Novel Elena ditulis oleh Ellya Ningsih, Banyak yang berharap penulis novel ini akan menjadi the next Tere Lie. Novel Elena juga memiliki versi cetak yang lengkap. Anda bisa memesannya di nomor Wa : 085703404372 atau 088218909378.
Oh iya membaca novel hanyalah sekedar
hiburan atau hobi atau bahkan pengisi waktu luang saja. Untuk itu admin blog
ini selalu mengingatkan tetaplah nomor satukan Ibadah, Perintah orang tua dan
pekerjaan.
Novel Elena ini ditulis
dengan bahasa yang ringan namun bisa mengobrak abrik emosi pembaca. Tak salah
jika novel ini menjadi viral dan selalu ditunggu bab perbab nya oleh pembaca.
Ok Sekarang silahkan baca Novel Elena Bab 4
Baca Novel Elena Bab 4 Di Sini Sekarang
“Maaf mister, tidak bisa
masuk bertemu Al. Kecuali Anda membawa bukti persetujuan dari orangtuanya.”
Ujar satpam itu tegas. “Ya Tuhan ...” Eugene meremas rambutnya kesal. Kehadiran
Eugene mulai menarik perhatian beberapa wali murid, sebagian anak-anak malah
menjadikan ia seperti tontonan gratis. Tidak setiap hari ada bule nyasar ke
sekolah mereka.
“Ada apa ini?” seorang
wanita berusia sekitar enam puluh tahunan menghampiri. Cara berpakaiannya mirip
Elena. Kedua satpam tersebut mundur selangkah dengan postur tubuh agak
membungkuk. Eugene langsung paham sosok ini disegani.
“Tamu ini memaksa bertemu
Al,” ujar salah seorang satpam menunjuk Eugene sopan dengan mengarahkan ibu
jarinya. Wanita itu menoleh pada Eugene dengan pandangan menyelidik. Lalu
beralih kembali pada kedua satpam.
“Pak Iwan, tolong
panggilkan Ibu Guru Dewi dan Al. Minta mereka ke ruangan saya sekarang. Pak Ade
silakan kembali ke pos,” instruksinya berwibawa. “Baik, Bu!” jawab keduanya.berbarengan.
“Please follow me, (Silakan ikut Saya,)” katanya pada Eugene, tanpa senyum.
“Thank you, thank you so
much Mam,” sahut Eugene lega. Ia berjalan dua langkah di belakangnya, sekilas
memperhatikan penutup kepala lebar wanita itu berkibar kibar terhembus angin.
Mereka berjalan diantara riuhnya murid murid, melintasi lorong sekolah sampai
ke depan ruangan yang bertuliskan ‘Izzatunnisa - Kepala Sekolah’. “Silakan
masuk dan duduk.”
Wanita itu mempersilakan
dengan tetap membuka lebar pintu ruangannya. “Terima kasih.” Eugene menarik
kursi agak ke belakang, menjaga jarak. Lalu duduk.
“Nama saya Izzatunnisa,
Saya yang bertanggung jawab di sekolah ini. Anda siapa? Apa tujuan Anda datang
ke sini?” Wanita itu bertanya tegas tanpa basa-basi.
“Nama saya Eugene. Saya
berasal dari Kanada. Saya hanya beberapa hari di Jakarta. Datang kemari untuk
bertemu Al memenuhi janji saya padanya,” terang Eugene berusaha tenang.
Diambilnya sebuah buku dari tas selempangnya, dibuka tepat di halaman yang
terdapat tulisan Al.
Diletakkan di atas meja,
menyodorkannya ke hadapan wanita itu. Hati Eugene berdebar memperhatikan wanita
itu membaca tulisan Al dan membolak -balik beberapa halaman bukunya. Wanita itu
kemudian menyandarkan punggungnya pada kursi, menghela napas.
“Apa hubungan Anda dengan
Al?” selidiknya. “Saya ... saya temannya ...” “Saya tidak paham maksud Anda!”
“Baiklah ... Saya berteman dengan Elena, ibunya Al. Kami kemarin tidak sengaja
bertemu di sebuah mini market. Dan Al meminta Saya datang ke sini hari ini,
seperti yang Anda baca di buku.”
Wanita itu meraih gagang
telepon, jemarinya hendak memutar tombol tombol angka ketika Eugene dengan
sigap menjauhkan benda itu darinya. Tau persis siapa yang akan ditelepon wanita
itu. “Tolong ... jangan hubungi Elena. Saya mohon. Saya berjanji akan berlaku
baik dan segera pergi setelah bertemu Al.”
"Assalamualaikum..."
Terdengar sapaan disertai ketukan pelan di pintu. Seorang wanita muda, sekali
lagi dengan pakaian yang sama seperti Elena datang membawa seorang anak
laki-laki. "Tentang Eugene!!!"
Al memanggil Eugene
hampir menciprat ke arah Eugene tetapi tangan wanita muda itu menahannya.
“Waalaikumsalam, silahkan masuk. Tolong tutup pintunya, ”Seorang wanita bernama
Bu Dewi menutup pintu di belakangnya perlahan.
Baunya tegang. Al
mengambil kesempatan itu, Dia berlari ke arah Eugene dan meraih tangannya. Demi
melihat Al dan Eugene berdiri berdampingan, keduanya Kepala Sekolah dan Bu Dewi
terperangah. Betapa mirip. “Al, kau kenal laki-laki ini?” tanya Ibu Kepala
Sekolah setelah berhasil menetralisir keterkejutannya.
“Tentu saja, Bu. Namanya
Eugene, kami bertemu dengannya kemarin. Ia sangat menyukai Ibuku!” papar Al
antusias, Ia maju menunjukkan halaman-halaman di buku Eugene yang dipenuhi
tulisan nama Elena. “Ya Tuhan ....” Eugene menepuk keningnya dengan telapak
tangan kanan, mukanya terasa panas, memerah. Malu. Ibu Kepala Sekolah sekali
lagi menatap Eugene.
Dari tatapannya Eugene
merasa yakin bahwa Ia mengetahui lebih banyak dari yang seharusnya tapi tak tau
apa. “Baiklah. Anda hanya boleh tinggal sampai jam istirahat pertama usai. Hari
ini adalah hari pengenalan profesi ayah. Ibu Dewi adalah wali kelas Al, akan
menjelaskannya lebih lanjut. Ia bisa berbahasa Inggris dengan baik. Dan jangan
macam-macam, kami bisa bertindak tegas!” “Baik, baik. Tentu saja.” “Bu Dewi,
tolong temani mereka. Awasi, jangan sampai lengah.
Laporkan setiap detilnya
kepada Saya siang nanti!” “Baik,” sahut Ibu Dewi. “Terima kasih banyak!” Eugene
menyodorkan tangannya, Ibu Kepala Sekolah membalas dengan menganggukkan kepala
sambil menarik kedua telapak tangannya ke dada. Eugene sontak menirunya. Lalu
mereka bertiga meninggalkan ruangan.
Al menggandeng tangan
Eugene masuk ke dalam kelas. Raut mukanya cerah. Di dalam kelas, Eugene
menyalami beberapa orang wali murid yang hadir sebelum akhirnya duduk
bersebelahan dengan Al di baris paling depan. Tempat yang sengaja dipilihkan
oleh Ibu Guru Dewi supaya lebih mudah berkomunikasi dan mengawasi Eugene.
“Baiklah, anak-anak.
Hari ini kalian akan
memperkenalkan ayah kalian di depan kelas dan para ayah silakan menceritakan
sedikit tentang profesi Anda. Dari sini diharapkan anak-anak bisa lebih banyak
tau tentang macam-macam profesi dan semoga bisa menginspirasi mereka dalam
memilih cita-cita. Kita mulai sesuai abjad. Al Fatih! Silakan urutan pertama,
waktunya sepuluh menit.”
Al maju ke depan kelas, berdiri
berdampingan dengan Eugene. “Hai teman-teman, perkenalkan Eugene. Ia akan
menggantikan ayahku untuk hari ini karena ayahku masih di luar kota dan tidak
dapat hadir di sini.” “Hai Al! Hai Eugene!” sapa kelas serentak. “Baiklah.
Namaku Eugene.
Saya berasal dari Kanada.
Saat ini Saya bekerja sebagai dosen bahasa Inggris di sebuah perguruan tinggi
swasta di Taipei. Tapi saat ini Saya tidak akan menceritakan tentang menjadi
seorang guru. Saya akan menceritakan tentang hobi saya memasak. Ya Saya juga
seorang koki, di Kanada Saya mengelola sebuah restauran keluarga. Hampir setiap
malam restauran kami penuh pengunjung terutama di akhir pekan. Intinya
jadikanlah pekerjaanmu sesuatu yang kalian sukai agar kalian bahagia.”
Eugene bercerita dengan
sesekali memberi jeda kepada Bu Dewi untuk menterjemahkannya. “Semua pasti
sayang bukan dengan Ibu-ibu kalian? Saya akan memberikan satu resep sarapan
yang mudah dan lezat. Kalian bisa membuatnya bekerjasama dengan ayah dan
menyajikannya sebagai kejutan sarapan untuk Ibu kalian akhir pekan ini.
Setuju?!?” Seisi kelas bersorak girang, Eugene melirik Al yang sedang tersenyum
dalam hati Eugene berkata ‘akan tiba giliran kita suatu hari nanti
bersabarlah’.
Tepat setelah penampilan
anak dan ayah terakhir selesai, bel istirahat pertama berbunyi. Seisi kelas
keluar dengan tertib kecuali tiga orang, Al, Eugene dan Bu mengawasi. Mereka
tetap di tempatnya. Al mengeluarkan kotak makan dan botol minumnya. “Kau mau,
Om?” Al menawarkan biskuit yang dibawanya dari rumah. “Panggil Eugene saja,”
sahutnya sambil mengambil sekeping biskuit dan hendak memasukan ke dalam
mulutnya dengan tangan kiri.
“Oke. Makanlah dengan
tangan kanan, Eugene.” Bu Dewi tersenyum mendengar ucapan Al, Eugene serta
merta menarik tangan kiri kemudian menjulurkan tangan kanannya, canggung. “Aku
membawakanmu sesuatu,” Eugene membuka tas selempang dan mengeluarkan sebuah
kotak kecil. “Apa ini?” Mata Al berbinar. “Bukalah.” “WOW! Miniatur kereta!
Terima kasih Eugene! Aku suka sekali!” Al memeluk Eugene yang turut tertawa bahagia.
“Ini miniatur kereta
pertama dibuat lebih dari dua ratus tahun yang lalu. Kereta kereta itu terdiri
atas gerbong-gerbong yang ditarik dengan sejenis mesin uap yang disebut
lokomotif. Mesin ini sebagai tenaga utama pada kereta. Lokomotif uap ini diberi
nama Big Boy yang mempunyai kekuatan menarik seratus gerbong yang terisi
penuh.”
Eugene terus menjelaskan
sementara Al memperhatikan miniatur kereta itu dengan terkagum-kagum. Tidak
lama bel berbunyi tanda jam istirahat pertama berakhir. Eugene mendesah berat,
Ia masih ingin bersama Al tapi waktunya sudah selesai. “Aku harus pergi, Al.
Jaga dirimu dan Ibumu
baik-baik. Kita akan bertemu lagi secepatnya.” “Kau janji?” “Ya, Aku akan
berusaha. Kau pun janji akan menjadi anak tangguh demi Ibumu?” Al mengangguk,
matanya berkaca-kaca. Ia sungguh-sungguh menyukai Eugene. “Waktunya sudah
habis, Sir.
Al harus kembali
belajar,” Bu Dewi mengingatkan sambil bangkit dari duduknya. “Baiklah.
Baiklah.” Eugene bangkit dari duduknya kemudian berlutut di dekat Al.
Dipeluknya lelaki kecil itu hangat, lalu mencium rambut dan mengacaknya.
“Terima kasih sudah datang. Aku senang sekali.”
“Terima kasih kembali.
Aku pun sangat menikmatinya. Sampai jumpa, Al!” Eugene beranjak pergi. Al
mengikuti sampai ke depan pintu kelas, melambaikan tangannya sekali.
Memperhatikan punggung Eugene sampai hilang dibalik tikungan lorong sekolah.
Eugene menghela nafas berat. Antara sedih dan senang. Tapi paling tidak Ia
semakin yakin apa yang ia perjuangkan. Pak Iwan mensejajari langkah Eugene. Ia
menyodorkan sesuatu.
“Bukumu, mister,
ketinggalan.” “Ah ya ya ya, terima kasih, Pak Iwan.” “Saya diminta Ibu Kepala
Sekolah untuk mengantar mister sampai benar benar meninggalkan sekolah,”
ujarnya jujur. Eugene hanya mengangguk-angguk tak paham tapi Ia bisa mengira-ngira
kenapa Pak Iwan belum juga kunjung meninggalkannya. “Baiklah. Terima kasih,”
Eugene tersenyum.
Sebuah taksi berhenti di
hadapan mereka berdua. Eugene masuk ke dalamnya. Belum sempat ia menutup pintu,
Pak Iwan menyodorkan kembali sebuah amplop. “Ada titipan surat dari Ibu Kepala
Sekolah, beliau berpesan agar Saya memberikannya kepada mister setelah masuk ke
dalam taksi.” “Baiklah, Pak Iwan. Terima
kasih,” entah sudah berapa kali Ia mengucapkan terima kasih, paling tidak hanya
itu yang kedua orang itu mengerti artinya.
Taksi melaju perlahan menuju kembali ke hotel. Eugene menyobek amplopnya dengan hati-hati. Ia menemukan secarik kertas, dan membacanya. Dear Sir, Datanglah pukul lima sore ini ke alamat berikut. Kami akan menemuimu. Di bawahnya tertera alamat. Setelah itu tidak ada apa-apa lagi. Singkat sekali. Eugene mengerutkan dahi, ‘KAMI’? Kami siapa? Mungkinkah ... ?
Kesimpulan Novel Elena Bab 4
Bagaiman Bab 4 nya, saya yakin novel Elena ini akan membawamu ke dalam imajinasi untuk berusaha menebak lanjutan kisahnya bukan? Jangan khawatir kami punya jawabannya di bab berikutnya. Silahkan klik navigasi Babnya di bawah ini untuk pindah ke Bab berikutnya.
0 comments: