Novel Elena ditulis oleh Ellya Ningsih, Banyak yang berharap penulis novel ini akan menjadi the next Tere Lie. Novel Elena juga memiliki versi cetak yang lengkap. Anda bisa memesannya di nomor Wa : 085703404372 atau 088218909378.
Oh iya membaca novel hanyalah sekedar
hiburan atau hobi atau bahkan pengisi waktu luang saja. Untuk itu admin blog
ini selalu mengingatkan tetaplah nomor satukan Ibadah, Perintah orang tua dan
pekerjaan.
Novel Elena ini ditulis
dengan bahasa yang ringan namun bisa mengobrak abrik emosi pembaca. Tak salah
jika novel ini menjadi viral dan selalu ditunggu bab perbab nya oleh pembaca.
Ok Sekarang silahkan baca Novel Elena Bab 7
Baca Novel Elena Bab 7 Di Sini Sekarang
Masih flashback tujuh
tahun yang lalu
Sepanjang perjalanan
pulang Elena merasakan sakit kepala. Matanya sembab karena terlalu banyak
menangis. Satu setengah jam kemudian ia sampai di rumah. Bergegas dibukanya
kunci pintu, ia ingin segera masuk dan merebahkan badannya. Begitu pintu
terbuka, Elena terkejut setengah mati mendapati seseorang duduk bertopang kaki
persis di hadapannya.
Lelaki itu terlelap di
kursi. Wajahnya terlihat letih. Secangkir kopi yang hanya bersisa ampasnya
serta beberapa buku yang tergeletak di meja seperti menceritakan bahwa ia telah
menunggu semalaman. Elena mengutuk dirinya sendiri, istri macam apa yang
membiarkan suaminya tertidur di kursi sementara ia tidur dengan lain lelaki?
Elena memperhatikan wajah teduhnya.
Alisnya hitam tebal dan
saling bertaut. Hidungnya mancung. Rahangnya kokoh. Bibirnya kemerahan tak
tersentuh rokok. Janggutnya terawat rapih. Sungguh bukan lelaki dengan kriteria
ketampanan di bawah rata-rata. Namun mengapa ia tak kunjung mencintainya?
Eleneberdehemsekalilalumengucapkan salam,
“Assalamualaikum ...”
Lelaki itu masih
bergeming. Elena mendekat hendak menyelipkan bantal sofa untuk mengganjal
kepalanya yang terkulai ketika tetiba ia terbangun dan memegang tangannya.
“Kau sudah pulang ...
akhirnya. Alhamdulillaah. Aku khawatir sekali. Aku mencoba menghubungimu ke
kantor tapi Office Boy bilang kau sudah pulang. Telepon genggammu mati semalaman.
Ada apa? Apa yang terjadi?” tanyanya penuh kecemasan.
“Aku mampir ke rumah
teman. Lalu merasa kurang enak badan sampai akhirnya ketiduran. Maafkan aku,
Mas ...” Elena tak sanggup menatap mata teduh itu ketika ia berbohong.
“Harusnya kau
mengabariku, supaya aku bisa menjemputmu. Bagaimana keadaanmu sekarang?”
tanyanya sambil meraba
kening Elena lalu turun ke leher, tangannya terhenti pada sebentuk kalung
berinisial dua huruf E yang saling bertaut.
“Aku cuma masuk angin
saja,”
Elena menepis halus
tangan suaminya dari kalung pemberian Eugene.
“Kalung baru?” suaminya
bertanya penasaran.
“Iya. Kenang-kenangan
dari seorang teman,” jawab Elena semakin rikuh.
“Duduklah sebentar,”
pinta suaminya. Elena memaksakan dirinya duduk di sofa di sebelah suaminya,
menahan sakit kepala yang semakin mendera.
“Mas tidak berangkat
kerja hari ini?” tanya Elena berbasa-basi.
“Bagaimana aku bisa
kerja? Aku tak tenang jika kau belum pulang,” ditatapnya Elena dengan sisa-sisa
kecemasan dan kemarahan yang sekuat tenaga ditahan.
“Maafkan aku ...” Elena
menundukkan kepala dalam-dalam.
“Jangan ulangi lagi. Kau
hanya boleh pulang malam atau menginap dengan seijinku. Aku tau kau tersiksa
dengan pernikahan kita. Tapi sekarang kau istriku, aku yang bertanggung jawab
atasmu,” suaranya melunak.
Elena mengangguk takzim.
Ia memang tidak mencintai lelaki itu. Tapi ia juga tidak mempunyai alasan untuk
membencinya, lelaki itu terlalu baik untuknya. “Aku mau ke kamar, rebahan ...”
ujar Elena.
“Kau sudah sarapan?”
merasa “Sudah tadi. Mas belum sarapan?” sejurus kemudian Elena itu pertanyaan
bodoh. Tentu saja belum, ia tertidur semalaman dan terbangun barusan.
“Istirahatlah. Aku akan
menyiapkan sarapanku sendiri. Nanti sore aku akan mengajakmu ke suatu tempat,
ada yang sudah saatnya aku ceritakan padamu,”
ia bangkit mengelus
rambut Elena sekilas lalu berjalan ke dapur. Elena mengikuti dua langkah di
belakangnya lalu ia belok masuk ke dalam kamar. Dilepaskan pakaiannya, ia tidak
ingin suaminya mencium sisa-sisa aroma Eugene yang tertinggal di sana. Menggantinya
dengan daster selutut tanpa lengan. Lalu merebahkan dirinya ke atas ranjang.
Dari tempatnya berbaring
ia bisa melihat pigura foto pernikahan mereka yang terpajang di dinding.
Keduanya terlihat tegang dan hampir-hampir tidak tersenyum di foto itu. Sekitar
enam bulan yang lalu, lelaki itu muncul sekonyong-konyong dalam kehidupannya.
Tidak tanggung-tanggung,
ia datang ke rumah untuk melamarnya langsung. Entah bagaimana bisa lelaki itu
menjatuhkan pilihan padanya yang jelas jelas tak sekufu. Orangtua Elena seketika
jatuh hati begitu melihat penampilan shalih lelaki itu, terlebih wajahnya yang
tampan.
Sejujurnya mereka
berharap dengan menikahkan Elena dengannya bisa menjauhkan Elena dari Eugene
dan membuat Elena menjadi wanita yang berbudi luhur. Mereka percaya Eugene
membawa pengaruh buruk pada Elena. Tentu saja Elena menolak mentah-mentah.
Pernikahan macam apa ini?
Sekedar perkenalan dan
beberapa lembar CV?
Mata Elena berkaca-kaca
hampir tidak percaya membaca status pria itu, seorang duda berusia sepuluh
tahun di atasnya, melahirkan seorang gadis berusia lima tahun.
Istrinya telah
mendahuluinya dua tahun lalu. Ya Tuhan, rasanya tidak ada pria lajang lainnya.
Menjadi istri yang baik belum tentu mampu, apalagi harus menjadi ibu sekaligus?
Namun orang tua Elena bersikeras,
menurut mereka seorang duda kelahiran tunggal yang memiliki keyakinan yang sama
jauh lebih baik daripada pria lajang yang tidak beragama.
Elena merasa di skak mat.
Dramapertentanganituberakhirdengan kekalahan telak di pihak Elena. Ia akhirnya
mengiyakan lamaran itu setelah ibunya menjadi sakit karena terlalu memikirkan
nasib putri semata wayangnya. Tanggal dan tempat pernikahan sudah ditetapkan
sementara Elena belum menemukan bagaimana hal ini harus disampaikan pada
Eugene.
Ia seperti berhadapan dengan
buah simalakama. Memilih meminta Eugene menikahinya berarti mau tidak mau ia
harus melepaskan agamanya dan keluarganya. Meninggalkan Eugene berarti ia harus
menikahi orang yang baru dikenal dan sama sekali tidak dicintainya.
Seminggu sebelum
pernikahan di salon tempat keduanya melakukan fitting kostum, Elena
diperkenalkan kepada seorang gadis kecil. Namanya Maryam, anak dari suami dan
mendiang istri pertamanya. Bertubuh montok. Kulitnya putih, matanya bulat,
pipinya menggemaskan, mengenakan bergo warna merah muda. Cantik, mungkin
seperti ibunya.
“Dia yang akan
menggantikan, Ummi?”
“Bukan menggantikan
karena Ummi tak tergantikan. Tapi menambah ruang di hati dan kehidupan kita
untuk orang baru. Namanya Elena. Kau boleh memanggilnya Ummi Elena jika kau
mau.”
“Tidak. Tidak. Panggil
Ibu atau Bunda saja,” Elena menolak halus sambil tersenyum. Panggilan ‘ummi’
terasa terlalu berat di sandangnya.
“Kenapa ia tidak memakai
kerudung?” tanya Maryam berbisik namun masih cukup terdengar jelas di telinga
Elena.
“Mungkin karena ia belum
merasakan nikmatnya berkerudung. Setiap orang punya waktunya masing-masing,
kita tunggu saja.” Ayah Maryam menjawab dengan balik berbisik.
Wajahnya memerah, baru
kali ini ia merasa dipermalukan oleh anak kecil. Belum lagi sepanjang waktu, Maryam
terus-menerus menatapnya. Mungkinkah ia tengah membandingkan dirinya dengan
umminya? Elena jengah. Duaharimenjelangpernikahannya,
Elena memutuskan untuk
memberitahukan Eugene melalui e-mail. Ia tau akan terasa sangat berat jika
berbicara langsung lewat telepon dan ia khawatir akan berubah fikiran.
‘Dear Eugene, Aku akan
menikah dengan lelaki pilihan orangtuaku.’ Singkat saja isinya.
Tapi dua baris itu kuasa
menjungkirbalikkan perasaan keduanya, Elena dan Eugene. Tidak ada balasan
apa-apa dari Eugene. Tapi ia tahu telah menghancurkan hati Eugene, begitu pula
hatinya. Masih seperti mimpi. Sampai akhirnya pada waktu yang ditentukan Elena
benar benar menemukan namanya dan nama lelaki itu terpajang besar-besar di
sejumlah papan rangkaian bunga.
‘Selamat atas Pernikahan IBNU dan ELENA’
Kesimpulan Novel Elena Bab 7
Bagaiman Bab 7 nya, saya
yakin novel Elena ini akan membawamu ke dalam imajinasi untuk
berusaha menebak lanjutan kisahnya bukan? Jangan khawatir kami punya jawabannya
di bab berikutnya. Silahkan klik
navigasi Babnya di bawah ini untuk pindah ke Bab berikutnya.
0 comments: