Novel Twilight (New Moon), ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada orang
tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight (New Moon) Bab 10 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – JAHITAN Bab 10
Bola mata Carlisle yang berwarna gelap tampak tenang
dan merenung saat ia menjawab.
"Hmm. Aku paling senang kalau... kemampuanku ini
bisa membantu menyelamatkan orang yang kalau tidak kutolong pasti akan
meninggal. Senang rasanya mengetahui bahwa, karena kemampuanku, kehidupan orang
lain bisa jauh lebih baik karena aku ada. Bahkan indra penciumanku terkadang
bisa menjadi perangkat diagnosis yang berguna." Satu sisi mulutnya
terangkat membentuk separo senyuman.
Aku memikirkan hal itu
sementara Carlisle mengorek-ngorek lukaku, memastikan semua serpihan kaca telah
diambil Lalu ia merogoh-rogoh tasnya, mencari peralatan baru, dan aku berusaha
untuk tidak membayangkan jarum dan benang.
"Kau berusaha sangat keras
membenahi sesuatu yang sebenarnya bukan salahmu," kataku sementara sensasi
tarikan yang baru mulai terasa di pinggir-pinggir kulitku.
"Maksudku, kau tidak minta
dilahirkan seperti ini. Kau tidak memilih kehidupan seperti ini, tapi kau tetap
berusaha sangat keras untuk menjalaninya dengan baik."
"Aku bukan hendak
membenahi apa-apa," Carlisle menyanggah halus.
"Seperti segalanya dalam
hidup, aku hanya memutuskan hendak berbuat apa dengan kehidupan yang kumiliki
sekarang."
"Kau membuatnya terdengar terlalu mudah."
Carlisle memeriksa lenganku lagi.
"Nah, sudah," ujarnya, menggunting benang.
"Sudah beres." Ia mengolesi kapas bertangkai
ukuran besar dengan cairan sewarna sirup banyak-banyak, lalu membalurkannya
dengan saksama di seluruh
permukaan luka yang sudah
dijahit. Baunya aneh; membuat kepalaku berputar. Cairan itu membuat kulitku
perih.
"Tapi awalnya,"
desakku sementara Carlisle menempelkan kasa panjang menutupi luka, lalu
merekatkannya ke kulitku.
"Mengapa terpikir olehmu
untuk mencoba cara hidup yang lain selain yang lazim bagi kalian?"
Bibir Carlisle terkuak,
membentuk senyum pribadi. "Edward tak pernah menceritakannya padamu?"
"Pernah. Tapi aku ingin
memahami jalan pikiranmu..."
Wajah Carlisle mendadak berubah
serius lagi, dan aku bertanya-tanya dalam hati apakah ia juga memikirkan hal
yang sama. Bertanya-tanya apa yang akan kupikirkan saat—aku menolak berpikir
itu hanya kemungkinan—itu terjadi padaku. "Kau tahu ayahku pemuka
agama," kenang
Carlisle sambil membersihkan meja dengan hatihati,
mengelap semuanya dengan kasa basah, kemudian mengulanginya lagi. Bau alkohol
membakar rongga hidungku.
"Dia memiliki pandangan yang agak keras terhadap
dunia, hal yang mulai kupertanyakan sebelum aku berubah." Carlisle
meletakkan semua kasa kotor dan serpihan kaca ke dalam mangkuk kristal kosong.
Aku tidak mengerti maksudnya, sampai kemudian Carlisle
menyalakan korek. Kemudian ia membuang batang korek api ke tumpukan kain yang
basah oleh alkohol, dan api yang tiba-tiba menyala membuatku melompat kaget.
"Maaf,” katanya.
"Nah, sudah... aku tidak sependapat dengan
keyakinan yang dianut ayahku. Tapi tidak pernah, selama hampir empat ratus
tahun sekarang sejak aku dilahirkan, aku melihat apa pun yang membuatku
meragukan keberadaan Tuhan dalam wujud bagaimanapun. Bahkan bayangan dalam
cermin pun tidak." Aku pura-pura mengamati balutan di lenganku untuk
menyembunyikan kekagetanku melihat arah pembicaraan kami.
Agama adalah hal terakhir yang kuharapkan bakal
menjadi jawabannya. Aku sendiri bisa dibilang tidak memiliki keyakinan. Charlie
menganggap dirinya Lutheran, karena itulah agama yang dianut kedua orangtuanya,
tapi di hari Minggu ia beribadah di tepi sungai dengan joran dan pancing.
Renee sesekali ke gereja, tapi sama seperti affair
singkatnya dengan tenis, kerajinan tembikar, yoga, dan kursus bahasa Prancis,
ia sudah tertarik pada hal lain saat aku baru mulai menyadari kegemaran
barunya. Aku yakin semua ini kedengarannya aneh, karena keluar dari mulut
vampir.
Carlisle
nyengir, tahu penggunaan kata itu secara sambil lalu selalu berhasil membuatku shock.
"Tapi aku berharap masih ada tujuan dalam hidup
ini. bahkan bagi kami. Sulit memang, harus kuakui,” sambung Carlisle dengan
nada tak acuh.
"Bagaimanapun juga, kami telah dikutuk. Tapi aku
berharap, dan mungkin ini harapan konyol, bahwa kami bisa mendapatkan sedikit
penghargaan karena telah mencoba."
"Menurutku itu tidak
konyol," gumamku. Aku tak bisa membayangkan ada orang, termasuk Tuhan,
yang tidak terkesan pada Carlisle.
Lagi pula, satu-satunya surga
yang kuinginkan adalah yang ada Edward-nya.
"Dan kurasa orang lain pun
tak ada yang berpikir begitu."
"Sebenarnya, kau orang
pertama yang sependapat denganku."
"Memangnya yang lain-lain
tidak merasakan hal yang sama?" tanyaku, terkejut, pikiranku hanya tertuju
pada satu orang secara khusus.
Carlisle kembali menebak jalan
pikiranku. "Edward sependapat denganku sampai batas tertentu. Tuhan dan
surga itu ada... begitu juga neraka. Tapi dia tidak percaya ada kehidupan
setelah kematian untuk jenis kami," Suara Carlisle sangat lembut; ia
memandang ke luar jendela besar di atas bak cuci, ke kegelapan.
"Kau tahu, menurut dia,
kami sudah kehilangan jiwa kami." Aku langsung teringat kata-kata Edward
siang tadi: kecuali kau memang ingin mati—atau apa sajalah istilahnya untuk
kamu.
Sebuah bola lampu seakan
menyala di kepalaku.
"Jadi itulah masalahnya,
bukan?" aku menduga.
"Itulah sebabnya dia
begitu sulit mengabulkan keinginanku."
Carlisle berbicara
lambat-lambat. "Aku memandang... putraku. Kekuatannya, kebaikannya,
kecemerlangan yang terpancar darinya—dan itu justru semakin mengobarkan
semangat itu, keyakinan itu, lebih dari yang sudah-sudah. Bagaimana mungkin
tidak ada kehidupan setelah kematian untuk makhluk sebaik
Edward?"
Aku mengangguk penuh semangat,
setuju.
"Tapi kalau keyakinanku
sama seperti Edward bahwa jiwa kami sudah hilang..." Carlisle menunduk
memandangiku dengan sorot mata tak terbaca.
"Seandainya kau meyakini
hal yang sama seperti yang diyakininya. Tegakah kau merenggut jiwanya?"
Cara Carlisle memfrasekan
pertanyaan itu menghalangi jawabanku. Seandainya ia bertanya apakah aku rela
mempertaruhkan jiwaku untuk Edward, jawabannya jelas.
Tapi apakah aku rela
mempertaruhkan jiwa Edward? Kukerucutkan bibirku dengan sikap tak suka. Itu
bukan barter yang adil.
"Sekarang kau mengerti
masalahnya." Aku menggeleng, sadar sifat keras kepalaku mulai muncul.
Carlisle mendesah.
"Itu pilihanku,” aku berkeras.
"Itu juga pilihannya," Carlisle mengangkat tangan
begitu melihatku hendak membantah.
"Terlepas dari apakah dia bertanggung jawab melakukan
hal itu terhadapmu."
"Dia bukan satu-satunya yang bisa melakukannya,"
Kupandangi Carlisle dengan sikap spekulatif.
Penutup Novel Twilight (New Moon) – JAHITAN Bab 10
Gimana Novel twilight (New Moon) – Port JAHITAN Bab
10 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab
berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab
berikutnya dengan mengklik tombol navigasi bab di bawah ini.
0 comments: