Novel Elena ditulis oleh Ellya Ningsih, Banyak yang berharap penulis novel ini akan menjadi the next Tere Lie. Novel Elena juga memiliki versi cetak yang lengkap. Anda bisa memesannya di nomor Wa : 085703404372 atau 088218909378.
Oh iya membaca novel hanyalah sekedar
hiburan atau hobi atau bahkan pengisi waktu luang saja. Untuk itu admin blog
ini selalu mengingatkan tetaplah nomor satukan Ibadah, Perintah orang tua dan
pekerjaan.
Novel Elena ini ditulis
dengan bahasa yang ringan namun bisa mengobrak abrik emosi pembaca. Tak salah
jika novel ini menjadi viral dan selalu ditunggu bab perbab nya oleh pembaca.
Ok Sekarang silahkan baca Novel Elena Bab 6
Baca Novel Elena Bab 6 Di Sini Sekarang
"Maaf pak. Ada tamu
wanita yang menunggumu di sana, "kata resepsionis dengan sopan sambil ibu
jarinya menunjuk ke restoran di sebelah lobi hotel. Kemudian dia kembali ke
tempatnya. Tamu wanita? Siapa ini Kening Eugene berkerut. Ia berjalan menuju
restoran. Membentangkan pandangannya ke sekeliling ruangan, tidak ada seorang
pun yang dia kenal.
Hampir berbalik ketika
sepasang tangan melingkari pinggangnya, memeluknya dari belakang. Eugene
mengenalinya.
Mary Anne. Perempuan asia
berkulit kuning, usia dua puluh delapan tahun, perawakan sedang, rambut lurus
hitam legam dengan panjang sebahu. Kelopak matanya kecil khas etnis Tionghoa
dengan bibir tipis kemerahan. Bentuk dan ukuran hidungnya menambah
kesempurnaan.
Ia mengenakan dress
selutut hitam polos tanpa lengan yang membalut ketat setiap lekuk tubuhnya.
Dengan alas kaki model terbuka berhak tinggi, ia terlihat seumpama boneka
porselen yang mungil, cantik dan seksi.
“Rindu padaku?” Pemilik
lengan ramping itu bersuara menggoda.
“Jangan, Anne. Ini bukan Taipei.”
Eugene melepaskan dirinya
dari pelukan Anne. Lalu membalik badan, berhadapan dengannya. “Mau apa kau
kemari?” tanya Eugene dingin.
“Kau tak suka kedatanganku ya?”Anne mendengus
kesal. “Aku tak suka kejutan.” “Berhari-hari aku menghubungimu, meninggalkan
pesan tapi tak ada balasan. Aku benci diabaikan.
Rindu ini tak
tertahankan,” rajuk Anne menggelayuti lengan Eugene. “Aku sibuk. Harusnya kau
menunggu.” “Sibuk? Kupikir kau ke sini untuk liburan, bukan pekerjaan.”
Eugene tidak menanggapi
keheranan Anne. Ia melangkah kembali ke lobi menghampiri meja resepsionis. “Aku
tadi bermaksud memberi kejutan di kamarmu. Tapi mereka tak mengijinkan aku
masuk,” ujar Anne kembali masih menggelayut manja di lengan Eugene.
“Tolong bukakan satu
kamar lagi untuknya. Tagihannya atas namaku,” pesan Eugene pada resepsionis
yang menanggapinya dengan sigap dan ramah. “Kita tidur di kamar terpisah? Kau
bercanda ya?” Anne keheranan, matanya lekat menatap Eugene mencari jawaban.
“Aku lelah, Anne. Butuh istirahat,” sahut Eugene cepat. Resepsionis menyodorkan
kunci kamar pada Anne sambil tersenyum lalu mengangguk ramah pada Eugene.
Mereka berdua berjalan
menuju lift, ke kamar masing-masing. Anne sudah melepaskan gelayutannya dari
lengan Eugene. Mukanya cemberut. “Aku lapar ...”
“Pesan saja dari kamar,
aku yang bayar.” “Kau tidak suka kedatanganku. Kita tidur di kamar terpisah.
Dan sekarang kau bahkan tidak ingin menemaniku makan. Kau ini kerasukan apa
sih?” cecar Anne.
“Aku tak mau makan di hotel. Aku mau makan di
luar!” “Oke. Oke. Terserah kau.” “Jemput aku di kamar ya jam delapan, kita
makan malam di luar.”
“Tidak. Kita bertemu di lobi saja supaya lebih
cepat berangkat.” Eugene berkata dengan ekspresi muka biasa, Anne terlihat
kecewa. Lift terbuka di lantai dua, di mana kamar Anne berada. Ia menyeret
koper kecilnya keluar, “Jangan lupa jam delapan!”
Di sebuah kedai yang menyajikan
makanan laut, tidak jauh dari hotel. Eugene dan Anne duduk berhadapan. Ini dulu
tempat favorit Elena. Letaknya di pinggir jalan besar. Selain di dalam ruko,
beberapa meja dan kursi ditata sedemikian rupa di lahan kosong di dekatnya.
Tanpa tenda. Jadi jika
tidak hujan, mereka bisa makan di bawah langit malam. Harga menu yang tersedia
rata-rata lebih mahal daripada kedai-kedai serupa lainnya. Tapi tak mengapa,
dengan ukuran kepiting, udang dan ikan yang dimasak dengan kelezatan ekstra
maka harganya menjadi sepadan. Eugene memesan seporsi besar udang bakar madu,
lagi-lagi menu favorit Elena.
Sementara Anne memesan
calamary dan kepiting soka dimasak dengan saus tiram. Eugene menikmati
makanannya dengan banyak diam. Sementara Anne ramai sekali berbicara, sesekali
ia tertawa pada hal-hal yang dianggapnya lucu dan Eugene hanya menarik bibirnya
sedikit, tersenyum tipis. Dari meja kasir, dua insan itu tidak menyadari
sepasang mata yang mengamati mereka dari jauh. Pandangan terluka namun tetap
berusaha tegar.
‘Can’t find someone like
me eh?’ katanya dalam hati mencibir sinis. Elena kebetulan sedang mampir juga
ke kedai yang sama ketika matanya menangkap bayangan Eugene dan Anne.
Malam itu Al ingin makan
kerang dan udang rebus. Setelah membayar pesanannya untuk dibawa pulang. Elena
menuliskan sesuatu di secarik kertas lalu menyodorkannya pada seorang pelayan,
“Tolong sampaikan ini pada lelaki bule yang
duduk bersama perempuan berbaju hitam di meja luar sana.”.............. “Baik,
bu.” Elena menggandeng tangan Al yang tidak menyadari kehadiran Eugene, keluar
dari kedai dan pulang. Pelayan yang dititipi Elena mendekati meja Eugene.
Menyerahkan dengan sopan
secarik kertas yang digulung serupa sebatang rokok kepada Eugene sambil
tersenyum tanpa mengatakan apa-apa. Lalu berlalu pergi.
Eugene menatap punggung
belakang pelayan itu lalu beralih pada kertas di genggamannya. Keheranan.
“Kau mengenalnya?” tanya
Anne.
Eugene menggeleng pelan.
Tangannya membuka gulungan kertas itu perlahan.
‘Sudah kuduga tak sesulit
itu mencari penggantiku. Aku senang akhirnya kita berdua bisa melanjutkan hidup
masing masing.’ Elena!
Dalam sepersekian detik
setelah membaca isi kertas itu, Eugene bangkit terburu-buru sehingga kursi yang
didudukinya hampir saja terjungkal. Ia berlari keluar kedai, menghambur ke arah
jalan raya.
“Elena! Elena! Elena!”
Eugene memanggil-manggil Elena sambil mencari cari ke segala arah.
Ia tidak menemukan siapa-siapa.
Dengan gontai Eugene kembali masuk ke dalam kedai. Melewati kasir dan beberapa
orang pelayan juga belasan pasang mata pengunjung lainnya yang keheranan.
Fix, lagi-lagi ia menjadi
bahan tontonan. Kedua tangannya meremas rambutnya kesal sementara wajahnya
terlihat kusut masai.
“Kau mencari siapa?” selidik Anne. “Cepat
selesaikan makanmu. Kita kembali ke hotel. Aku lelah!” Eugene tidak menggubris
pertanyaan Anne, rahangnya mengeras menahan sesuatu dalam dadanya yang
bergejolak.
Hampir semalaman Elena
terjaga, ia benar-benar tidak menyangka melihat Eugene kembali ... dan tidak
sendiri. Berbagai perasaan campur aduk dalam hatinya membuat napasnya sesak
seolah apa yang di dalam rongga dadanya hampir meledak. Menjelang adzan shubuh,
diambilnya air wudhlu. Dirasakannya setiap bulir air dingin yang masuk ke dalam
pori-porinya.
Sejuknya sampai ke dalam
dada, satu ikatan seperti terlepas menjadikan ia sedikit lebih lega.
Dihamparkannya sajadah, ia mendirikan sholat sunnah dua rakaat kemudian
dilanjut sholat fardhu shubuh. Ia merasa satu lagi ikatan seolah terlepas dari
dadanya.
Semakin lega. Elena
mengambil kitab suci Al Quran, diciumnya beberapa kali sebelum akhirnya
membukanya untuk melanjutkan tilawah.
Dia benar mengingat
seseorang dalam hidupnya pernah berkata kepadanya, 'Al-Qur'an melembutkan hati
yang keras dan menyembuhkan hati yang terluka'. Hingga surat Az Zumar ayat 53,
dia menemukan ayat tersebut sebagai salah satu motivasi terbesar ketika dia
akhirnya memutuskan untuk bertaubat.
Katakanlah: "Wahai
hamba-Ku yang telah melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, jangan putus
asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni semua dosa. Sesungguhnya
Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Elena tidak bisa lagi menahan
perasaannya.
Wajahnya sujud di atas
sujud, air mata pecah. Bahunya bergetar hebat, mulutnya terus-menerus
beristighfar. Ia bergumam lirih,
‘Ya Rabb, please don’t put
me back into what You once took me out from.’ Setelah menangis cukup lama,
Elena tertidur di atas sajadah masih dengan mengenakan mukenah. Seseorang masuk
ke dalam kamar Elena, menyibakkan tirai.
Cahaya matahari menerobos
masuk dari jendela, hangatnya terasa di wajah Elena. “Ibu. Ibu. Ayo bangun. Ibu
bilang tidak baik tidur setelah sholat shubuh.”
Al mengelus pipi Elena,
diperhatikannya bekas-bekas airmata yang mengering di wajah ibunya. Al memeluk
Elena, matanya berkaca-kaca. Ia tak pernah sanggup melihat ibunya menangis.
“Al? Kau sudah bangun, Nak?”
“Ya, Bu. Ibu habis
menangis ya?” “Haha iya sedikit, Ibu merasa banyak dosa sama Allah jadi sedih.
Al belajar terus jadi sholeh ya, Nak.
Supaya kelak kau bisa
menolong ibu dengan doa-doamu. Oya tadi shubuh sholat di rumah atau di masjid?”
“Iya, Buinsyaa Allaah Al
jadi anak sholeh. Tadi Al sholat shubuh di masjid, berangkat naik sepeda bareng
Athar sama Radit. Al udah pamit kok, Ibu tidak dengar ya?”
Elena menggeleng sambil
tersenyum. “Jam berapa ini Al? Kok belum siap-siap sekolah?” “Ini Sabtu, Bu. Al
kan libur. Ibu masih setengah tidur nih. Ayo bangun, Al mau kasih kejutan buat
Ibu.” Almenarik tangan Elena.
“Ya ya ya, sebentar Ibu
lepas mukenah dulu.”
“Aku tunggu di meja makan ya, Bu!”
Al berlari kecil keluar
kamar Elena yang tersenyum-senyum melihat tingkah Al. Sungguh Al adalah pelipur
lara dan obat dari segala keletihannya.
“Tadaaaaaaaaa, kejutan
sarapan untuk Ibu tercintaaaa!” teriak Al begitu Elena muncul.
Al menarik kursi,
menuntun ibunya duduk. Sementara mata Elena terpaku melihat hidangan di atas
meja. Segelas air jeruk. French Toast. Irisan strawberry dan madu. Hatinya
berdesir mengingatkan ia pada seseorang tapi buru-buru ditepisnya. Ini hanya
kebetulan.
“Siapa yang menyiapkan
ini semua?”
“Aku!” Al mengacungkan
tangannya tinggi-tinggi. Matanya berbinar bangga.
“Masa?” Elena masih
terpana tak percaya.
“Iya, betul! Al belajar
dari sekolah. Al minta tolong Ummi Izza untuk membeli bahan-bahannya dari uang
tabungan Al.”
“Masyaa Allaah, Al. Ibu
bangga dan bahagia sekali. Jazakallaahu khayr ya, Nak.”
mata Elena berkaca-kaca,
diraihnya Al ke dalam pelukan dan menciuminya bertubi-tubi. Al terkekeh-kekeh
geli. Lalu mereka mulai makan bersama-sama.
“Kau tahu ini namanya apa
Al?” Elena menunjuk pada lembaran roti di piringnya.
“Namanya susah, Altidak
ingat. Hahaha. Al kasih nama roti goreng cinta saja.” Elena ikut tertawa
mendengarnya.
“Ini namanya French
Toast. Ibu penasaran bagaimana kau membuatnya?”
“Mudah, Bu. Al tinggal masukin semua jadi satu saja. Bahan-bahannya kan sudah ditakar Ummi Izza. Pertama Al kocok dua butir telur ayam. Lalu masukkan susu full cream, bubukkayumanis dangaram. Aduk. Masukin roti tawar, digoreng deh pake margarine.
Tunggu sampai kecoklatan, dibalik sekali terus diangkat. Sebenarnya ditambah coklat,
selai atau keju pasti lebih enak. Tapi ada yang bilang kalau Ibu lebih suka
dioles madu tipis-tipis.”
“Siapa yang bilang?”
“Eh, siapa yang bilang ya? Al yang bilang tadi
kan ... barusan.” Al salah tingkah.
Al tahu Eugene menyukai
ibunya, tapi ia tak yakin ibunya merasakan hal yang sama.
Elena tertawa. Pikirannya
ke mana-mana, menaruh curiga. Tapi ia berusaha menepisnya jauh-jauh. Selesai
sarapan, Elena membawa piring dan gelas ke belakang. Ia hampir pingsan
mendapati dapurnya hancur berantakan.
Elena melotot ke arah Al
yang tertawa cengengesan. Sarapan pagi yang dibuat Al menyeret ingatan Elena ke
sarapan terakhir yang disajikan Eugene lebih dari tujuh tahun yang lalu. Elena
yang masih meringkuk di tempat tidur terbangun mendengar suara alat masak
beradu di dapur. Ia mencoba mengingat apa yang terjadi semalam dan terkejut
sendiri saat mendapati keadaan dirinya yang polos di balik selimut.
‘Ya Tuhan, apa yang telah
aku lakukan?’ Eugene datang dengan senampan sarapan, meletakkannya di hadapan
Elena.
Segelas jus jeruk,
beberapa lembar french toast, irisan stawberry dan madu. Harumnya menggoda tapi
mengingat kejadian semalam Elena mendadak tak berselera. “Selamat pagi,
sleeping beauty. Breakfast is ready” sapa Eugene sambil mengecup pipi Elena.
“Aku tak lapar ...” Elena
menarik selimut yang menutup tubuhnya lebih tinggi.
Ia duduk bersandar di
kepala tempat tidur. “Ayolah, kau makan terlalu sedikit. Apa kita ulang yang
terjadi semalam supaya kau cukup merasa lapar untuk makan?”
Eugene senang sekali
mencandainya seperti itu. Lagi-lagi muka Elena memerah tapi kali ini antara
malu dan marah. Ia memalingkan mukanya dari Eugene.
“Aku mau mandi.” Elena
menyeret selimutnya supaya tubuhnya tetap tertutupi. Selesai mandi, ia
menemukan sarapannya sudah berpindah ke meja makan.
Eugene duduk di sana
sambil menyeruput kopi. Elena duduk di hadapannya. Dengan sigap Eugene
mengambilkan selembar french toast mengolesnya tipis dengan madu kemudian
menaruh beberapa iris strawberry di atasnya. Elena memakannya perlahan dengan
diam. Eugene memperhatikannya.
“Kau menyesal?” Elena
masih diam, hati dan akalnya tidak sinkron. Harusnya ia menyesal, ini gila.
Tidak seharusnya sampai
sejauh ini. Tapi di lain sisi, ia juga menginginkannya. Elena menutup wajahnya
dengan kedua telapak tangannya, mulai terisak. Eugenebangkit, memeluk Elena
lembut.
“Maafkan aku ...” Elena
bergeming. Eugene setengah berjongkok, diputarnya kursi Elena sehingga ia
berhadapan dengannya.
Eugene meraih kedua
tangan Elena, mengecupnya berkali-kali. Ia bisa merasakan ketakutan yang
dirasakan Elena.
“Belumterlambatuntukberubah
fikiran. Pergilah bersamaku, Elena. Penghasilanku cukup untuk menghidupi kita
berdua. Aku mohon ...” Elena menggeleng lemah.
Airmata Elena semakin
deras, ingin rasanya ia mengiyakan tapi serusak apapun dirinya saat ini ia
masih cukup waras untuk tidak hidup dengan orang yang tidak mempercayai adanya
Tuhan.
Eugene menghela nafas
berat. Lalu bangkit kembali duduk di kursinya. “Pesawatku berangkat jam satu
siang. Kau kerja hari ini?”
“Tidak. Aku ingin pulang
saja setelah ini. Aku merasa tidak enak badan.”
“Baiklah. Kuantar kau
pulang ya?” tanya Eugene khawatir. “Tidak usah, aku baik-baik saja.” “Maukah
kau mengantarku ke bandara?”
“Baiklah. Tapi aku tidak
turun dari taksi ya, aku langsung pulang setibanya kau di bandara.”
“Oke. Sekarang habiskan
sarapanmu. Aku bersiap-siap dulu.” Eugene mengembalikan kunci apartemen ke
kantor pengelola. Lalu menggandeng tangan Elena masuk ke dalam taksi yang sudah
menunggu apartemen
“Kau meninggalkan
berantakan begitu saja?”
“Oh aku sudah mengupah
seseorang untuk membersihkannya,” sahut Eugene sambil tertawa kecil.
“Oh ...” Sepanjang
perjalanan Eugene menggenggam erat tangan Elena. Ia seperti mencium hal-hal
yang tidak ia sukai akan terjadi. Dan takut hal itu akan menyebabkan ia
kehilangan Elena.
“Dengarkan aku baik-baik,
Elena. Aku mencintaimu. Aku tidak akan membiarkan hal buruk terjadi padamu. Aku
akan meneleponmu setiba di Kanada. Sekarang berjanjilah satu hal padaku ...”
Eugene menyentuh pipi
Elena, mengarahkan pada wajahnya sehingga ia bisa melihat jauh ke dalam bola
mata Elena. “Berjanjilah padaku kau tidak akan meninggalkan aku ...”
Elena bergeming, dari
sudut-sudut matanya berjatuhan buliran bening. Eugene meraih Elena dalam
dadanya memeluknya erat. Tiba di bandara, Eugene memberikan sejumlah uang pada
supir. Memintanya untuk berhati-hati berkendara dan mengantarkan Elena pulang
dengan selamat. Dikecupnya beberapa kali rambut Elena. Dan membisikkan,
“Aku akan kembali liburan
akhir tahun nanti.” Sepanjang perjalanan pulang Elena merasakan sakit kepala.
Matanya sembab karena terlalu banyak menangis. Satu setengah jam kemudian ia
sampai di rumah. Bergegas dibukanya kunci pintu, ia ingin segera masuk dan merebahkan
badannya.
Begitu pintu terbuka,
Elena terkejut setengah mati mendapati seseorang duduk bertopang kaki persis di
hadapannya.
can’t find someone like
me, eh? (tidak bisa menemukan penggantiku, ya Rabb, please don’t put me back
into what you once took me out from. (ya Allah, aku mohon jangan biarkan aku
kembali pada apa yang telah Kau selamatkan aku daripadanya.)
sleeping beauty (putri tidur)
breakfast is ready
(sarapan sudah siap)
Kesimpulan Novel Elena Bab 6
Bagaiman Bab 6 nya, saya
yakin novel Elena ini akan membawamu ke dalam imajinasi untuk
berusaha menebak lanjutan kisahnya bukan? Jangan khawatir kami punya jawabannya
di bab berikutnya. Silahkan klik
navigasi Babnya di bawah ini untuk pindah ke Bab berikutnya.
0 comments: