Thursday, February 3, 2022

Bab 108 Novel Twilight – TELEPON - Baca Di Sini

Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.

Dalam novel ini Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis, permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.

Sebelum kamu membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.

Ok, Silahkan baca novel Twilight Bab 108 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu hadapi.

Baca Novel Twilight – TELEPON Bab 108

21. TELEPON

AKU bisa merasakan hari lagi-lagi masih terlalu dini ketika aku terbangun. Aku tahu siang dan malamku perlahan-lahan terbalik. Aku berbaring di tempat tidur dan mendengarkan suara Alice dan Jasper yang pelan dari ruangan lain.

Kenyataan bahwa suara mereka cukup keras untuk bisa kudengar sangatlah aneh. Aku berguling hingga kakiku menyentuh lantai, lalu tertatih-tatih menuju ruang tamu.

Jam di TV menunjukkan baru lewat pukul dua pagi. Alice dan Jasper duduk di sofa, Alice membuat sketsa sementara Jasper mengintip dari bahunya. Mereka tidak mendongak ketika aku masuk, terlalu asyik memerhatikan gambar yang dibuat Alice.

Novel Twilight


Aku berjinjit ke sisi Jasper untuk mengintip.

"Apakah dia melihat sesuatu yang baru?" aku bertanya pelan pada Jasper.

“Ya. Sesuatu membawa James kembali ke ruangan ber-VCR, hanya saja kali ini keadaannya terang.” Aku melihat Alice menggambar ruang persegi dengan balok-balok berwarna gelap pada langit-langitnya yang rendah.

Dinding-dindingnya berpanel kayu, agak terlalu gelap, ketinggalan zaman. Lantainya diselimuti karpet berpola warna gelap. Di dinding sebelah selatan ada jendela besar. Di ambang terbuka di dinding sebelah barat ada ruang tamu.

Satu sisi ambang itu terbuat dari batu— perapian dari batu cokelat yang terbuka ke dua ruangan itu. TV dan VCR ditaruh di aras lemari pajang kayu yang kelewat kecil di sudut barat daya ruangan. Sofa panjang kuno terletak di depan TV, meja ramu yang bundar berdiri di depannya.

"Teleponnya di sebelah sana," bisikku, sambil menunjuk.

Dua pasang mara yang abadi menatapku.

"Itu rumah ibuku."

Alice telah bangkit dari sofa, telepon di tangan, menekan nomor. Aku menatap gambar ruang keluarga rumah ibuku yang amat tepat itu. Tidak seperti biasa Jasper mendekatiku. Dengan lembut ia menyentuh bahuku, dan kontak fisik itu sepertinya dilakukan untuk membuat kemampuannya menenangkan lebih kuat lagi. Kepanikanku tetap samar, tidak fokus.

Bibir Alice bergetar akibat kecepatan ucapannya, suara dengung pelan itu mustahil ditangkap. Aku tak bisa berkonsentrasi.

“Bella," kata Alice. Aku menatapnya hampa.

“Bella, Edward akan datang menjemputmu. Dia, Emmett, dan Carlisle akan membawamu ke suatu tempat, menyembunyikanmu untuk sementara waktu."

“Edward akan datang?" Kata-kata itu bagaikan pelampung penyelamat, menjaga kepalaku tetap terapung.

“Ya, dia akan naik penerbangan pertama dari Seattle. Kita akan menemuinya di bandara, dan kau akan pergi bersamanya.”

"Tapi ibuku... dia ke sini untuk mengincar ibuku, Alice!" Terlepas dari kemampuan Jasper, kepanikan terdengar jelas dalam suaraku.

"Jasper dan aku akan tinggal sampai ibumu aman."

"Aku tak bisa menang, Alice. Kau tak bisa menjaga semua orang yang kukenal selamanya. Tidakkah kau mengerti apa yang dilakukannya? Dia sama sekali tidak memburuku. Dia akan menemukan seseorang dia akan melukai orang yang kucintai... Alice. aku tak bisa—"

"Kami akan menangkapnya, Bella," ia meyakinkanku.

"Dan bagaimana kalau kau terluka, Alice? Kaupikir aku bisa menerimanya? Kaupikir hanya keluarga manusiaku yang bisa digunakannya untuk menyakitiku?" Alice menatap Jasper penuh arti.

Kabut tebal kelelahan menyapuku, dan mataku terpejam tanpa bisa kukendalikan. Pikiranku mencoba melawan kabut itu, menyadari apa yang sedang terjadi. Aku memaksa membuka mataku dan berdiri, menjauhkan diri dari tangan Jasper.

"Aku tak ingin tidur lagi," bentakku.

Aku berjalan ke kamar dan menutup pintu, sebenarnya membantingnya, supaya bisa mengeluarkan semua perasaanku tanpa ada yang melihat. Kali ini Alice tidak mengikutiku.

Selama tiga setengah jam aku menatap dinding meringkuk, bergoyang-goyang. Pikiranku berputarputar,

mencoba mencari cara untuk keluar dari mimpi buruk ini. Tak ada jalan keluar, tak ada kompromi. Aku hanya bisa melihat satu-satunya akhir yang menghadang masa depanku. Satu-satunya pertanyaan adalah, berapa banyak lagi orang yang harus terluka sebelum aku mencapainya.

Satu-satunya penghiburan, satu-satunya harapan yang tersisa adalah aku akan segera bertemu Edward. Barangkah, kalau bisa melihat wajahnya lagi, aku juga bisa melihat pemecahan masalah yang tak terlihat olehku sekarang.

Ketika telepon berbunyi aku kembali ke ruang depan, merasa sedikit malu dengan sikapku. Kuharap aku tak menyinggung perasaan mereka, bahwa mereka tahu betapa aku bersyukur atas pengorbanan yang mereka lakukan untukku.

Alice berbicara sangat cepat seperti biasa, tapi yang menarik perhatianku adalah, untuk pertama kalinya Jasper tak ada di ruangan itu. Aku melihat jam—pukul 05.30.

"Mereka baru saja lepas landas," Alice memberitahu.

"Mereka akan mendarat pukul 09.45." Hanya beberapa jam lagi sebelum Edward tiba di sini.

"Di mana Jasper?"

"Dia pergi untuk check out"

"Kalian tidak menginap di sini?"

"Tidak, kami akan pindah ke tempat yang lebih dekat dengan rumah ibumu.”

Perutku melilit mendengar kata-katanya.

Tapi telepon berbunyi lagi, mengalihkan perhatianku. Alice tampak terkejut, tapi aku telah melangkah maju, menggapai telepon sambil berharap-harap cemas.

"Halo?" sapa Alice.

"Tidak, dia ada di sini." Ia menyodorkan teleponnya padaku. Ibumu, katanya tanpa suara.

"Halo?"

“Bella? Bella?" Itu suara ibuku, dalam nada familier yang telah kudengar ribuan kali pada masa kecilku, setiap kali aku berjalan terlalu dekat dengan tepian trotoar atau menghilang dari pandangannya ketika berada di keramaian.

Suaranya panik.

Aku mendesah. Aku telah menduganya, meskipun aku telah berusaha sebisa mungkin agar pesanku tidak mengagetkan tanpa mencurangi urgensinya.

"Tenang, Mom." kataku dengan suaraku yang paling menenangkan, seraya berjalan pelan menjauhi Alice.

Aku tak yakin apakah aku bisa berbohong dengan meyakinkan sementara matanya mengawasiku.

"Semua baik-baik saja, oke? Beri aku waktu satu menit dan aku akan menjelaskan semuanya, aku janji."

Aku diam, terkejut karena ia belum menyela kata-kataku.

Penutup Novel Twilight – TELEPON Bab 108

Gimana Novel twilight – Port TELEPON Bab 108 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik tombol navigasi bab di bawah ini.

Selanjutnya
Sebelumnya

0 comments: