Novel Elena ditulis oleh Ellya Ningsih, Banyak yang berharap penulis novel ini akan menjadi the next Tere Lie. Novel Elena juga memiliki versi cetak yang lengkap. Anda bisa memesannya di nomor Wa : 085703404372 atau 088218909378.
Oh iya membaca novel hanyalah sekedar
hiburan atau hobi atau bahkan pengisi waktu luang saja. Untuk itu admin blog
ini selalu mengingatkan tetaplah nomor satukan Ibadah, Perintah orang tua dan
pekerjaan.
Novel Elena ini ditulis
dengan bahasa yang ringan namun bisa mengobrak abrik emosi pembaca. Tak salah
jika novel ini menjadi viral dan selalu ditunggu bab perbab nya oleh pembaca.
Ok Sekarang silahkan baca Novel Elena Bab 5
Baca Novel Elena Bab 5 Di Sini Sekarang
Dear Sir, Datanglah ke
alamat berikut. Kami akan menemuimu. Di bawahnya tertera alamat. Setelah itu
tidak ada apa-apa lagi. Singkat sekali. Eugene mengerutkan dahi, ‘KAMI’? Kami
siapa? Mungkinkah ... ? Sampai di hotel, Eugene menghampiri meja resepsionis
dan bertanya.
“Bisakah Pak Udin
mengantar saya ke alamat ini nanti sore? Saya harus sampai di tempat pukul
lima.” Sejenak resepsionis mengamati alamat tersebut, “Lokasinya agak ke
pinggir kota. Butuh waktu sekitar satu jam lebih untuk tiba di sana. Lebih baik
berangkat sebelum pukul empat. Pak Udin akan saya minta siap-siap.” “Baiklah.
Terima kasih.” “Oya, Mary Anne beberapa kali menelepon.
Ia meminta anda segera
menghubunginya.” Eugene terdiam sesaat. Ia menghela nafas berat. Entah sudah
berapa belas kali Anne meninggalkan pesan. Eugene merasa terganggu tapi tak ada
yang ingin ia lakukan selain mengabaikan.
“Apakah anda ingin kami
menghubungi Mary Anne dan menyambungkannya ke kamar?” sambung resepsionis itu
lagi. “Tidak, tidak perlu. Tolong sambungkan ke nomer ini saja,” Eugene menulis
sebaris nomor di kertas yang tersedia di meja resepsionis. “Catherina, dia
ibuku,” terangnya. “Baik.
Segera saya sambungkan ke
kamar anda.” “Oke. Terima kasih. Jangan lupa nanti sore.” “Tentu tidak, Sir.
Pak Udin akan siap sebelum jam empat.” Eugene tersenyum sekilas kemudian
berlalu ke kamarnya. Belum lama Eugene masuk, telepon kamarnya berdering.
“Halo Sir, sudah
tersambung dengan Mrs. Catherina. Silakan.” “Baik, terima kasih.” “Eugene?
Hello, are you there? (Apakah kau di sana?” suara lembut dari seberang sana
terdengar. “Ya Mom, aku di sini. Bagaimana keadaanmu?” “Aku baik-baik saja,
hanya sedikit bosan. Kau sudah makan belum? Mengapa kau begitu sulit dihubungi?
Kapan kau pulang?” “Please Mom, Aku sudah terlalu tua untuk diingatkan. Aku
akan makan ketika aku lapar, jangan khawatir aku baik-baik saja.
Tentu aku sulit dihubungi
karena kunjunganku ke Jakarta bukan untuk tidur di hotel tapi berkeliling
kota.” Eugen tertawa kecil, sebersit rindu menyusup dalam hatinya. Ah sudah
hampir setahun Ia tak pulang ke Kanada. “Lalu, kapan kau pulang? Aku bosan.
Kakakmu pun sibuk dengan restoran yang kau percayakan padanya, ia jarang
mengunjungiku kecuali akhir pekan. Itu pun hanya sebentar. Aku terus berfikir
untuk menjual rumah ini dan pindah ke panti. Sehingga aku tidak kesepian lagi.”
“Bersabarlah sedikit
lagi, Mom. Aku akan segera pulang, kita diskusikan lagi nanti. Sementara ini
ada beberapa hal yang harus Aku urus di sini dan di Taipei. Lalu aku akan
pulang ke Kanada menemanimu.” “Kapan Kau menikah?!?” Tiba-tiba ibunya mengganti
topik pembicaraan. Eugene selalu menghindari pertanyaan itu. Tapi ibunya tak
pernah lalai menanyakan setiap kali ia punya kesempatan berbicara dengannya.
“Aku tak tau ...”
“Apa kau akan melajang
seumur hidup? Sampai kapan kau akan bertualang dari satu perempuan ke lain
perempuan? Usiamu saja yang bertambah tapi kelakuanmu tak bertumbuh,
kekanakkan! Apa kau pikir kau bisa cukup bahagia dengan terus hidup
bersenang-senang?” “Mom, please ...” untuk sekali ini Eugene merasa tak kuasa
membantah. Pencariannya empat hari ini sedikit banyak telah memberinya
pelajaran. Eugene terdiam. Ia bisa mendengar ibunya menghela nafas panjang dan
sesekali terdengarisak pelan dari seberang sana.
“Andai ayahmu masih ada,
Ia juga akan merasa kecewa. Ia menginginkan kau menjadi sosok yang bertanggung
jawab dan menghargai hidup. Baik hidupmu sendiri, juga kehidupan orang-orang
yang mencintaimu. Kau tidak sadar sedang merusak dirimu sendiri ...”
“Aku sedang berusaha,
Mom. Untuk memperbaikinya. Percayalah padaku sekali ini. Aku perlu waktu
sedikit lagi.” “Baiklah, Nak. Sekarang aku sedikit lelah.” Aku akan
“Beristirahatlah, Mom. meneleponmu lagi nanti.” Lalu terdengar nada telepon
terputus. Eugene meletakkan gagang telepon ke tempatnya dan mengusap wajahnya.
Di saat-saat seperti ini biasanya alkohol dan rokok menjadi pelampiasan.
Tapi Al membuka babak
baru, ia harus bisa menjadi teladan bagi Al. Ia tak ingin Al kecewa,
sebagaimana ia mengecewakan ayahnya seperti kata ibunya tadi. Eugene melihat ke
arah jam dinding. Hampir pukul satu, perutnya lapar sejak pagi hanya terisi
beberapa potong biskuit di sekolah Al tadi pagi. Ia menelepon pelayanan kamar,
dengan luwes menyebutkan menu khas Indonesia.
Nasi putih, sop buntut
dan teh tawar panas. Tak menunggu lama makanannya terhidang di meja. Ia
melahapnya dengan nikmat. Habis tak bersisa. Setelah kurang lebih satu setengah
jam mengistirahatkan badannya di atas pembaringan. Eugene bersiap-siap, ia tak
mau lagi terlambat. Wajah dan badannya terasa segar sehabis mandi. Dikenakannya
pakaian terbaik yang ia bawa.
Siapa yang bisa menjamin
ia tak bakal bertemu Elena. “Pak Udin, ayo kita berangkat!” seru Eugene
seketika sampai di lobi hotel. Ia melambai pada resepsionis yang membalasnya
dengan mengangguksambil tersenyum ramah. Pak Udin setengah berlari menyusulnya
keluar pintu hotel, mobil sudah tersedia di depannya. Siap berangkat.
“Sudah sampai, mister”
Jam tangan yang dipakai Eugene menunjukkan pukul lima kurang dua puluh menit.
Ia tiba lebih awal. Dilongokkan kepalanya keluar jendela mobil, memperhatikan
sekitar. Suasananya begitu asri, ditumbuhi banyak pepohonan. Ia melihat sebuah
rumah sederhana beraula terbuka cukup luas, dikelilingi pagar hijau setinggi
paha orang dewasa.
Agak jauh ke dalam lagi,
dilihatnya berjejer beberapa bangunan rumah yang lebih kecil dari rumah utama.
“Pak Udin, bisakah kau menunggu sampai urusanku selesai? Aku khawatir agak
sulit mencari taksi di sekitar sini.” “Baik mister, saya akan menunggu di
sebelah sana ya,” ia menunjukkan sebuah tempat teduh di bawah pohon rindang.
“Oke. Terima kasih.”
Eugene keluar dari mobil.
Berdiri hampir di bawah tiang nama yang terpancang selangkah di depannya,
kepalanya sedikit mendongak mencoba membaca. Tertulis, BAITI QURAN Tahsin dan
Rumah Belajar Tahfiz. Eugene mengerutkan kening, satu-satunya kata yang dia
tahu berarti Quran. Itulah kitab suci umat Islam. Langkahnya ragu-ragu,
memasuki gerbang yang terbuat dari batu bata bertumpuk tinggi. Terdengar suara
samar anak-anak membaca sesuatu secara bersamaan.
Tiga gadis kecil seusia
Al, mengenakan tutup kepala berwarna cerah berlari melintasinya. Sepertinya
mereka terlambat untuk sesuatu. Tak lama kemudian melewati sekelompok wanita
dengan pakaian tertutup dari ujung rambut sampai ujung kaki, menundukkan kepala
terburu-buru berjalan menuju salah satu rumah yang berjejer di ujung tanpa
memandangnya sama sekali.
Dahi dan leher Eugene
berkeringat, dia merasa gelisah dan tidak nyaman dengan suasana asing di
sekitarnya. Tempat apa ini? Kepalanya dipenuhi dengan berbagai macam pikiran.
Langkah Eugen terhenti. Dia mulai ragu, hampir membalikkan tubuhnya saat
seorang remaja laki-laki mendekatinya setengah berlari. “Apakah itu Tuan
Eugene? Saya Asep, mahasiswa di sini.
Ayo masuk, Abah sudah
menunggu di dalam, "katanya dalam bahasa Inggris yang terputus-putus
bercampur dengan aksen Sunda yang terdengar lucu di telinga Eugene.
"Baiklah. Senang bertemu denganmu, Asep. Terima kasih, ”Eugene mengulurkan
tangannya, disambut hangat oleh Asep.
Keduanya berjalan
beriringan. Masuk ke rumah utama. Asep membiarkan Eugene duduk di ruang tamu,
lalu dia menghilang di balik tirai. Eugene melihat sekeliling. Tidak ada yang
mewah di ruangan ini. Kursi dan meja terbuat dari anyaman rotan. Dindingnya
dicat putih yang terlihat agak kusam karena terlalu lama. Beberapa pot dengan
tanaman berdaun lebar ditempatkan di sudut-sudut ruangan.
Sebuah jam dinding ditempatkan pada bingkai
bertuliskan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Semua efektif sangat sederhana. Sedikit
demi sedikit, kecemasan yang melingkupinya berubah menjadi rasa nyaman. Seorang
lelaki tua keluar dari balik tirai, tempat Asep baru saja masuk. Rambut dan
janggutnya berwarna putih. Dengan perkiraan usia lebih dari enam puluh tahun,
tubuhnya terbilang bugar. Tidak gemuk pun tidak kurus. Wajahnya ramah dengan
tatapan mata teduh.
Lelaki tua itu
menyodorkan tangannya. “Eugene? Perkenalkan saya Abdullah. Para santri di sini
memanggil saya dengan sebutan Abah. Kau pun boleh memanggilku begitu,”
terangnya. Eugene terkaget-kaget, mendengar lelaki tua itu berbicara dalam
bahasa Inggris dengan fasih. Untuk beberapa saat ia tidak dapat menyembunyikan
keterkejutannya.
Lelaki tua yang meminta
dipanggil Abah itu tertawa renyah. “Jangan heran begitu. Saya pernah tinggal di
Kanada selama sepuluh tahun!” terangnya lagi sambil menyentuh bahu Eugene
sambil tangannya mempersilakan duduk. Eugene tertawa canggung.
“Anda tinggal di mana
sewaktu di Kanada?” tanya Eugene penasaran. Ia merasa senang ada seseorang yang
bisa diajak berbincang-bincang lancar tanpa harus menebak-nebak maksud
pembicara. “Brampton, Ontario. Saya sempat menjadi imam di beberapa masjid di
sekitar itu. Bagaimana denganmu?”
“Benar-benar suatu
kejutan, saya tinggal di Toronto. Kami mengelola satu restoran di sana. Tapi
sementara ini saya berdomisili di Taipei sampai kontrak kerja saya sebagai
dosen bahasa Inggris di salah satu perguruan tinggi di Taipei selesai.”
“Bagaimana pendapatmu ketika baru sampai tadi? Apakah kau merasa terintimidasi
berada di lingkungan sini? Apa kau takut terjebak di sarang teroris???” Ia
tertawa terkekeh-kekeh seperti bisa membaca kegelisahannya tadi. Eugene ikut
tertawa antara canggung dan malu. Dalam hati Eugene bertanya tanya.
Apa maksud ia diarahkan
ke alamat ini, bertemu dengan orang yang sama sekali belum pernah dijumpainya.
Keheranannya terjawab ketika seorang wanita keluar dengan membawa dua cangkir
teh manis dan kudapan di atas nampan. Ibu Kepala Sekolah, ah sekarang ia
menemukan benang merah. “Ini istri saya, Izzatunnisa.
Santri di sini
memanggilnya Ummi Izza. Kau pasti sudah bertemu dengannya di sekolah tadi
pagi.” Eugene mengiyakan dengan mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tersenyum
hormat sambil menangkupkan kedua telapak tangannya ke dada. Ummi Izza menjawab
dengan cara yang sama. Dia kemudian duduk di kursi di sebelah suaminya dan
membuka suaranya.
“Abah yang akan
menyampaikan maksud kami mengundangmu kesini,” kata Ummi Izza dengan tenang.
Pria tua bernama Abah memandang Eugene, dia mengamati dengan seksama. Eugene
salah tingkah. Dia kemudian berdiri, berjalan menuju tirai yang membatasi ruang
tamu dengan aula yang ditemukan di sebelah rumah. "Kemari!" Panggil
Abah. Eugene mendekat dengan ragu-ragu.
Sedikit canggung ketika
harus melewati kursi tempat Ummi Izza duduk, "Permisi Bu." Abah
menarik sedikit tirai, mereka berdua tampak mengintip. Eugene melihat sebuah
aula luas dengan selembar kain hijau di tengahnya yang memisahkan laki-laki dan
perempuan. Di dalam sana anak-anak kecil dan para remaja duduk
berkelompok-kelompok membentuk setengah lingkaran.
Di tengah-tengah mereka
duduk seorang dewasa. Di bagian laki-laki, matanya menangkap sosok yang
ditemuinya pagi tadi. AL! Senyumnya terkembang melihat anak itu duduk dengan
takzim menyimak penjelasan seorang pemuda usia dua puluh lima tahunan yang
duduk di tengah. “Di sana,” bisik Abah. Eugene mengalihkan perhatiannya ke arah
yang ditunjuk Abah.
Dalam sepersekian detik
Eugene menemukan Elena, ia duduk di tengah membacakan sesuatu kemudian diikuti
oleh perempuan perempuan remaja yang duduk mengelilinginya. Wajahnya polos dan
tenang dengan baju panjang dan penutup kepala berwarna hitam. Tanpa sadar ia
membisikkan namanya perlahan ‘Elena’ ... “Menemukan yang kau cari?” tanya Abah
pelan. Eugene hanya bisa mengangguk tanpa suara matanya lekat menatap Elena.
Abah tiba-tiba menutup
tirai kembali, “Sudah cukup ya.” Abah mempersilakan Eugene duduk dan meminum
teh nya. Eugene menurutinya, masih dalam diam. “Bolehkah aku menemui dan
berbicara dengannya?” Eugene membuka suara setelah berhasil menetralisir
perasaannya. “Tidak,” sahut abah singkat.
“Sebentar saja,” Eugene
memohon. “Tidak!” tegas Abah. Eugene menghela nafas kecewa, “Lalu untuk apa
saya diundang datang ke sini???” Sekarang ia paham yang dimaksud ‘kami’ di
surat itu adalah ummi Izza dan Abah saja. Sedang Elena tidak termasuk
diantaranya. “Maksud kami mengundangmu kemari adalah agar kau bisa melihat
dengan mata kepalamu sendiri bahwa Elena baik-baik saja. Justru pencarianmulah
yang bisa melukainya lagi.
Kau tidak akan mengerti
proses panjang menyakitkan yang ia lalui untuk dapat mencapai keadaannya
seperti sekarang ini. Karenanya kami minta pengertianmu agar kau menjauh dari
Elena.” “Saya tidak bisa ... Saya mencintainya.”
“Cinta saja tidak cukup.
Kau takkan bisa meraihnya, Eugene. Kau takkan mampu bersaing dengan Rabb-nya.”
“Apa maksudmu? Apakah ia masih menikah?” “Kau tak perlu tau apakah Elena masih
menjadi istri orang atau tidak. Karena lepas dari hal itu, akidah kami melarangnya.”
“Saya tidak mengerti
maksudmu.” Abah menghela nafas panjang, sedikit banyak ia prihatin dengan
lelaki di depannya ini. “Maaf, Eugene, apa agamamu?” “Saya ... saya ... saya
tidak yakin ...” tiba-tiba suara Eugene tercekat nyaris hilang. Kepalanya
ditundukkannya dalam dalam. Ia jelas terlihat kacau. Ia tau betul ibunya adalah
seorang kristen yang taat.
Tapi seiring berjalannya
waktu, ia banyak mempertanyakan hal-hal yangmenurutnya tidak masuk akal. Maka
kemudian sedikit demi sedikit keyakinannya memudar sampai akhirnya ia
sepenuhnya tersesat tak tau arah. Abah tidak heran, sepuluh tahun tinggal di
luar negeri cukup memberinya pengetahuan betapa banyak orang-orang yang hidup
tanpa pegangan. Bahkan mengingkari adanya Tuhan. “Berapa usiamu?” “Empat puluh
dua tahun Juli akan datang.”
“Menurutmu kehidupan yang
ada di sekitarmu ini, di bumi ini saja misalnya. Bisa tercipta dengan
sendirinya? Tanpa ada maksud dan tujuan? Tidakkah dengan usiamu membuka
keingintahuan tentang penciptamu? Kami menemukan Elena dalam keadaan trauma
mental dan fisik. Kami membawanya ke sini, mencoba membawanya lebih dekat ke
agamanya.
Di tempat ini ia mulai
belajar mengenal dan mencintai Tuhannya dengan berusaha mematuhi aturan-aturan
yang tertulis dalam Al-Qur'an dan hadits. Dan salah satu aturan yang harus dia
patuhi adalah tidak berzina dan juga tidak menikahi orang yang berbeda
keyakinan. Itulah sebabnya saya katakan, Anda tidak akan bisa menandingi
Rabb-nya.” "Jadi apa yang harus aku lakukan?" Eugene menghela nafas bingung.
"Pulanglah, tinggalkan Elena. Kami akan menjaganya untukmu.”
“Satu hal lagi, apakah Al
anakku?” tanya Eugene serak. “Kami tak berhak menjawabnya. Untuk saat ini
biarkanlah takdir yang akan membawamu kelak pada jawabannya. Saya harus
memimpin sholat maghrib sebentar lagi. Mari saya antar sampai keluar.”
Eugene berpamitan pada
Ummi Izza, wanita itu benar-benar diam seribu bahasa. Tapi sekali lagi, Eugene
melihat dari matanya bahwa wanita itu tau lebih banyak dari sekedar yang
diucapkannya. Abah mengantarkan Eugene sampai gerbang. Mata Eugene sesekali
mencari cari sosok Elena atau Al. Abah hanya tersenyum tipis. “Mereka sudah
pulang, jam belajar mengaji selesai setengah jam lalu,” ujar Abah mengerti
sekali apa yang Eugene cari.
“Baiklah ... bolehkah aku
sesekali menelepon kemari?” “Tentu saja, tapikauhanya bisa berbicara dengan
saya. Bahkan tidak dengan ummi Izza.” “Baiklah, saya hanya ingin tau tentang
keadaan Al ...” “Eugene, ini ... nomor saya. Dan di balik kartu nama itu saya
tuliskan sebuah nama dan nomor telepon orang yang bisa kau hubungi jika kau
butuh teman untuk berdiskusi.
Namanya Ibnu, seorang muslim
yang tinggal di Kanada dan ia dapat dipercaya.” Eugene menerimanya lalu
menjabat erat tangan Abah, “Terima kasih. Saya sangat menghargainya.” Abah
menarik tangan Eugene dan memeluknya. Ditepuk-tepuknya pundak Eugene, “Masih
ada waktu untuk memperbaiki diri, jangan sampai terlambat!” Eugene tak yakin
benar apa maksud perkataan itu tapi ia merasakan kesungguhan dan ketulusan di
dalamnya.
Mobil yang dikendarai Pak
Udin berhenti di depan mereka berdua. Eugene masuk ke dalam mobil lalu
menganggukan kepala sebelum akhirnya mobil melaju meninggalkan tempat itu.
Belum seperempat
perjalanan suara adzan maghrib terdengar, Pak Udin meminta ijin untuk berhenti
di sebuah masjid. Ia mengabulkannya. Dari dalam mobil, dipejamkan matanya ia
menyimak suara adzan. Takpaham, tapi hatinyaterasa sejuk dan damai.
Ia sedikit penasaran
apakah yang adzan sampaikan? Kurang dari sepuluh menit, pak Udin kembali ke
dalam mobil. Melanjutkan perjalanan pulang ke hotel. Kepala Eugene terasa penuh
sesak. Pengalaman sore ini terasa sedikit berat, ia butuh istirahat.
Sesampainya di hotel, ia
berterima kasih pada pak Udin. Diselipkannya beberapa lembar uang sebagai tanda
terima kasih. Lalu melambai ke arah resepsionis hendak langsung naik ke
kamarnya ketika resepsionis itu memanggilnya.
“Sir, maaf.” Eugene
menghentikan langkahnya, resepsionis tersebut meninggalkan tempat dan
menghampirinya. “Ya, ada apa?” “Maaf, Sir. Ada tamu wanita yang menunggu Anda
di sana,” ujar resepsionis itu sopan sambil ibu jarinya mengarah ke restoran
yang ada di sebelah lobi. Lalu ia kembali ke tempatnya. Tamu perempuan?
Siapakah? Dahi Eugene berkerut.
Kesimpulan Novel Elena Bab 5
Bagaiman Bab 5 nya, saya yakin novel Elena ini akan membawamu ke dalam imajinasi untuk berusaha menebak lanjutan kisahnya bukan? Jangan khawatir kami punya jawabannya di bab berikutnya. Silahkan klik navigasi Babnya di bawah ini untuk pindah ke Bab berikutnya.
0 comments: