Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 74 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – Tekad Yang Kuat Mengalahkan Segala Hambatan Fisik Bab 74
Perlahan-lahan ia bangkit duduk, supaya tidak
mengejutkanku lagi. Kemudian ia mencondongkan tubuhnya ke depan dan menautkan
lengannya yang panjang, mengangkatku, memegang pangkal lenganku seolah aku anak
kecil. Ia mendudukkanku tempat tidur di sebelahnya.
"Kenapa kau tidak duduk saja denganku?" ia
menyarankan, meletakkan tangannya yang dingin di tanganku. "Bagaimana
jantungmu?"
"Kau saja yang bilang—aku yakin kau mendengarnya
lebih baik dariku."
Kurasakan tawanya yang pelan menggetarkan tempat
tidur.
Sesaat kami duduk diam di sana, sama-sama
mendengarkan detak jantungku melambat. Aku berpikir tentang keberadaan Edward
di kamarku sementara ayahku ada di rumah.
"Bolehkah aku meminta waktu sebentar untuk
menjadi manusia?' pintaku.
"Tentu." Ia menggerakkan tangan menyuruhku
melakukannya.
"Diam di situ," kataku, mencoba tampak
galak. “Ya, Ma'am.” Dan ia berpura-pura seperti patung di ujung tempat tidurku.
Aku melompat, memungut piamaku dari lantai dan tas
perlengkapan mandiku dari meja. Aku membiarkan lampu tidak menyala, meluncur
keluar, kemudian menutup pintu. Aku bisa mendengar suara TV menggema hingga ke
atas. Aku membanting pintu kamar mandi keras-keras, supaya Charlie tidak naik
mencariku.
Aku bermaksud buru-buru. Kugosok gigiku keras-keras,
berusaha menyeluruh sekaligus cepat, menyingkirkan sisasisa lasagna. Tapi air panas
dari pancuran tak bisa mengalir cepat. Siramannya melemaskan otot-otot
punggungku, menenangkan denyut nadiku.
Aroma khas sampoku membuatku merasa aku mungkin saja orang
yang sama seperti tadi pagi. Aku mencoba tidak memikirkan Edward, yang sedang
duduk di kamarku, menunggu, karena kalau begitu aku harus mengulangi proses
menenangkan diri dari awal lagi.
Akhirnya aku tak bisa menunda lagi. Kumatikan keran air,
handukan sekenanya, terburu-buru lagi. Kukenakan T-shirt lusuhku dan celana
joging abu-abuku.
Terlambat untuk menyesal karena tidak membawa piama sutra
Victoria Secret yang diberikan ibuku pada ulang tahunku dua tahun lalu, yang
masih ada label harganya dan tersimpan di suatu tempat di lemari pakaianku di
rumah.
Kukeringkan rambutku lagi dengan handuk, kemudian
menyisirnya cepat-cepat. Kulempar handuknya ke keranjang, lalu melempar sikat
dan pasta gigi ke tasku. Kemudian aku meluncur turun supaya Charlie bisa
melihatku mengenakan piama dan habis mandi.
"Selamat malam, Dad."
"Selamat malam, Bella." Ia tampak terkejut
dengan kemunculanku. Barangkali itu akan mencegahnya memeriksaku malam ini.
Aku menaiki anak tangga dua-dua, berusaha tetap tenang, dan
meluncur ke kamar, menutup pintu rapat-rapat. Edward tak bergerak sedikit pun
dari posisi semula, bagai ukiran Adonis yang bertengger di selimutku yang
lusuh. Aku tersenyum dan bibirnya bergerak-gerak, patungnya menjadi hidup.
Matanya mengamanku, rambutku yang basah. T-Shirt yang
sudah berlubang-lubang. Salah satu alisnya terangkat. "Bagus."
Aku nyengir.
"Sungguh, pakaian itu tampak bagus padamu."
“Terima kasih." bisikku. Aku kembali ke sisinya, duduk menyilangkan kaki
di sebelahnya. Aku memandang garisgaris lantai kayu kamarku.
"Untuk apa kau mandi dan sebagainya itu?"
"Charlie pikir, aku bakal menyelinap
keluar."
"Oh." Ia memikirkannya.
“Kenapa?" Seolah-olah ia tidak dapat membaca
pikiran Charlie lebih jelas daripada yang kuduga.
"Sepertinya aku tampak agak terlalu
bersemangat." Ia mengangkat daguku, mengamati wajahku.
"Sebenarnya kau tampak hangat sekali."
Perlahan-lahan ia menundukkan wajahnya ke wajahku,
meletakkan pipinya yang dingin ke kulitku. Aku sama sekali tak bergerak.
"Mmmmmm...," desahnya.
Saat ia menyentuhku, sangat sulit untuk memikirkan
pertanyaan yang masuk akal. Saat konsentrasiku buyar, butuh beberapa menit
bagiku untuk memulai.
"Sepertinya... sekarang lebih mudah bagimu
berada di dekatku."
"Begitukah yang kaulihat?" gumamnya,
hidungnya meluncur ke sudut rahangku.
Aku merasakan tangannya, lebih ringan dari sayap
ngengat, menyibak rambut basahku ke belakang sehingga bibirnya bisa menyentuh
lekukan di bawah daun telingaku.
"Amat sangat lebih mudah," kataku mencoba
mengembuskan napas. °
"Hmm."
"Jadi, aku bertanya-tanya...” aku memulai lagi,
tapi jarijarinya
perlahan menelusuri tulang selangkaku, dan aku
kehilangan akal sehatku.
"Ya?" desahnya.
"Kenapa," suaraku bergetar, membuatku malu,
"seperti itu menurutmu?"
Kurasakan getaran napasnya di leherku saat ia
tertawa.
"Tekad yang kuat mengalahkan segala hambatan
fisik." Aku menarik diri; dan ia membeku—dan aku tak lagi mendengar suara
napasnya.
Sesaat kami bertatapan dengan hati-hati, kemudian,
bersamaan dengan rahangnya yang mulai rileks, ekspresinya tampak bingung.
"Apa aku melakukan kesalahan?"
"Tidak—justru sebaliknya. Kau membuatku
sinting," paparku.
Ia memikirkannya sebentar, dan ketika berbicara ia
terdengar senang. "Benarkah?" Senyum kemenangan perlahan menyinari
wajahnya.
"Kau mau tepukan tangan?" tanyaku sinis.
Ia nyengir.
"Aku hanya terkejut," ia menjelaskan.
"Selama kuranglebih seratus tahun
terakhir," suaranya menggoda,
"aku tak pernah membayangkan sesuatu seperti
ini. Aku tak percaya akan pernah menemukan seseorang dengan siapa aku ingin
menghabiskan waktuku... bukan dalam artian seorang adik. Dan menemukan,
meskipun semuanya baru bagiku, bahwa aku bisa mengendalikan diriku saat...
bersamamu...."
"Kau bisa melakukan apa saja," ujarku. Ia
mengangkat bahu, menerima pujianku, dan kami tertawa pelan.
"Tapi kenapa sekarang bisa begitu mudah?"
desakku.
"Sore tadi..."
"Ini tidak mudah,” desahnya. "Tapi sore
tadi. aku masih... ragu. Maafkan aku soal itu, benar-benar tak termaafkan
bersikap seperti itu.”
“Tidak tak termaafkan,” sergahku.
"Terima kasih.” Ia tersenyum.
"Kau tahu," lanjutnya, sekarang menunduk,
"aku tidak yakin apakah aku cukup kuat..."
Ia mengangkat satu tanganku dan menempelkannya lembut ke wajahnya.
"Selain kemungkinan aku dapat...
menaklukkan"—ia menghirup aroma pergelangan tanganku—
"aku juga rapuh. Sampai aku memutuskan diriku memang cukup kuat, bahwa sama sekali tak ada kemungkinan aku akan... bahwa aku dapat..."
Penutup Novel Twilight – Tekad
Yang Kuat Mengalahkan Segala Hambatan Fisik Bab 74
Gimana Novel twilight – Port Tekad Yang Kuat Mengalahkan Segala
Hambatan Fisik Bab 74 ? keren
kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya.
Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan
mengklik tombol navigasi bab di bawah ini.
0 comments: