Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 68 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – Pengakuan Bab 68
"Lihat, kan," katanya.
"Benar-benar tidak apa-apa." Darahku
mengalir deras, dan aku berharap bisa memperlambatnya, sadar ini pasti membuat
segalanya lebih sulit—detak jantung dalam nadiku. Pasti ia bisa mendengarnya.
“Rona pipimu cantik," gumamnya.
Dengan lembut ia membebaskan tangannya yang lain.
Tanganku jatuh lunglai di pangkuan. Dengan lembut ia membelai pipiku, lalu
memegang wajahku di antara sepasang tangan pualamnya.
“Jangan bergerak," bisiknya, seolah aku belum
membeku saja.
Perlahan, tanpa mengalihkan pandangan dariku, ia
mencondongkan wajah ke arahku. Lalu tiba-tiba, namun dengan teramat lembut, ia
menempelkan pipinya yang dingin di relung leherku. Aku tak bisa bergerak,
bahkan bila menginginkannya.
Aku mendengarkan suara napasnya yang teratur,
mengawasi bagaimana matahari dan angin bermain-main di rambutnya yang perunggu,
lebih manusiawi daripada bagian dirinya yang lain. Dengan kelambatan disengaja,
tangan-tangannya meluncur menuruni leherku.
Aku gemetar, dan aku mendengarnya terengah. Tapi
tangannya tidak berhenti ketika dengan lembut beralih ke bahuku, kemudian
berhenti.
Wajahnya bergeser ke samping, hidungnya menyusuri
tulang selangkaku. Ia berhenti, salah satu sisi wajahnya menempel lembut di
dadaku.
Mendengarkan detak jantungku. "Ah,"
desahnya. Aku tak tahu berapa lama kami duduk diam tanpa bergerak. Bisa jadi
berjam-jam.
Akhirnya detak jantungku memelan, tapi ia tidak
bergerak atau bicara lagi ketika memegangku. Aku tahu kapan pun ini bisa jadi
kelewat berlebihan, dan hidupku bisa berakhir—begitu cepat hingga aku bahkan
mungkin takkan menyadarinya. Dan aku tak bisa membuat diriku ketakutan. Aku tak
bisa memikirkan apa pun, kecuali bahwa ia sedang menyentuhku.
Kemudian, terlalu cepat, ia melepaskanku. Sorot
matanya damai. “Tidak akan sesulit itu lagi," katanya puas.
"Apakah sulit sekali bagimu?"
"Tak seburuk yang kubayangkan. Kau?"
"Tidak, itu tidak buruk... bagiku."
Ia tersenyum mendengar nada suaraku. "Kau tahu
maksudku." Aku tersenyum.
"Kemarilah." Ia meraih tanganku dan
menaruhnya di pipinya
"Bisa kaurasakan hangatnya?"
Kulitnya yang biasanya dingin nyaris hangat. Tapi aku
nyaris tidak memerhatikan, berhubung aku sedang menyentuh wajahnya, sesuatu
yang selalu kuimpikan sejak hari pertama aku melihatnya.
"Jangan bergerak," bisikku.
Tak ada yang bisa setenang Edward. Ia memejamkan mata
dan diam tak bergerak bagai batu, sebuah ukiran dalam genggamanku.
Aku bergerak bahkan lebih pelan daripadanya,
berhatihati agar tidak membuat gerakan yang tidak diinginkan. Kubelai pipinya,
dengan lembut mengusap kelopak matanya, bayangan keunguan di bawah matanya.
Kutelusuri bentuk hidungnya yang sempurna, kemudian,
dengan sangat berhati-hati kutelusuri bibirnya yang tak bercela. Bibirnya
membuka di bawah tanganku, dan aku bisa merasakan embusan napasnya yang sejuk
di ujung jemariku.
Aku ingin mencondongkan tubuh, menghirup aromanya.
Jadi kujatuhkan tanganku dan menjauh, tak ingin mendorongnya terlalu jauh.
Ia membuka mata, dan keduanya tampak kelaparan. Bukan
dengan cara yang membuatku takut, tapi yang membuat otot perutku tegang dan
jantungku berdebar-debar lagi.
"Kuharap," bisiknya, "kuharap kau bisa
merasakan... kesulitan... kebingungan... yang kurasakan. Agar kau mengerti.”
Ia mengulurkan tangannya ke rambutku, kemudian dengan
hati-hati mengusap wajahku.
“Katakan padaku," desahku.
"Kurasa aku tidak bisa. Sudah kubilang, di lain sisi,
rasa lapar–haus —yang menjadikanku makhluk tercela, kurasakan padamu. Dan
kurasa kau bisa memahami itu. Meskipun" – ia setengah tersenyum –
“berhubung kau tidak kecanduan obat-obat terlarang
barangkali kau tak bisa mengerti sepenuhnya.”
"Tapi..." Jemarinya menyentuh lembut
bibirku, membuatku gemetaran lagi. "Ada hasrat lain. Hasrat yang tak bisa
kumengerti, sesuatu yang asing bagiku." "Aku mungkin mengerti itu
lebih baik dari yang kausangka.”
"Aku tak terbiasa merasa begitu manusiawi.
Apakah
rasanya selalu sepera ini?
"Bagiku?" aku berhenti. "Tidak, tidak
pernah. Tidak pernah sebelumnya.
"Ia menggenggam tanganku di antara kedua
tangannya. Begitu rapuh dalam kekuatan baja yang dimilikinya. "Aku tak
tahu bagaimana caranya dekat denganmu," ia mengaku.
"Aku tak tahu apakah aku bisa." Dengan
sangat perlahan kucondongkan tubuhku, mengingatkannya lewat tatapanku.
Kutempelkan pipiku di dadanya yang keras. Aku hanya bisa mendengar desah
napasnya, tak ada yang lain.
"Ini sudah cukup," desahku, memejamkan
mata. Dengan gerakan yang amat manusiawi ia memelukku dan menekankan wajahnya
di rambutku. “Untuk urusan ini kau lebih baik daripada yang kausangka,"
sahutku.
“Aku punya naluri manusia—naluri itu mungkin saja
terkubur dalam-dalam, tapi masih ada."
Lama sekali kami duduk seperti itu; aku
bertanya-tanya mungkinkah ia sama enggannya untuk bergerak seperti halnya
diriku. Tapi aku bisa melihat cahaya mulai memudar, bayangan hutan mulai
menyentuh kami, dan aku pun mendesah.
"Kau harus pergi."
"Kupikir kau tak bisa membaca pikiranku."
"Sudah jelas." Aku bisa mendengar senyuman dalam perkataannya.
Ia meraih bahuku, dan aku menatap wajahnya.
"Bisakah aku memperlihatkanmu sesuatu?" pintanya, kegembiraan
tiba-tiba menyala-nyala di matanya.
"Memperlihatkan apa?"
"Akan kuperlihatkan bagaimana aku berjalan-jalan
di hutan." Ia mengamati ekspresiku.
"Jangan khawatir, kau akan sangat aman, dan kita
akan tiba di trukmu lebih cepat dari pada yang kaubayangkan." Bibirnya
menyunggingkan senyum yang begitu indah hingga jantungku nyaris berhenti
berdetak.
"Apakah kau akan berubah menjadi kelelawar?" tanyaku hati-hati.
Penutup Novel Twilight –
Pengakuan Bab 68
Gimana Novel twilight – Port Pengakuan Bab 68 ? keren kan ceritanya.
Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan
khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik
tombol navigasi bab di bawah ini.
0 comments: