Thursday, January 27, 2022

Bab 68 Novel Twilight – Pengakuan - Baca Di Sini

Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.

Dalam novel ini Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis, permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.

Sebelum kamu membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.

Ok, Silahkan baca novel Twilight Bab 68 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu hadapi.

Baca Novel Twilight – Pengakuan Bab 68

"Lihat, kan," katanya.

"Benar-benar tidak apa-apa." Darahku mengalir deras, dan aku berharap bisa memperlambatnya, sadar ini pasti membuat segalanya lebih sulit—detak jantung dalam nadiku. Pasti ia bisa mendengarnya.

“Rona pipimu cantik," gumamnya.

Dengan lembut ia membebaskan tangannya yang lain. Tanganku jatuh lunglai di pangkuan. Dengan lembut ia membelai pipiku, lalu memegang wajahku di antara sepasang tangan pualamnya.

“Jangan bergerak," bisiknya, seolah aku belum membeku saja.

Perlahan, tanpa mengalihkan pandangan dariku, ia mencondongkan wajah ke arahku. Lalu tiba-tiba, namun dengan teramat lembut, ia menempelkan pipinya yang dingin di relung leherku. Aku tak bisa bergerak, bahkan bila menginginkannya.

Novel Twilight


Aku mendengarkan suara napasnya yang teratur, mengawasi bagaimana matahari dan angin bermain-main di rambutnya yang perunggu, lebih manusiawi daripada bagian dirinya yang lain. Dengan kelambatan disengaja, tangan-tangannya meluncur menuruni leherku.

Aku gemetar, dan aku mendengarnya terengah. Tapi tangannya tidak berhenti ketika dengan lembut beralih ke bahuku, kemudian berhenti.

Wajahnya bergeser ke samping, hidungnya menyusuri tulang selangkaku. Ia berhenti, salah satu sisi wajahnya menempel lembut di dadaku.

Mendengarkan detak jantungku. "Ah," desahnya. Aku tak tahu berapa lama kami duduk diam tanpa bergerak. Bisa jadi berjam-jam.

Akhirnya detak jantungku memelan, tapi ia tidak bergerak atau bicara lagi ketika memegangku. Aku tahu kapan pun ini bisa jadi kelewat berlebihan, dan hidupku bisa berakhir—begitu cepat hingga aku bahkan mungkin takkan menyadarinya. Dan aku tak bisa membuat diriku ketakutan. Aku tak bisa memikirkan apa pun, kecuali bahwa ia sedang menyentuhku.

Kemudian, terlalu cepat, ia melepaskanku. Sorot matanya damai. “Tidak akan sesulit itu lagi," katanya puas.

"Apakah sulit sekali bagimu?"

"Tak seburuk yang kubayangkan. Kau?"

"Tidak, itu tidak buruk... bagiku."

Ia tersenyum mendengar nada suaraku. "Kau tahu maksudku." Aku tersenyum.

"Kemarilah." Ia meraih tanganku dan menaruhnya di pipinya

"Bisa kaurasakan hangatnya?"

Kulitnya yang biasanya dingin nyaris hangat. Tapi aku nyaris tidak memerhatikan, berhubung aku sedang menyentuh wajahnya, sesuatu yang selalu kuimpikan sejak hari pertama aku melihatnya.

"Jangan bergerak," bisikku.

Tak ada yang bisa setenang Edward. Ia memejamkan mata dan diam tak bergerak bagai batu, sebuah ukiran dalam genggamanku.

Aku bergerak bahkan lebih pelan daripadanya, berhatihati agar tidak membuat gerakan yang tidak diinginkan. Kubelai pipinya, dengan lembut mengusap kelopak matanya, bayangan keunguan di bawah matanya.

Kutelusuri bentuk hidungnya yang sempurna, kemudian, dengan sangat berhati-hati kutelusuri bibirnya yang tak bercela. Bibirnya membuka di bawah tanganku, dan aku bisa merasakan embusan napasnya yang sejuk di ujung jemariku.

Aku ingin mencondongkan tubuh, menghirup aromanya. Jadi kujatuhkan tanganku dan menjauh, tak ingin mendorongnya terlalu jauh.

Ia membuka mata, dan keduanya tampak kelaparan. Bukan dengan cara yang membuatku takut, tapi yang membuat otot perutku tegang dan jantungku berdebar-debar lagi.

"Kuharap," bisiknya, "kuharap kau bisa merasakan... kesulitan... kebingungan... yang kurasakan. Agar kau mengerti.”

Ia mengulurkan tangannya ke rambutku, kemudian dengan hati-hati mengusap wajahku.

“Katakan padaku," desahku.

"Kurasa aku tidak bisa. Sudah kubilang, di lain sisi, rasa lapar–haus —yang menjadikanku makhluk tercela, kurasakan padamu. Dan kurasa kau bisa memahami itu. Meskipun" – ia setengah tersenyum –

“berhubung kau tidak kecanduan obat-obat terlarang barangkali kau tak bisa mengerti sepenuhnya.”

"Tapi..." Jemarinya menyentuh lembut bibirku, membuatku gemetaran lagi. "Ada hasrat lain. Hasrat yang tak bisa kumengerti, sesuatu yang asing bagiku." "Aku mungkin mengerti itu lebih baik dari yang kausangka.”

"Aku tak terbiasa merasa begitu manusiawi. Apakah

rasanya selalu sepera ini?

"Bagiku?" aku berhenti. "Tidak, tidak pernah. Tidak pernah sebelumnya.

"Ia menggenggam tanganku di antara kedua tangannya. Begitu rapuh dalam kekuatan baja yang dimilikinya. "Aku tak tahu bagaimana caranya dekat denganmu," ia mengaku.

"Aku tak tahu apakah aku bisa." Dengan sangat perlahan kucondongkan tubuhku, mengingatkannya lewat tatapanku. Kutempelkan pipiku di dadanya yang keras. Aku hanya bisa mendengar desah napasnya, tak ada yang lain.

"Ini sudah cukup," desahku, memejamkan mata. Dengan gerakan yang amat manusiawi ia memelukku dan menekankan wajahnya di rambutku. “Untuk urusan ini kau lebih baik daripada yang kausangka," sahutku.

“Aku punya naluri manusia—naluri itu mungkin saja terkubur dalam-dalam, tapi masih ada."

Lama sekali kami duduk seperti itu; aku bertanya-tanya mungkinkah ia sama enggannya untuk bergerak seperti halnya diriku. Tapi aku bisa melihat cahaya mulai memudar, bayangan hutan mulai menyentuh kami, dan aku pun mendesah.

"Kau harus pergi."

"Kupikir kau tak bisa membaca pikiranku." "Sudah jelas." Aku bisa mendengar senyuman dalam perkataannya.

Ia meraih bahuku, dan aku menatap wajahnya. "Bisakah aku memperlihatkanmu sesuatu?" pintanya, kegembiraan tiba-tiba menyala-nyala di matanya.

"Memperlihatkan apa?"

"Akan kuperlihatkan bagaimana aku berjalan-jalan di hutan." Ia mengamati ekspresiku.

"Jangan khawatir, kau akan sangat aman, dan kita akan tiba di trukmu lebih cepat dari pada yang kaubayangkan." Bibirnya menyunggingkan senyum yang begitu indah hingga jantungku nyaris berhenti berdetak.

"Apakah kau akan berubah menjadi kelelawar?" tanyaku hati-hati.

Penutup Novel Twilight – Pengakuan Bab 68

Gimana Novel twilight – Port Pengakuan Bab 68 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik tombol navigasi bab di bawah ini.

Selanjutnya
Sebelumnya

0 comments: