Novel Twilight (New Moon), ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada orang
tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight (New Moon) Bab 1 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – PESTA Bab 1
PENDAHULUAN
AKU merasa bagai terperangkap
dalam mimpi buruk mengerikan. Dalam mimpi itu kau harus berlari, berlari terus
sampai paru-parumu pecah, tapi kau tak sanggup memacu tubuhmu untuk bergerak
cukup cepat.
Kakiku rasanya makin lama makin
lambat sementara aku berjuang menembus kerumunan orang yang tidak memiliki
perasaan, tapi jarum di menara jam tak juga melambat. Tak peduli dan tanpa
belas kasihan, jarum jam itu terus bergerak menuju akhir—akhir segalanya.
Tapi ini bukan mimpi, dan,
tidak seperti mimpi buruk, aku tidak berlari menyelamatkan nyawaku; aku berlari
untuk menyelamatkan sesuatu yang jauh lebih berharga. Hidupku nyaris tak ada
artinya bagiku hari ini.
Menurut Alice tadi, besar
kemungkinan kami bakal mati di sini. Mungkin hasil akhirnya akan lain bila ia
tidak terperangkap cahaya matahari yang menyilaukan; hanya akulah yang bisa
berlari melintasi lapangan terbuka yang terang benderang dan padat ini.
Tapi aku tidak bisa berlari
cukup cepat.
Jadi tak ada artinya bagiku, kami dikelilingi
musuh-musuh kami yang luar biasa berbahaya. Saat jam mulai berdentang, bergetar
di bawah sol sepatuku yang terasa berat, tahulah aku bahwa aku terlambat – dan
aku senang sesuatu yang haus darah menungguku di sayap bangunan. Karena bila
aku gagal dalam misiku ini, aku tidak lagi memiliki keinginan untuk hidup.
Jam kembali berdentang, dan matahari memancarkan cahayanya yang terik tepat dari titik di tengah langit.
1. PESTA
AKU 99,9% yakin sedang
bermimpi. Alasan mengapa aku begitu yakin sedang bermimpi adalah, pertama, aku
berdiri di bawah cahaya matahari yang terang benderang—sorot matahari yang
menyilaukan, sesuatu yang tak pernah terjadi di Forks, Washington, kampung
halamanku yang selalu berhujan—dan kedua, aku sedang menatap nenekku, Grandma
Marie. Padahal Gran sudah meninggal enam tahun lalu, jadi itu bukti solid untuk
menguatkan teoriku tentang mimpi ini.
Gran tak banyak berubah;
wajahnya masih tepat seperti yang kuingat. Kulitnya lembut dan layu,
terlipat-lipat membentuk ribuan keriput kecil yang menggelantung lembut pada
tulang di bawahnya. Seperti aprikot kering, tapi dengan gumpalan rambut putih
tebal yang mengelilingi wajahnya bagaikan awan.
Mulut kami—mulut Gran berupa kerutan
keriput—mengembang membentuk senyum terkejut pada saat bersamaan. Ternyata Gran
juga tidak menyangka akan bertemu denganku. Aku baru saja hendak bertanya
kepadanya; begitu banyak pertanyaan berkecamuk dalam
benakku—Apa yang Gran lakukan
di sini dalam mimpiku? Ke mana saja Gran selama enam tahun terakhir ini? Apakah
Pop baik-baik saja, dan apakah mereka sudah bertemu, di mana pun mereka berada
sekarang—tapi Gran membuka mulut saat aku juga membuka mulut, jadi aku berhenti
untuk memberinya kesempatan lebih dulu. Gran juga terdiam, kemudian kami
samasama tersenyum melihat kecanggungan kami.
"Bella?"
Bukan Gran yang memanggil
namaku, dan kami pun sama-sama menoleh untuk melihat siapa gerangan yang
bergabung dalam reuni kecil kami. Sebenarnya tanpa melihat pun aku sudah tahu
siapa dia; itu suara yang pasti akan kukenali di mana pun—kukenal dan
kurespons, tak peduli apakah aku sedang bangun atau tidur... atau bahkan mati,
aku yakin. Suara yang untuknya aku rela berjalan melintasi api—atau, agar tidak
terdengar terlalu dramatis, mengarungi hujan dan sengatan hawa dingin yang
selalu datang setiap hari.
Edward.
Walaupun aku selalu senang
bertemu dengannya—baik sadar maupun tidak—dan walaupun aku hampir yakin aku
sedang bermimpi, tak urung aku panik juga saat Edward berjalan menghampiri kami
di bawah terik matahari yang menyengat.
Aku panik karena Gran tak tahu aku mencintai
vampir—tak seorang pun mengetahuinya—jadi bagaimana aku bisa menjelaskan fakta
bahwa
sorot matahari yang benderang
memantul di kulit Edward dalam bentuk ribuan keping pelangi, membuatnya
terlihat seakan-akan terbuat dari kristal atau berlian?
Well, Gran, kau pasti sudah melihat pacarku berkilau
kilau. Memang begitulah dia kalau
berada di bawah sinar matahari. Jangan
khawatir... Apa yang Edward lakukan?
Alasan utama ia tinggal di Forks, kota yang curah hujannya tertinggi di dunia,
adalah supaya ia bisa berada di luar rumah pada siang hari tanpa takut rahasia
keluarganya terbongkar. Tapi sekarang ia malah melenggang santai
menghampiriku—senyum termanis menghiasi wajahnya yang rupawan— seakan-akan
hanya ada aku di sini.
Detik itu juga, aku berharap bukan aku satusatunya yang terkecualikan oleh
bakat misteriusnya; biasanya aku justru bersyukur menjadi satu-satunya orang
yang pikirannya tak bisa dibaca Edward.
Tapi sekarang aku malah berharap ia bisa membaca pikiranku juga, supaya ia
bisa mendengar peringatan yang kuteriakkan dalam pikiranku.
Aku melayangkan pandangan panik
kepada
Gran, dan melihat ternyata itu sudah terlambat. Gran
sudah berpaling menatapku, dan sorot matanya sama terkejutnya dengan sorot
mataku. Edward—masih menyunggingkan senyumnya yang begitu menawan hingga
membuat hatiku bagai menggelembung dan meledak memecahkan dada—merangkul bahuku
dan membalikkan tubuhku sehingga aku berdiri berhadap-hadapan dengan nenekku.
Ekspresi Gran membuatku
terkejut. Alih-alih tampak ngeri, ia malah menatapku takut-takut, seperti
menunggu disemprot. Dan ia berdiri dengan posisi sangat aneh—sebelah tangan
terangkat canggung menjauhi tubuhnya, terulur, dan kemudian tertekuk di udara.
Seperti merangkul seseorang yang tidak bisa kulihat, seseorang yang tidak
tampak...
Barulah kemudian, saat melihat
gambaran yang lebih besar, aku menyadari ada pigura emas yang membingkai sosok
nenekku. Tidak mengerti, aku mengangkat tangan yang tidak memeluk pinggang
Edward dan mengulurkannya untuk menyentuh nenekku. Gran meniru gerakanku dengan
tepat, seperti cermin. Tapi di mana jari-jari kami seharusnya bertemu, tak ada
apa-apa kecuali kaca yang dingin...
Dengan keterkejutan
memusingkan, mimpiku sekonyong-konyong berubah jadi mimpi buruk.
Tak ada Gran.
Itu aku. Bayanganku dalam cermin. Aku—tua, keriput, dan layu.
Edward berdiri di sampingku, bayangannya tidak
terpantul dalam cermin, begitu rupawan, dan selamanya berumur tujuh belas
tahun. Edward menempelkan bibirnya yang sempurna dan sedingin es ke pipiku yang
keriput. “Selamat ulang tahun,” bisiknya.
Penutup Novel Twilight (New Moon) – PESTA Bab 1
Gimana Novel twilight (New Moon) – Port PESTA Bab 1 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan
terjadi di bab berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan
baca bab berikutnya dengan mengklik tombol
navigasi bab di bawah ini.
0 comments: