Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 67 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – Pengakuan Bab 67
Aku tak sanggup berkata-kata.
“Aku melakukan tindakan pencegahan, berburu, makan
lebih banyak daripada biasa sebelum bertemu lagi denganmu. Aku yakin aku cukup
kuat untuk memperlakukanmu seperti manusia lainnya. Aku sombong mengenai hal
ini.
“Kenyataan bahwa aku tak dapat membaca pikiranmu
untuk mengetahui reaksimu terhadapku benar-benar menggangguku. Aku tak terbiasa
melakukannya lewat perantara, mendengarkan pikiranmu melalui pikiran Jessica...
pikirannya tidak terlalu orisinal, dan sangat mengganggu harus merendahkan diri
seperti itu. Lagi pula aku tidak tahu apakah kau bersungguh-sungguh dengan
ucapanmu. Sangat menyebalkan.” Ia Cemberut mengingatnya.
"Aku ingin kau melupakan sikapku pada hari
pertama itu, bila mungkin, jadi aku mencoba berbicara denganmu seperti yang
akan kulakukan dengan siapa pun. Sebenarnya aku sangat ingin, aku berharap
dapat menguraikan sebagian pikiranmu. Tapi kau terlalu menarik, aku mendapati
diriku tertawan dalam ekspresimu... dan sesekali kau mengibasngibaskan
tangan atau rambutmu, dan aroma yang menguar
membuatku terkesima lagi... "Tentu saja, kemudian kau nyaris mati tepat di
hadapanku. Baru setelannya aku menemukan alasan yang sangat tepat mengapa aku
beraksi saat itu—karena jika aku tidak menyelamatkanmu, jika darahmu tercecer
di sana di depanku, kurasa aku takkan bisa menghentikan diriku mengungkapkan
siapa diri kami sebenarnya. Tapi aku baru memikirkan alasan itu setelahnya.
Saat itu, yang bisa kupikirkan hanya, 'Jangan dia.'"
Ia memejamkan mata, larut dalam pengakuannya yang
menyiksa. Aku mendengarkan, lebih antusias daripada rasional. Akal sehatku
mengingatkan seharusnya aku takut.
Tapi sebagai ganti aku lega akhirnya bisa mengerti.
Aku sangat bersimpati atas penderitaannya, bahkan sekarang, ketika ia mengakui
hasratnya untuk menghabisi nyawaku.
Akhirnya aku bisa bicara, meski suaraku samar-samar.
"Di rumah sakit?"
Matanya berkilat-kilat menatapku. "Aku kaget.
Aku tak percaya aku telah membahayakan diri kami,
menaruh diriku dalam kuasamu—dirimu, dari semua orang yang ada. Seolah-olah aku
memerlukan alasan lain untuk membunuhmu.
" Kami beringsut menjauh ketika kata itu terucap.
"Tapi efeknya justru kebalikannya," ia bergegas melanjutkan.
"Aku bertengkar dengan Rosalie, Emmett, dan
Jasper ketika mereka bilang sekaranglah waktunya... pertengkaran terburuk kami.
Carlisle membelaku, begitu juga Alice." Ia meringis ketika menyebut nama
itu. Aku tak bisa menebak alasannya.
"Esme menyuruhku melakukan apa saja yang harus
kulakukan untuk tetap tinggal." Ia menggeleng tulus.
"Sepanjang keesokan harinya, aku membaca pikiran
setiap orang yang berbicara denganmu, dan aku terkejut kau memegang
kata-katamu. Aku sama sekali tidak memahami dirimu. Tapi aku tahu aku tak bisa
terlibat lebih jauh lagi denganmu.
Aku berusaha sekuat tenaga untuk menjauhimu. Dan setiap
hari aroma kulitmu, napasmu, rambutmu... memukulku sama kerasnya seperti hari
pertama."
Mata kami kembali bertemu, dan aku terkejut melihat
betapa lembut tatapannya.
"Karenanya," lanjutnya,
"akan lebih baik jika aku
mengungkapkan siapa kami pada saat pertama itu, daripada sekarang, di
sini—tanpa saksi dan apa pun yang bisa menghentikanku—seandainya aku akan
menyakitimu." Cukup manusiawi bagiku untuk bertanya,
"Kenapa?"
"Isabella." Ia
mengucapkan nama lengkapku dengan hati-hati, kemudian mengacak-acak rambutku
dengan tangannya. Sentuhan ringannya membuat sekujur tubuhku tegang.
"Bella, aku takkan bisa
memaafkan diriku jika aku sampai menyakitimu. Kau tak tahu betapa itu
menyiksaku." Ia menunduk, kembali malu-malu. "Bayangan dirimu, kaku,
putih, dingin... tak bisa melihatmu merona lagi, tak bisa melihat kelebatan intuisi
di matamu ketika mengetahui kepura-puraanku... rasanya tak tertahankan."
Ia menatapku dengan matanya yang indah, namun tersiksa.
"Kau yang terpenting bagiku
sekarang. Terpenting bagiku sampai kapan pun.”
Kepalaku berputar karena betapa cepatnya pembicaraan
kami berubah-ubah. Dari topik menyenangkan tentang kematianku sekonyong-konyong
kami mengungkapkan perasaan kami. Ia menunggu, dan meskipun aku menunduk
mengamati tangan kami aku tahu matanya yang keemasan mengawasiku.
"Kau sudah tahu bagaimana perasaanku, tentu saja,”
kataku akhirnya "Aku ada di sini... yang secara kasar berarti aku lebih
baik mati daripada harus menjauh darimu."
Wajahku muram. "Bodohnya aku."
"Kau memang bodoh," ia menimpaliku sambil
tertawa. Tatapan kami bertemu, dan aku ikut tertawa. Kami samasama
menertawakan kebodohan dan kemustahilan situasi itu.
"Jadi singa jatuh cinta pada domba... ,"
gumamnya. Aku berpaling menyembunyikan mataku sementara hatiku senang mendengar
kata-kata itu.
"Domba bodoh," desahku.
"Singa masokistik menjijikkan." Lama sekali
ia memandang hutan yang gelap , dan aku bertanya-tanya ke mana pikirannya telah
membawanya.
"Kenapa... ?” aku memulai, kemudian berhenti,
tak yakin bagaimana meneruskannya.
Ia memandangku dan tersenyum; sinar matahari
membuat wajah dan giginya berkilauan.
"Ya?"
“Katakan padaku kenapa kau lari dariku
sebelumnya."Senyumnya memudar.
"Kau tahu kenapa."
"Tidak, maksudku, tepatnya apa salahku? Aku
harus berjaga-jaga, tahu, jadi sebaiknya aku mulai belajar apa yang tidak
seharusnya kulakukan. Ini, contohnya"—aku membelai punggung tangannya –
“sepertinya tidak masalah."
Ia tersenyum lagi. "Kau tidak melakukan
kesalahan apa pun. Bella. Itu salahku."
"Tapi aku ingin membantu, kalau bisa, agar ini
tidak
lebih sulit lagi bagimu."
"Wol..." Sesaat ia memikirkannya.
“Masalahnya kau begitu dekat. Kebanyakan manusia
dengan sendirinya menjauhi kami mundur karena keanehan kami... Aku tidak
berharap kau akan sedekat ini. Dan aroma lebermu.” Ia berhenti sesaat, melihat
apakah ia membuatku marah.
"Baik kalau begitu," kataku bergurau,
mencoba mencairkan suasana yang tiba-tiba tegang.
Aku melipat daguku. "Aku takkan memperlihatkan
leherku." Berhasil; ia tertawa. "Tidak, sungguh, lebih pada
kejutannya daripada yang lainnya."
Ia mengangkat tangannya yang bebas, dan menaruhnya dengan lembut di leherku. Aku duduk diam tak bergerak, sentuhannya yang dingin bagai peringatan alami— peringatan yang menyuruhku untuk takut. Namun tak ada rasa takut dalam diriku. Bagaimanapun yang ada justru perasaan lain...
Penutup Novel Twilight –
Pengakuan Bab 67
Gimana Novel twilight – Port Pengakuan Bab 67 ? keren kan ceritanya.
Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan
khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik
tombol navigasi bab di bawah ini.
0 comments: