Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 107 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – KETIDAKSABARAN Bab 107
"Apa kau punya alasan apa pun untuk pergi ke
sana sekarang?" Alice bertanya, membuyarkan lamunanku.
"Tidak, sudah hampir sepuluh tahun aku tak
pernah ke sana. Aku penari yang payah—mereka selalu menjadikanku cadangan pada
acara resital," aku mengakui.
"Jadi tak mungkin itu ada hubungannya
denganmu?" tanya Alice sungguh-sungguh.
"Tidak, kurasa pemiliknya bahkan bukan orang
yang sama. Aku yakin itu hanya studio tari lainnya, entah di mana."
"Di mana letak studio yang biasa
kaudatangi?" Jasper bertanya dengan nada kasual.
“Di sekitar sudut rumah ibuku. Aku biasa berjalan
kaki ke sana sepulang sekolah..." kataku, suaraku menghilang.
Aku melihat mereka bertukar pandang.
“Kalau begitu di sini, di Phoenix?" Suara Jasper
masih santai.
"Ya,” bisikku. "58th Street dan
Cacrus."
Kami duduk terdiam, memandangi gambar Alice.
“Alice, apakah telepon itu aman?" "Ya,"
ia meyakinkanku. "Nomornya hanya akan terdeteksi ke Washington."
"Kalau begitu aku bisa menggunakannya untuk
menelepon ibuku.”
"Kupikir dia di Florida."
"Memang—tapi dia akan segera pulang, dan dia tak
bisa kembali ke rumah itu sementara..." Suaraku gemetar. Aku sedang
memikirkan sesuatu yang dikatakan Edward, tentang wanita berambut merah yang
mendatangi rumah Charlie, sekolah, di mana catatan tentang diriku berada.
"Bagaimana kau akan menghubunginya?"
"Mereka tidak punya nomor tetap kecuali di rumah—dia
seharusnya memeriksa mesin penjawabnya secara teratur."
"Jasper?" tanya Alice.
Ia mempertimbangkannya. "Kurasa itu tidak
mungkin berbahaya—pastikan kau tidak menyebutkan di mana kau berada, tentu
saja."
Dengan bersemangat aku meraih telepon genggam Alice
dan memutar nomor yang sudah tidak asing lagi. Terdengar nada sambung sebanyak
empat kali, kemudian aku mendengar suara ibuku yang mendesah memberitahukan
untuk meninggalkan pesan.
"Mom," kataku setelah bunyi bip,
"ini aku. Dengar, aku mau kau melakukan sesuatu.
Ini penting. Begitu kau menerima pesan ini, hubungi aku di nomor ini."
Alice sudah di sisiku, menuliskan nomornya untukku di bagian bawah gambar.
Aku membacanya perlahan, dua kali.
"Kumohon jangan pergi ke mana-mana sampai kau
berbicara denganku. Jangan khawatir, aku baik-baik saja, tapi aku harus bicara
denganmu secepatnya, tak peduli kapan pun kau menerima pesan mi, oke? Aku
mencintaimu, Mom. Bye." Aku memejamkan mata dan berdoa sepenuh hati agar
tak ada perubahan rencana tiba-tiba yang membawanya pulang sebelum ia mendengar
pesanku.
Aku duduk di sofa, mengunyah buah-buahan yang tersisa
di piring, pengantisipasi malam yang panjang. Aku berpikir untuk menelepon
Charlie, tapi tak yakin apakah ia sudah pulang atau belum.
Aku berkonsentrasi menonton berita, mencari berita
tentang Florida, atau tentang pelatihan musim semi – aksi demo atau badai topan
atau serangan teroris—apa pun yang mungkin membuat mereka pulang lebih awal.
Keabadian pasti melahirkan kesabaran yang tiada
habisnya. Baik Jasper maupun Alice tidak merasa perlu melakukan sesuatu sama
sekali. Selama beberapa waktu Alice membuat sketsa samar ruangan gelap itu
berdasarkan penglihatannya, sebanyak yang dapat dilihatnya dengan mengandalkan
cahaya yang berasal dari TV.
Tapi ketika selesai ia hanya duduk, menatap
dinding-dinding kosong tanpa berkedip. Jasper juga kelihatan tidak terdorong
untuk mondar-mandir atau mengintip dari balik tirai, atau menghambur ke pintu
sambil berteriak-teriak, seperti yang kurasakan.
Aku pasti tertidur di sofa, menantikan telepon berbunyi lagi. Sentuhan tangan Alice yang dingin membangunkanku sebentar saat ia menggendongku ke tempat tidur, tapi aku kembali pulas sebelum kepalaku menyentuh bantal.
Penutup Novel Twilight – KETIDAKSABARAN Bab 107
Gimana Novel twilight – Port KETIDAKSABARAN Bab 107 ? keren kan ceritanya.
Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan
khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik
tombol navigasi bab di bawah ini.
0 comments: