Novel Elena ditulis oleh Ellya Ningsih, Banyak yang berharap penulis novel ini akan menjadi the next Tere Lie. Novel Elena juga memiliki versi cetak yang lengkap. Anda bisa memesannya di nomor Wa : 085703404372 atau 088218909378.
Oh iya membaca novel hanyalah sekedar
hiburan atau hobi atau bahkan pengisi waktu luang saja. Untuk itu admin blog
ini selalu mengingatkan tetaplah nomor satukan Ibadah, Perintah orang tua dan
pekerjaan.
Novel Elena ini ditulis
dengan bahasa yang ringan namun bisa mengobrak abrik emosi pembaca. Tak salah
jika novel ini menjadi viral dan selalu ditunggu bab perbab nya oleh pembaca.
Ok Sekarang silahkan baca Novel Elena Bab 8
Baca Novel Elena Bab 8 Di Sini Sekarang
*masih flashback ke tujuh
tahun lalu*
Dan begitulah pernikahan
Elena dan Ibnu dilatarbelakangi niat yang berbeda. Kesalehan dan kesabaran Ibnu
sama sekali tidak menyentuh hati Elena.
Sedikit demi sedikit,
selangkah demi selangkah Elena bahkan menyelinap kembali ke pria yang
dicintainya. Eugene. Mereka tetap dalam hubungan rahasia sampai mereka akhirnya
terjebak dalam perzinahan yang sempurna.
Elena mengedipkan matanya
yang berair. Ingatannya dipenuhi dengan kebaikan suaminya. Ibn selalu
memperlakukannya dengan lembut dan tidak pernah memaksanya untuk menjadi
shalihah secara instan.
Dia ingat bagaimana
setiap pagi setelah pulang dari masjid, suaminya membangunkannya dengan duduk
di sisi tempat tidur sambil melanjutkan bacaan sambil menggosok kakinya dan
tidak bergerak sampai dia benar-benar bangun untuk sholat. Dia ingat berapa
banyak sepertiga malam yang dihabiskan suaminya dalam doa dan mendengar namanya
disebutkan dalam doa sesudahnya.
Dia ingat kebiasaan
suaminya mencium keningnya setiap pagi sebelum berangkat kerja, membacakan ayat
yang sama dari Al-Qur'an dan sampai hari ini dia tidak mengerti apa artinya.
Dia ingat entah
bagaimanabanyak gamis dan kerudung yang dihadiahkan padanya tapi hanya ucapan
basa-basi terima kasih yang ia berikan sebagai balasan tanpa ada keinginan
untuk mengenakannya.
Pun begitu Ibnu tak
pernah berlaku kasar, jika ia marah maka ia akan meninggalkannya sendirian dan
tidur di kamar Maryam. Kini rasa bersalah dan menyesal mulai merasuki hatinya,
‘ya Allah dosa dan
maksiatku pastilah sudah sedemikian banyaknya sampai-sampai hatiku mati dan
tidak peduli dengan kebaikan yang hadir di depan mata’.
Elena terisak pelan,
sakit kepalanya semakin tak tertahan dan ia pun tertidur dalam kelelahan.
Beberapa jam kemudian, Elena terbangun. Ia mendengar langkah kaki yang
dikenalnya mendekat tapi rasa bersalahnya menahannya untuk tetap memejamkan
matanya dan pura-pura tidur.
Ibnu masuk ke dalam
kamar, meletakkan segelas teh manis hangat di atas meja rias. Lalu ia duduk di
tepi tempat tidur, diperhatikannya Elena yang meringkuk membelakanginya.
Punggung telapak tangan kanannya terjulur ke dahi Elena,
yakin istrinya tidak
demam tangannya turun mengusap punggung Elena beberapa kali. Jantung Elena
berdebar merasakan pembaringannya sedikit terguncang ketika Ibnu memperbaiki
posisi tubuhnya separuh berbaring, mendekatkan kepalanya ke kepala Elena.
Sungguh Elena takut Ibnu
bisa mencium rasa bersalahnya. Elena bisa merasakan hangat napas Ibnu ketika
mencium ubun-ubun Elena, dibisikkannya sebuah doa yang sama yang sering ia
dengar sebelumnya.
‘Rabbana hablana min
azwajinaa wadhurriyatinaa qurrota’ayun wajalnaa lil muttaqina imamaa ...’
“Elena ... bangun,” Ibnu mengguncang lembut
bahu Elena.
Elena pura-pura
menggeliat lalu membuka matanya perlahan dan menemukan wajah Ibnu yang
tersenyum begitu dekat dengan wajahnya. Untuk kali pertama ia mampu membalas
kelembutan tatapan suaminya dan menikmati keindahan itu dengan rasa syukur dan
hati yang berdebar.
“Bangun, aku buatkan teh
manis supaya perutmu hangat. Sholat Ashar dulu sudah jam empat lewat, aku mau
mengajakmu dan Maryam ke suatu tempat.”
Seperti biasa, Ibnu tak
akan beranjak sebelum ia benar-benar bangkit dari tempat tidur. Disodorkannya
segelas teh manis, Elena hampir meminumnya ketika tangan Ibnu menahan gelasnya.
“Bismillah dulu,” Elena
tersipu. “Bismillah ...” Elena, Ibnu dan Maryam tiba di sebuah pemakaman.
Di sebuah gundukan tanah
tanpa bata hanya sepotong papan sebagai nisan langkah mereka terhenti. Ibnu
berjongkok mengusap nisan, mengucapkan salam lalu berdoa dengan kepala
tertunduk dalam-dalam. Maryam berjongkok dekat ayahnya, gadis kecil itu tak
pernah bisa dekat dengan Elena. Bisa jadi karena Elena yang enggan. Elena hanya
bisa terpaku diam memperhatikan keduanya.
Tak lama, mereka bertiga
meninggalkan area pemakaman. Ibnu mengajak mereka ke sebuah taman. Sementara
Maryam bermain ayunan, Elena dan Ibnu duduk berhadap-hadapan di bangku yang
disediakan di bawah tenda payung. Mereka memesan minuman dan kudapan.
“Kau tahu makam siapa
yang barusan kita kunjungi?” “Mendiang istrimu ...” Ibnumengangguk.
Laluia mengeluarkan dari
tas pinggangnya belasan foto yang di antaranya kusam termakan waktu.
“Kau mengenalnya?” Elena
menggeleng sekilas tak yakin, tapi kemudian matanya tertarik pada sebuah foto
lama.
Dua orang anak kecil
duduk di sebuah bangku panjang memakan es krim sambil tertawa.
“Itu aku!” Elena berseru
terkejut. Tangannya meraih foto-foto yang bertebaran di atas meja mengumpulkan
dalam genggamannya dan melihatnya dengan saksama satu persatu. Airmatanya turun
perlahan.
“Kenal?” Ibnu kembali bertanya.
Elena
mengangguk-anggukkan ke palanya cepat sambil beberapa kali mengusap air
matanya. Tangannya masih terus menggilir foto-foto itu.
“Ini ... Pipit, aku
memanggilnya Pipit.Jadi Safitri itu Pipit ... sahabat kecilku, adalah istrimu
dulu. Ia telah lama berpulang dan aku baru saja tahu ...” Elena tak kuasa
menahan kesedihannya, kedua telapak tangannya ditelungkupkan di wajah piasnya.
Tangisnya menghebat.
Pipit adalah sahabatnya
dari kecil.
Orangtuanya memiliki
beberapa yayasan dan pondok pesantren. Ia mulai jarang bertemu dengannya ketika
mereka mengambil tempat kuliah yang berbeda. Pipit mendalami agama sementara ia
memilih bahasa asing sesuai ambisinya, keliling dunia.
Walaupun hampir tidak
pernah bertemu tapi mereka seringkali bertukar kabar dan cerita melalui
telepon. Kalaulah ada yang paling rajin mengingatkan hubungan tidak sehatnya
dengan Eugene, Pipitlah orangnya.
Jika ada yang
mengingatkan untuk memegang teguh keislamannya, Pipitlah yang paling gigih. Dan
bila ada yang berhasil mengurungkan niatnya untuk kabur bersama Eugene, sudah
pasti Pipitlah satu-satunya yang melakukannya.
Elena berhenti pada satu
foto pernikahan yang ia ada di dalamnya. Ia mendongak menatap Ibnu tak percaya.
“Aku hadir di pernikahan
kalian ...” Elena mencoba mengingat-ingat, ya itulah terakhir kali ia bertemu
Safitri.
“Ya, hanya sebentar saja.
Kau datang terburu-buru dan bisa dibilang sama sekali tak menghiraukanku.” “Kau
... sekarang terlihat jauh berbeda dari foto ini,” Elena menatap Ibnu masih tak
percaya.
“Kami dulu dijodohkan.
Orangtuaku memohon agar orangtua Safitri berkenan menikahkan anaknya denganku.
Aku dulu bukan orang baik, Elena. Entah mengapa pada akhirnya mereka menerima
lamaran orangtuaku. Saat itu Safitri hanya meminta satu syarat, agar aku tidak pernah
berbohong padanya. Aku dulu tak mencintainya tapi seiring berjalannya waktu,
akhirnya Allah mengijinkan keshalihannya menjadi pembuka pintu hidayah untukku.
Ia mengajariku banyak hal. Dan pada saat aku benar-benar jatuh cinta padanya,
Allah mengambilnya kembali.”
Ibnu meletakkan
punggungnya ke sandaran kursi, menghela napas panjang dan dalam. Sementara
Elena masih terisak. Ibnu mengeluarkan secarik kertas yang kusut karena terlalu
sering dibaca. Menyodorkannya pada Elena.
“Di hari-hari
terakhirnya, ia memaksaku untuk berjanji akan menikahimu dan aku tak kuasa
untuk tidak mengabulkannya,” tutur Ibnu dengan suara bergetar.
Elena tiba-tiba ingat
telepon konyol Pipit beberapa tahun yang lalu, yang memintanya untuk menikah
dengan suaminya dan menjadi saudara perempuan madu.
Elena hanya bisa tertawa
terbahak-bahak dan menganggapnya gila. Tentu saja dia menolak. Elena membuka
lipatan kertas yang diberikan Ibn padanya, dia membacanya perlahan sambil
sesekali menahan napas.
Catatan: Doa:
'Rabbana hablana min azwajinaa wadhurriyatinaa
qurrota'ayun wajalnaa lil muttaqina imamaa'. Diambil dari QS. Al-Furqon: 74
yang artinya “Ya Tuhan kami, berilah kami istri-istri dan keturunan kami
sebagai penghibur (kami), dan jadikanlah kami imam-imam bagi orang-orang yang
bertakwa.”
(QS. Al-Furqan: 74)
Kesimpulan Novel Elena Bab 8
Bagaiman Bab 8 nya, saya
yakin novel Elena ini akan membawamu ke dalam imajinasi untuk
berusaha menebak lanjutan kisahnya bukan? Jangan khawatir kami punya jawabannya
di bab berikutnya. Silahkan klik
navigasi Babnya di bawah ini untuk pindah ke Bab berikutnya.