Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 73 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – Tekad Yang Kuat Mengalahkan Segala Hambatan Fisik Bab 73
Piringnya berputar, menyebarkan aroma tomat dan
oregano ke seluruh dapur. Aku tetap menatap piring ketika bicara.
“Seberapa sering?" tanyaku kasual.
“Hmmm?" Ia terdengar seolah-olah aku telah
menariknya keluar dari lamunannya.
Aku masih tidak berpaling. "Seberapa sering kau
datang kemari?"
“Aku datang ke sini hampir setiap malam."
Aku berputar, terperangah. "Kenapa?" “Kau
menarik ketika sedang tidur." Nada suaranya datar. “Kau mengigau."
“Tidak!" sahurku menahan napas, wajahku memanas
hingga ke garis rambut.
Aku meraih meja dapur untuk menjaga keseimbangan. Aku
tahu aku suka mengigau ketika tidur, tentu saja; ibuku selalu menggodaku soal
ini. Meski begitu aku tidak menyangka aku perlu mengkhawatirkannya di sini.
Ekspresinya langsung berubah kecewa. "Apa kau
sangat marah padaku?"
"Tergantung!” Aku merasa dan terdengar seolah
kehabisan napas.
Ia menanti.
"Pada?" desaknya.
"Apa yang kaudengar!" erangku.
Saat itu juga, tanpa suara, ia sudah pindah ke
sisiku, tangannya meraih tanganku dengan hati-hati.
"Jangan sedih!" ia memohon. Ia menurunkan
wajahnya hingga sejajar dengan mataku, kemudian menatapnya. Aku merasa malu.
Aku mencoba memalingkan wajah.
"Kau merindukan ibumu," bisiknya. "Kau
mengkhawatirkannya.
Dan ketika hujan turun, suaranya membuatmu gelisah.
Kau juga sering mengigau tentang rumahmu, tapi sekarang sudah jauh berkurang.
Kau pernah mengatakan sekali,
“Terlalu
hijau?” Ia tertawa lembut, berharap aku bisa melihatnya, dan tidak
membuatku tersinggung lagi.
"Ada lagi?" desakku.
Ia tahu maksudku. "Kau memanggil namaku,"
ia mengakui.
Aku mendesah kalah. "Sering?"
"Seberapa sering yang kaumaksud dengan ‘sering’,
tepatnya?"
"Oh tidak!" Kepalaku terkulai.
Ia menarikku lembut ke dadanya. Gerakannya sangat
alami.
"Jangan malu," ia berbisik di telingaku.
"Seandainya bisa bermimpi, aku pasti akan memimpikanmu. Dan aku tidak
merasa malu.”
Kemudian kami mendengar suara ban mobil melintasi
jalanan, melihat lampu sorotnya menyinari jendela depan, terus ke lorong menuju
ke kami. Tubuhku kaku dalam pelukannya.
"Haruskah ayahmu tahu aku di sini?"
tanyanya.
"Aku tidak yakin..." Aku memikirkannya
dengan cepat. "Kalau begitu lain waktu saja..." Dan aku pun
sendirian.
"Edward!" desisku tertahan.
Aku mendengar suara tawa yang samar, lalu lenyap.
Terdengar suara Dad membuka kunci pintu.
"Bella?" panggilnya. Sebelumnya hal ini
menggangguku, siapa lagi yang ada di rumah kalau bukan aku? Tapi tibatiba saja
ia tidak kelihatan kelewat menyebalkan.
"Di sini." Kuharap ia tidak mendengar nada
histeris dalam suaraku.
Aku mengambil makan malamku dari microwave dan duduk
di meja ketika ia masuk. Langkah kakinya terdengar berisik setelah aku
melewatkan seharian bersama Edward.
“Maukah kau mengambilkan lasagna untukku juga? Aku
lelah sekali." Ia menginjak bagian tumit sepatunya untuk melepaskannya,
sambil berpegangan dengan sandaran kursi yang tadi diduduki Edward.
Aku membawa makananku, mengunyahnya sambil
mengambilkan makan malamnya. Aku kepedasan. Kutuangkan dua gelas susu sementara
memanaskan lasagna Charlie, dan meminum susuku untuk menghilangkan pedas.
Ketika aku meletakkan gelasku, susunya bergetar. Aku baru menyadari tanganku
gemetaran. Charlie duduk di kursi, dan perbedaan antara dirinya dan orang yang
duduk di sana sebelum dia, benar-benar menggelikan.
“Terima kasih." sahutnya ketika aku
menghidangkan makanannya di meja.
"Bagaimana harimu?" tanyaku, buru-buru. Aku
ingin sekal, pergi ke kamar.
"Bagus. Acara memancingnya biasa saja... kau?
Apakah semua yang ingin kaukerjakan akhirnya selesai?" "Tidak
juga—cuaca di luar terlalu bagus untuk dibiarkan begitu saja." Aku menyuap
lasagna-ku lagi. "Hari ini memang bagus," timpalnya. Betapa
ironisnya, pikirku.
Begitu lasagna-ku habis, aku mengangkat gelasku dan
menandaskan susu yang tersisa.
Charlie membuatku kaget karena ternyata ia
memerhatikan. "Sedang terburu-buru?"
"Yeah, aku lelah. Aku mau tidur lebih
cepat."
"Kau kelihatan agak tegang," ujarnya.
Mengapa, oh, mengapa ia harus begitu perhatian malam ini?
"Masa sih?" Hanya itu yang bisa kukatakan.
Aku langsung mencuci piring dan menempatkannya terbalik di pengering.
“Ini hari Sabtu," sahutnya menerawang.
Aku tak menjawab.
“Tak ada rencana malam ini?" tanyanya tiba-tiba.
"Tidak, Dad, aku hanya mau tidur."
“Tak satu pun cowok di kota ini sesuai tipemu,
ya?" Ia curiga, tapi berusaha terdengar biasa saja.
“Tidak, belum ada cowok yang menarik
perhatianku." Aku berhati-hati agar tidak terlalu menekankan kata cowok
dalam usahaku bersikap jujur pada Charlie.
"Kupikir Mike Newton itu... katamu dia
ramah."
“Dia hanya teman, Dad.”
“Wol, lagi pula kau terlalu baik untuk mereka semua.
Tunggu sampai kuliah nanti, kalau mau mencari teman istimewa.” Impian setiap
ayah adalah putri mereka akan meninggalkan rumah sebelum masalah hormon
bermunculan.
“Sepertinya ide bagus," aku menimpali sambil
menaiki tangga.
“Selamat malam, Sayang," ujarnya.
Tak diragukan lagi ia akan memasang telinga
semalaman, menungguku mengendap-endap meninggalkan rumah.
"Sampai besok pagi, Dad." Sampai nanti
malam ketika kau mengendap-endap ke kamarku tengah malam nanti untuk
memeriksaku.
Aku berusaha agar langkahku sepelan dan selelah
mungkin ketika menaiki tangga menuju kamar. Kututup pintunya cukup keras untuk
didengarnya, kemudian berlari dengan berjingkat menuju jendela. Aku membukanya
dan melongok ke luar menembus malam.
Mataku mencari-cari dalam kegelapan, ke bayangan pepohonan
yang tak dapat ditembus.
"Edward?" bisikku, merasa benar-benar
tolol.
Suara tawa pelan menyambut dari belakangku.
"Ya?" Aku berbalik, salah satu tanganku melayang ke leher karena
terkejut.
Ia berbaring, tersenyum lebar di tempat tidurku,
tangannya menyilang di belakang kepala, kakinya berayunayun di ujung tempat
tidur, posisinya sangat santai.
“Oh!" aku mendesah, jatuh lemas ke lantai.
“Maafkan aku.” Ia mengatupkan bibirnya erat-erat, berusaha
menyembunyikan perasaan gelinya.
“Beri aku waktu sebentar untuk menenangkan jantungku.”
Penutup Novel Twilight – Tekad
Yang Kuat Mengalahkan Segala Hambatan Fisik Bab 73
Gimana Novel twilight – Port Tekad Yang Kuat Mengalahkan Segala
Hambatan Fisik Bab 73 ? keren
kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya.
Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan
mengklik tombol navigasi bab di bawah ini.
0 comments: