Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 69 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – Pengakuan Bab 69
Ia tertawa, lebih keras daripada yang pernah
kudengar. "Seolah-olah aku belum pernah mendengar yang satu itu
saja!"
"Benar, aku yakin kau sering mendengarnya."
"Ayo, pengecut kecilku, naik ke punggungku." Aku
menunggu untuk meyakinkan apakah ia bergurau, tapi tampaknya ia
bersungguh-sungguh.
Ia tersenyum melihat keraguanku, lalu mengulurkan tangan
meraihku. Jantungku bereaksi; meskipun tak bisa mendengar pikiranku, ia tetap
bisa mengetahuinya lewat detak jantungku. Kemudian ia mengayunkanku ke
punggungnya tanpa aku perlu bersusah-payah. Setelah itu aku mengaitkan tangan
dan kakiku di tubuhnya begitu erat hingga bisa membuat orang biasa tersedak.
Rasanya seperti memeluk batu.
“Aku agak lebih berat daripada tas ranselmu,"
aku mengingatkannya.
“Hah!" dengusnya. Aku nyaris bisa mendengar ia
memutar bola matanya. Aku tak pernah melihatnya begitu bersemangat sebelumnya.
Ia membuatku terkejut ketika sekonyong-konyong ia
meraih tanganku, menekankan telapak tanganku ke wajahnya, dan menghirupnya
dalam-dalam.
"Selalu lebih mudah daripada sebelumnya"
gumamnya.
Kemudian ia berlari.
Jika sebelumnya keberadaannya
pernah membuatku mengkhawatirkan kematian, itu tak sebanding dengan yang
kurasakan saat ini.
Ia menerobos kegelapan hutan yang lebat bagai peluru,
bagai hantu. Tak ada suara, tak ada bukti ia memijakkan kakinya di tanah. Irama
napasnya tak pernah berubah, tidak menunjukkan bahwa ia mengerahkan segenap
tenaga. Tapi pepohonan di sekitar kami berkelebat sangat cepat, selalu luput
menyentuh kami.
Aku terlalu takut untuk memejamkan mata, meskipun
hawa hutan yang sejuk menyapu wajahku dan membakarnya. Aku merasa seolah-olah
dengan bodoh menjulurkan kepala ke luar jendela pesawat yang sedang mengudara.
Dan untuk pertama kali dalam hidupku, aku merasa mabuk.
Kemudian selesai. Kami mendaki berjam-jam tadi pagi
untuk mencapai padang rumput Edward, dan sekarang, dalam hitungan menit, kami
sudah sampai lagi di truk.
“Asyik, bukan?" Suaranya meninggi, senang.
Ia berdiri tak bergerak, menungguku turun. Aku
mencobanya, tapi otot-ototku kaku. Lengan dan kakiku tetap mengunci tubuhnya
sementara kepalaku berputar-putar dan membuatku tidak nyaman.
“Bella?" panggilnya, sekarang terdengar waswas.
“Rasanya aku perlu berbaring," aku menahan
napas. "Oh, maaf." Ia menungguku, tapi aku masih tetap tak bisa
bergerak.
"Sepertinya aku perlu bantuan,” ujarku. Ia
tertawa pelan, dan dengan lembut melepaskan cengkeramanku di lehernya.
Kupasrahkan diriku. Kemudian ia menarikku
menghadapnya, menggendongku seolah aku kanak-kanak. Ia memelukku sebentar, lalu
hatihati menurunkanku ke atas hamparan pakis.
"Bagaimana perasaanmu?" tanyanya.
Aku tidak yakin apa yang kurasakan saat kepalaku
berputar cepat sekali.
"Rasanya pusing."
"Letakkan kepalamu di antara kedua
lututmu." Aku mencobanya, dan lumayan membantu.
Aku bernapas pelan, menjaga kepalaku tetap tenang.
Aku merasakan ia duduk di sisiku. Waktu berlalu, dan akhirnya aku dapat
mengangkat kepala. Telingaku berdenging.
"Kurasa itu bukan gagasan yang bagus,"
gumamnya.
Aku mencoba bersikap positif, namun suaraku lemah.
"Tidak, itu tadi sangat menarik."
"Hah! Wajahmu sepucat hantu begitu—oh bukan, kau
sepucat aku!"
“Seharusnya tadi aku memejamkan mata." Lain kali
ingat itu."
"Lain kali!" erangku.
Ia tertawa. Suasana hatinya masih bagus.
“Tukang pamer," gumamku.
“Buka matamu, Bella," ujarnya pelan.
Dan di sanalah dia, wajahnya sangat dekat denganku.
Ketampanannya memukauku—terlalu berlebihan, kelebihan yang belum bisa membuatku
terbiasa.
“Aku sedang berpikir, ketika aku berlari...” Ia
terdiam.
"Kuharap bukan tentang tidak menabrak
pepohonan." "Bella kau lucu." ia tergelak. "Berlari adalah
sesuatu yang alami, bukan sesuatu yang harus kupikirkan." "Tukang
pamer," gumamku lagi. Ia tersenyum.
"Bukan," lanjutnya,
"aku berpikir ada sesuatu yang ingin
kucoba." Dan ia memegangi wajahku dengan tangannya lagi. Aku tak bisa
bernapas.
Ia ragu-ragu—tidak seperti biasanya, seperti cara
manusia.
Bukan seperti pria yang ragu-ragu sebelum mencium
wanita, untuk mengira-ngira bagaimana reaksinya, untuk melihat bagaimana wanita
itu menerimanya. Barangkali ia ingin mengulur-ulur waktu, saat penantian yang
tepat terkadang lebih baik daripada ciuman itu sendiri.
Edward ragu untuk menguji dirinya sendiri, untuk
mengetahui apakah ini aman, untuk memastikan dirinya masih dapat mengendalikan
hasratnya.
Kemudian bibir pualamnya yang dingin menekan lembut
bibirku.
Tapi kami sama sekali tidak siap dengan reaksiku.
Darahku mendidih dan membara di bibirku. Napasku terengah-engah. Jemariku
meremas rambutnya, mencengkeram tubuhnya di tubuhku. Bibirku membuka saat
kuhirup aroma tubuhnya yang keras.
Tiba-tiba kurasakan ia mematung di bawah bibirku.
Dengan lembut dan tegas tangannya mendorong wajahku.
Aku membuka mata dan melihat ekspresinya yang waspada. “Ups," desahku.
"Itu namanya melecehkan."
Tatapannya liar, rahangnya menegang, meski begitu artikulasinya tetap sempurna. Ia memegang wajahku hanya beberapa senti dari wajahnya. Aku terpana dibuatnya.
Penutup Novel Twilight –
Pengakuan Bab 69
Gimana Novel twilight – Port Pengakuan Bab 69 ? keren kan ceritanya.
Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan
khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik
tombol nvaigasi bab di bawah ini.