Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 100 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – PERPISAHAN Bab 100
"Aku punya kunci," gumamku, memutar kenop
pintu.
Ia berdiri terlalu dekat, satu tangannya terulur ke
arahku, wajahnya syok. Aku tak bisa membuang waktu dan berdebat dengannya lagi.
Aku harus membuatnya lebih sakit lagi.
"Biarkan aku pergi, Charlie." Aku
mengulangi kata-kata terakhir ibuku ketika ia melewati pintu yang sama ini
bertahun-tahun yang lalu.
Aku mengucapkannya semarah mungkin, lalu membuka
pintu, dan mengempaskannya. "Semuanya kacau, oke? Aku sungguh, sungguh
membenci
Forks!"
Ucapanku yang jahat berhasil—Charlie bergeming di
ambang pintu, terpana, sementara aku berlari menembus malam. Aku amat sangat
ketakutan berada di pekarangan yang kosong.
Aku berlari seperti kerasukan menuju trukku,
membayangkan bayangan gelap di belakangku. Kulempar tasku ke jok dan menarik
pintunya hingga terbuka.
Kuncinya sudah menggantung di lubang starter.
“Besok aku akan menelepon!" aku berteriak,
berharap melebihi apa pun bahwa aku bisa menjelaskan semua ini padanya saat
itu, namun sadar aku takkan pernah sanggup. Kunyalakan mesin truk dan melesat
meninggalkan halaman rumah.
Edward meraih tanganku.
"Menepi," katanya begitu rumahku, dan
Charlie, telah lenyap di belakang kami.
"Aku bisa mengemudi," kataku di balik air
mata yang mengalir ke pipi.
Tahu-tahu tangannya yang panjang mencengkeram
pinggangku, dan kakinya mendorong kakiku hingga lepas dari pedal gas. Ia menarikku
ke pangkuannya, melepaskan tanganku dari kemudi, dan tiba-tiba saja ia sudah
berpindah ke jok pengemudi. Trukku tidak oleng sedikit pun. "Kau takkan
bisa menemukan rumahnya," ia menjelaskan.
Tiba-tiba lampu-lampu menyorot terang di belakang
kami. Aku memandang lewat kaca belakang, mataku membelalak ketakutan.
"Itu cuma Alice," ia menenangkanku. Ia
memegang tanganku lagi.
Benakku dipenuhi sosok Charlie yang berdiri di ambang
pintu.
"Si pemburu?"
"Dia mendengar akhir sandiwaramu," kata
Edward geram.
"Charlie?" tanyaku ngeri.
"Si pemburu mengikuti kita. Sekarang dia berlari
di belakang kita."
Tubuhku langsung membeku. "Bisakah kita
meninggalkannya?"
"Tidak." Tapi Edward mempercepat laju truk
sambil berbicara.
Mesin truk menggeram. Rencanaku tiba-tiba tidak
terasa brilian lagi. Aku menoleh ke belakang menatap lampu mobil Alice ketika
truk bergetar dan bayangan gelap meluncur di luar jendela.
Darahku bergejolak sesaat sebelum Edward membekap
mulutku. "Itu Emmett!
Ia melepaskan tangannya dari mulutku, dan memeluk
pinggangku.
"Semuanya baik-baik saja, Bella," ia
berjanji. "Kau akan aman.”
Kami melesat melewati kota yang sepi, menuju jalan
tol utara.
"Aku tak tahu kau masih begitu bosan dengan
kehidupan kota kecil," katanya berbasa-basi, dan aku tahu ia berusaha
mengalihkan perhatianku.
"Sepertinya kau menyesuaikan diri dengan cukup
baik—terutama akhir-akhir ini. Barangkali aku hanya menyanjung diriku sendiri
karena telah membuat hidupmu jauh lebih menarik."
"Aku benar-benar bukan anak yang baik," aku
mengaku, mengabaikan usahanya mengalihkan perhatianku, sambil menunduk
memandangi lutut.
"Itu tadi hal yang sama yang diucapkan ibuku
saat dia meninggalkan Dad. Bisa dibilang itu sangat kejam dan tidak adil."
"Jangan khawatir. Dia akan memaafkanmu." Ia
tersenyum sedikit, meskipun matanya tidak. Aku menatapnya putus asa, dan ia
melihat kepanikan di mataku.
“Bella, semuanya akan baik-baik saja." “Tapi
tidak akan baik-baik saja saat aku tidak bersamamu," bisikku.
“Kita akan bersama-sama lagi dalam beberapa
hari," kitanya seraya mempererat pelukannya. "Jangan lupa, ini
idemu."
“Ini ide terbaik—tentu saja ini ideku."
Senyumnya pucat dan langsung lenyap.
"Kenapa ini terjadi?" tanyaku, suaraku
melengking
“Kenapa aku?"
Ia menatap marah ke jalanan di depan kami. "Ini salahku
aku bodoh sekali mengeksposmu seperti itu." Kemarahan dalam suaranya
ditujukan pada dirinya sendiri.
"Bukan itu maksudku," aku berkeras.
"Aku ada di sana, memangnya kenapa? Kehadiranku
tidak mengganggu dua yang lain. Kenapa si James ini memutuskan ingin
membunuhku. Ada orang di mana-mana, kenapa aku?" Ia ragu-ragu, berpikir
sebelum menjawab.
"Aku mendengarkan pikirannya malam ini," ia
memulai dengan suara pelan.
"Aku tak yakin ada yang bisa kulakukan untuk
menghindari ini, begitu dia melihatmu. Sebagian adalah salahmu." Suaranya
masam.
"Seandainya aromamu tidak begitu menggiurkan,
dia mungkin saja tidak terusik. Tapi ketika aku membelamu..., Well, itu membuat segalanya tambah
parah. Dia tidak terbiasa dikecewakan, tak peduli betapa tidak pentingnya objek
itu. Dia menganggap dirinya pemburu, bukan yang lain. Eksistensinya hanya
melulu mengenai berburu, dan baginya tantangan adalah satu-satunya hal yang
penting. Tiba-tiba kita mempersembahkan tantangan yang indah di hadapannya—satu
klan besar yang terdiri atas pejuang tangguh semua bersatu melindungi satu
elemen yang lemah. Kau takkan percaya betapa gembiranya dia sekarang. Ini
permainan favoritnya, dan kita baru saja menjadikannya permainan paling menarik
baginya." Suaranya penuh kejijikan. Ia berhenti sebentar.
"Tapi seandainya aku tidak membelamu, dia bisa
saja membunuhmu saat itu juga," katanya sangat putus asa.
"Kupikir... aromaku tidak sama bagi yang lain...
tidak seperti bagimu," kataku ragu-ragu.
“Memang tidak. Tapi bukan berarti kau bukan godaan
bagi mereka. Seandainya kau telah menarik perhatian si pemburu – atau salah
satu dari mereka – dengan cara yang sama seperti terhadapku, pertarungan akan
terjadi saat itu juga.”
Aku bergidik ngeri.
“Kurasa aku tak punya pilihan lain kecuali membunuhnya
sekarang," gumamnya. "Carlisle takkan menyukainya."
“Aku bisa mendengar suara ban melintasi jembatan,
meskipun aku tak bisa melihat sungainya di kegelapan. Aku tahu kami semakin
dekat. Aku harus bertanya sekarang.
"Bagaimana kau membunuh vampir?"
Ia melirikku dengan tatapan yang tak bisa kutebak dan suaranya mendadak parau. "Satu-satunya yang bisa memastikan kematiannya adalah dengan menghancurkannya berkeping-keping lalu membakarnya." "Dua vampir lainnya, apakah mereka akan ikut bertarung dengannya?"
Penutup Novel Twilight – PERPISAHAN Bab 100
Gimana Novel twilight – Port PERPISAHAN Bab 100 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa
yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya.
Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik tombol navigasi bab di bawah ini.
0 comments: