyak orang yang sekarat.
"Pertama-tama aku pergi
untuk mengecek keadaan Elizabeth dan putranya. Aku mulai merasa terikat pada
mereka–hal yang berbahaya mengingat kondisi manusia yang rapuh. Begitu
melihatnya, aku langsung tahu kondisi Elizabeth semakin parah. Demamnya tak
terkendali, dan tubuhnya sudah tak kuat lagi melawan.
"Tapi dia tidak tampak
lemah, saat dia memandangiku dengan mata menyala-nyala dari ranjangnya.”
"Selamatkan dia!” pintanya padaku dengan suara
serak yang sanggup dikeluarkan tenggorokannya.
"Aku akan berusaha
semampuku” aku berjanji padanya, meraih tangannya. Demamnya tinggi sekali, hingga
ia bahkan tak bisa merasakan tanganku yang sangat dingin itu. Semua terasa
dingin di kulitnya.
“Kau harus bisa,” desaknya,
mencengkeram tanganku begitu kuat hingga aku bertanya-tanya dalam hati apakah
ia bisa selamat dari krisis ini.
Matanya keras, seperti batu,
seperti zambrud. “Kau harus melakukan semua yang mampu kaulakukan. Apa yang
orang lain tidak bisa, itulah yang harus kaulakukan untuk Edward-ku.”
Aku ketakutan. Dia menatapku
dengan matanya yang tajam menusuk, dan, sesaat, aku yakin dia tahu rahasiaku.
Kemudian demam menguasainya, dan dia tak pernah sadar lagi. Dia meninggal hanya
satu jam setelah mengutarakan tuntutannya padaku.
“Berpuluh-puluh tahun lamanya
aku mempertimbangkan untuk menciptakan pendamping untuk hidupku. Hanya satu
makhluk lain yang bisa benar-benar mengenalku, bukan aku yang berpura-pura.
Tapi aku tak pernah bisa menemukan pembenaran untukku – melakukan seperti yang
pernah dilakukan terhadapku.
"Lalu di sanalah Edward
berbaring, sekarat. Jelas sekali dia hanya punya waktu beberapa jam. Di
sampingnya terbaring ibunya, entah bagaimana wajahnya tetap tidak tampak
tenang, meski dalam kematian."
Carlisle seperti melihat lagi semuanya, kenangannya
tidak pudar meski seabad telah
berlalu. Aku juga bisa
melihatnya dengan jelas, saat Carlisle bicara—“keputusasaan yang melingkupi
rumah sakit, atmosfer kematian yang terlampau kuat. Tubuh Edward panas membara
oleh demam, nyawanya terancam seiring dengan detik-detik yang berjalan...
sekujur tubuhku lagilagi bergidik, mengenyahkan bayangan itu dari pikiranku.
"Kata-kata Elizabeth terngiang-ngiang di
kepalaku. Bagaimana dia bisa menebak apa yang bisa kulakukan? Mungkinkah ada
orang yang benar-benar menginginkan hal itu untuk anaknya? "Kupandangi
Edward. Meski sakit keras, dia tetap tampan. Ada sesuatu yang murni dan indah
tergambar di wajahnya. Seperti yang kuinginkan di wajah anakku kalau aku punya
anak. "Setelah bertahun-tahun tak bisa memutuskan, aku langsung bertindak
tanpa berpikir lagi.
Pertama-tama, kudorong dulu jenazah ibunya ke kamar
mayat, lalu aku kembali untuk menjemput Edward. Saat itu rumah sakit kekurangan
tenaga dan perhatian untuk menangani setengah saja kebutuhan para pasien. Kamar
mayat kosong—dari orang hidup, paling tidak. Diam-diam kubawa Edward keluar
dari pintu belakang, kugendong melewati atap-atap rumah, kembali ke rumahku.
"Aku tidak tahu harus bagaimana. Kuputuskan untuk
membuat kembali luka seperti yang pernah kuterima dulu, beberapa abad
sebelumnya di London. Belakangan, aku merasa bersalah. Luka itu lebih menyakitkan
dan lebih lama sembuh daripada yang sebenarnya diperlukan.
"Tapi aku tidak menyesal.
Aku tidak pernah menyesal telah menyelamatkan Edward," Carlisle
menggeleng, kembali ke masa kini. Ia tersenyum padaku.
"Kurasa sebaiknya kuantar
kau pulang sekarang."
"Biar aku saja," kata
Edward. Ia muncul dari arah ruang makan yang remang-remang, berjalan
lambat-lambat untuk ukurannya.
Wajahnya datar, ekspresinya tak
terbaca, tapi ada yang tidak beres dengan matanya—sesuatu yang coba
disembunyikannya sekuat tenaga. Aku merasa perutku seperti diaduk-aduk.
"Carlisle bisa
mengantarku," kataku.
Aku menunduk memandang
kemejaku; bahan katun biru mudanya basah oleh bercak-bercak darah. Bahu kananku
berlepotan krim gula warna pink.
"Aku tidak apa-apa,"
Suara Edward datar tanpa emosi.
"Kau toh perlu ganti baju.
Bisa-bisa Charlie terkena serangan jantung kalau melihatmu seperti itu. Akan
kuminta Alice mencarikan baju untukmu." Edward berjalan lagi keluar dari
pintu dapur.
Kupandangi Carlisle dengan sikap waswas. "Dia kalut
sekali."
Penutup Novel Twilight (New Moon) – JAHITAN Bab 11
Gimana Novel twilight (New Moon) – Port JAHITAN Bab
11 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab
berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab
berikutnya dengan mengklik tombol navigasi bab di bawah ini.
0 comments: