Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 108 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – TELEPON Bab 108
21. TELEPON
AKU bisa merasakan hari lagi-lagi masih terlalu dini
ketika aku terbangun. Aku tahu siang dan malamku perlahan-lahan terbalik. Aku
berbaring di tempat tidur dan mendengarkan suara Alice dan Jasper yang pelan
dari ruangan lain.
Kenyataan bahwa suara mereka cukup keras untuk bisa
kudengar sangatlah aneh. Aku berguling hingga kakiku menyentuh lantai, lalu
tertatih-tatih menuju ruang tamu.
Jam di TV menunjukkan baru lewat pukul dua pagi.
Alice dan Jasper duduk di sofa, Alice membuat sketsa sementara Jasper mengintip
dari bahunya. Mereka tidak mendongak ketika aku masuk, terlalu asyik
memerhatikan gambar yang dibuat Alice.
Aku berjinjit ke sisi Jasper untuk mengintip.
"Apakah dia melihat sesuatu yang baru?" aku
bertanya pelan pada Jasper.
“Ya. Sesuatu membawa James kembali ke ruangan
ber-VCR, hanya saja kali ini keadaannya terang.” Aku melihat Alice menggambar
ruang persegi dengan balok-balok berwarna gelap pada langit-langitnya yang
rendah.
Dinding-dindingnya berpanel kayu, agak terlalu gelap,
ketinggalan zaman. Lantainya diselimuti karpet berpola warna gelap. Di dinding
sebelah selatan ada jendela besar. Di ambang terbuka di dinding sebelah barat
ada ruang tamu.
Satu sisi ambang itu terbuat dari batu— perapian dari
batu cokelat yang terbuka ke dua ruangan itu. TV dan VCR ditaruh di aras lemari
pajang kayu yang kelewat kecil di sudut barat daya ruangan. Sofa panjang kuno
terletak di depan TV, meja ramu yang bundar berdiri di depannya.
"Teleponnya di sebelah sana," bisikku,
sambil menunjuk.
Dua pasang mara yang abadi menatapku.
"Itu rumah ibuku."
Alice telah bangkit dari sofa, telepon di tangan, menekan
nomor. Aku menatap gambar ruang keluarga rumah ibuku yang amat tepat itu. Tidak
seperti biasa Jasper mendekatiku. Dengan lembut ia menyentuh bahuku, dan kontak
fisik itu sepertinya dilakukan untuk membuat kemampuannya menenangkan lebih
kuat lagi. Kepanikanku tetap samar, tidak fokus.
Bibir Alice bergetar akibat kecepatan ucapannya,
suara dengung pelan itu mustahil ditangkap. Aku tak bisa berkonsentrasi.
“Bella," kata Alice. Aku menatapnya hampa.
“Bella, Edward akan datang menjemputmu. Dia, Emmett,
dan Carlisle akan membawamu ke suatu tempat, menyembunyikanmu untuk sementara
waktu."
“Edward akan datang?" Kata-kata itu bagaikan
pelampung penyelamat, menjaga kepalaku tetap terapung.
“Ya, dia akan naik penerbangan pertama dari Seattle.
Kita akan menemuinya di bandara, dan kau akan pergi bersamanya.”
"Tapi ibuku... dia ke sini
untuk mengincar ibuku, Alice!" Terlepas dari kemampuan Jasper, kepanikan
terdengar jelas dalam suaraku.
"Jasper dan aku akan tinggal sampai ibumu
aman."
"Aku tak bisa menang, Alice. Kau tak bisa
menjaga semua orang yang kukenal selamanya. Tidakkah kau mengerti apa yang
dilakukannya? Dia sama sekali tidak memburuku. Dia akan menemukan seseorang dia
akan melukai orang yang kucintai... Alice. aku tak bisa—"
"Kami akan menangkapnya, Bella," ia
meyakinkanku.
"Dan bagaimana kalau kau terluka, Alice?
Kaupikir aku bisa menerimanya? Kaupikir hanya keluarga manusiaku yang bisa
digunakannya untuk menyakitiku?" Alice menatap Jasper penuh arti.
Kabut tebal kelelahan menyapuku, dan mataku terpejam
tanpa bisa kukendalikan. Pikiranku mencoba melawan kabut itu, menyadari apa
yang sedang terjadi. Aku memaksa membuka mataku dan berdiri, menjauhkan diri
dari tangan Jasper.
"Aku tak ingin tidur lagi," bentakku.
Aku berjalan ke kamar dan menutup pintu, sebenarnya
membantingnya, supaya bisa mengeluarkan semua perasaanku tanpa ada yang
melihat. Kali ini Alice tidak mengikutiku.
Selama tiga setengah jam aku menatap dinding
meringkuk, bergoyang-goyang. Pikiranku berputarputar,
mencoba mencari cara untuk keluar dari mimpi buruk
ini. Tak ada jalan keluar, tak ada kompromi. Aku hanya bisa melihat
satu-satunya akhir yang menghadang masa depanku. Satu-satunya pertanyaan
adalah, berapa banyak lagi orang yang harus terluka sebelum aku mencapainya.
Satu-satunya penghiburan, satu-satunya harapan yang
tersisa adalah aku akan segera bertemu Edward. Barangkah, kalau bisa melihat
wajahnya lagi, aku juga bisa melihat pemecahan masalah yang tak terlihat olehku
sekarang.
Ketika telepon berbunyi aku kembali ke ruang depan,
merasa sedikit malu dengan sikapku. Kuharap aku tak menyinggung perasaan
mereka, bahwa mereka tahu betapa aku bersyukur atas pengorbanan yang mereka
lakukan untukku.
Alice berbicara sangat cepat seperti biasa, tapi yang
menarik perhatianku adalah, untuk pertama kalinya Jasper tak ada di ruangan
itu. Aku melihat jam—pukul 05.30.
"Mereka baru saja lepas landas," Alice
memberitahu.
"Mereka akan mendarat pukul 09.45." Hanya
beberapa jam lagi sebelum Edward tiba di sini.
"Di mana Jasper?"
"Dia pergi untuk check out"
"Kalian tidak menginap di sini?"
"Tidak, kami akan pindah ke tempat yang lebih
dekat dengan rumah ibumu.”
Perutku melilit mendengar kata-katanya.
Tapi telepon berbunyi lagi, mengalihkan perhatianku.
Alice tampak terkejut, tapi aku telah melangkah maju, menggapai telepon sambil
berharap-harap cemas.
"Halo?" sapa Alice.
"Tidak, dia ada di sini." Ia menyodorkan
teleponnya padaku. Ibumu, katanya tanpa suara.
"Halo?"
“Bella? Bella?" Itu suara ibuku, dalam nada familier
yang telah kudengar ribuan kali pada masa kecilku, setiap kali aku berjalan
terlalu dekat dengan tepian trotoar atau menghilang dari pandangannya ketika
berada di keramaian.
Suaranya panik.
Aku mendesah. Aku telah menduganya, meskipun aku
telah berusaha sebisa mungkin agar pesanku tidak mengagetkan tanpa mencurangi
urgensinya.
"Tenang, Mom." kataku dengan suaraku yang
paling menenangkan, seraya berjalan pelan menjauhi Alice.
Aku tak yakin apakah aku bisa berbohong dengan
meyakinkan sementara matanya mengawasiku.
"Semua baik-baik saja, oke? Beri aku waktu satu
menit dan aku akan menjelaskan semuanya, aku janji."
Aku diam, terkejut karena ia belum menyela kata-kataku.
Penutup Novel Twilight – TELEPON Bab 108
Gimana Novel twilight – Port TELEPON Bab 108 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu
penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan khawatir kami telah
menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik tombol navigasi bab di bawah ini.
0 comments: