Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 66 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – Pengakuan Bab 66
Dialah yang akhirnya mengakhiri keheningan itu.
"Barangkali itu bukan perbandingan yang tepat.
Barangkah terlalu mudah untuk menolak brendi. Mungkin aku harus mengganti si
peminum dengan pencandu heroin."
"Jadi maksudmu, aku semacam heroin bagimu?"
godaku, berusaha mencairkan suasana.
Ia langsung tersenyum, sepertinya menghargai usahaku.
"Ya, kau adalah heroin bagiku."
"Apakah itu sering terjadi?" tanyaku.
Ia memandang melampaui puncak pohon, memikirkan
jawabannya. "Aku membicarakan hal ini dengan saudara-saudara
lakilakiku."
Ia masih memandang kejauhan.
"Bagi Jasper, kalian manusia kurang-lebih sama.
Dialah yang terakhir bergabung dalam keluarga kami. Sulit baginya untuk sama
sekali berpantang. Dia tak punya waktu untuk menumbuhkan kepekaan untuk
membedakan aroma, juga rasa." Ia memandangku, raut wajahnya menyesal.
"Maaf,” katanya.
"Aku tak keberatan. Kumohon jangan khawatir kau
akan membuatku tersinggung, atau takut, atau apa pun. Begitulah caramu
berpikir. Aku bisa mengerti, atau setidaknya mencoba. Jelaskan saja
sebisamu." Ia menghela napas dalam-dalam dan kembali menatap langit.
"Jadi, Jasper tak yakin apakah dia pernah
menemukan seseorang yang sama"—ia ragu, mencari-cari kara yang
tepat—"menariknya seperti kau bagiku.
Yang membuatku tidak menggunakan akal sehat. Emmett,
boleh dibilang sudah lebih lama bersama kami, jadi dia mengerti maksudku. Dia
mengatakan sudah dua kali mengalaminya, yang kedua lebih kuat daripada yang
pertama."
"Dan kau?"
"Tidak pernah."
Kata itu melayang sesaat di sana, dalam embusan angin
yang hangat.
"Apa yang dilakukan Emmett?" tanyaku
memecah keheningan.
Pertanyaan yang salah. Wajahnya menjadi gelap,
tangannya mengepal dalam genggamanku. Ia membuang muka. Aku menunggu, tapi ia
takkan menjawab.
"Kurasa aku tahu," kataku akhirnya.
Ia melirik; wajahnya muram, memohon.
"Bahkan yang terkuat di antara kita pun pernah
khilaf, bukan begitu?"
“Apa yang kauminta dariku? Izinku?" Suaraku
lebih tajam daripada yang kuinginkan.
Aku mencoba membuat suaraku lebih ramah – aku bisa
menebak harga yang harus dibayarnya karena telah bersikap jujur.
"Maksudku, apakah tidak ada harapan lagi?” Betapa
tenangnya aku membahas kematianku sendiri!
"Tidak, tidak!" Ia langsung menyesal.
"Tentu saja ada harapan! Maksudku, tentu saja aku tidak akan..." Ia
tidak menyelesaikan kalimatnya, matanya nanar menatapku.
"Kisah kita berbeda. Emmett... dia tidak mengenal
kedua gadis itu, mereka hanya kebetulan berpapasan dengannya. Kejadiannya sudah
lama sekali, dan dia tidak... setangkas dan sehati-hati sekarang."
Ia terdiam dan mengamanku lekat-lekat ketika aku
merenungkannya.
"Jadi kalau kita bertemu... oh, di lorong gelap
atau apa...” Nyaliku ciut.
"Aku harus mengerahkan segenap kemampuan agar
tidak melompat ke tengah kelas penuh murid dan—" Sekonyong-konyong ia
berhenti, memalingkan wajah.
"Ketika kau berjalan melewatiku, aku bisa saja
menghancurkan semua yang Carlisle bangun untuk kami, saat itu juga. Seandainya
aku tidak menyangkal rasa hausku sejak, yah, bertahun-tahun yang lalu, aku
takkan sanggup menghentikan diriku sendiri." Ia berhenti, memandang geram
pepohonan.
Ia memandangku muram, kami mengingat saat-saat itu.
"Kau pasti menduga aku kerasukan."
"Aku tidak mengerti alasannya. Bagaimana kau
bisa membenciku secepat itu..."
"Bagiku rasanya kau seperti semacam roh jahat yang di
kirim langsung dari nerakaku sendiri untuk menghancurkanku. Aroma yang menguar
dari kulitmu... Kupikir akan membuatku gila pada hari pertama itu. Dalam satu
jam itu aku memikirkan seratus cara berbeda untuk memancingmu keluar dari
ruangan itu bersamaku, agar aku bisa berdua saja denganmu.
Dan aku terus melawan keinginan itu, memikirkan keluargaku,
apa yang akan menimpa mereka akibat kebodohanku Aku harus pergi, menghilang,
sebelum aku mengucapkan, kata-kata yang bisa membuatmu mengikutiku..."
Ia menatap ekspresiku yang gentar ketika mencoba
memahami ingatannya yang pahit. Matanya yang keemasan membara di balik bulu
matanya, menghipnotis dan mematikan.
"Kau pasti datang," ujarnya.
Aku mencoba berkata dengan tenang, "Tak
diragukan lagi."
Dahinya mengerut ketika ia menatap tanganku,
membebaskanku dari kekuatan tatapannya. "Kemudian, ketika aku sia-sia
berusaha mengatur jadwalku agar bisa menghindarimu, kau ada di sana—di ruangan
kecil hangat itu, begitu dekat, aroma tubuhmu membuatku sinting. Saat itu aku
nyaris menculikmu. Hanya ada satu manusia lemah di sana—sangat mudah untuk
diatasi." Tubuhku gemetar di bawah hangatnya matahari, ingatanku
diperbarui lewat matanya, hanya saja sekarang aku menyadari bahayanya.
Miss Cope yang malang; aku bergidik lagi mengingat
betapa aku nyaris menjadi penyebab kematiannya.
"Tapi aku menolaknya. Aku tidak tahu bagaimana.
Aku memaksa diriku agar tidak menunggumu, tidak mengikutimu dari sekolah.
Bagiku di luar lebih mudah, karena di sana aku tak bisa mencium aromamu. Aku
bisa berpikir dengan jernih, membuat keputusan yang tepat. Aku meninggalkan
yang lain di dekat rumah—aku kelewat malu memberitahu mereka betapa lemahnya
diriku, mereka hanya tahu ada sesuatu yang sangat salah—lalu aku pergi menemui
Carlisle, di rumah sakit, untuk memberitahunya aku akan pergi." Aku
menatapnya terpana.
“Aku bertukar mobil dengannya—bahan bakar mobilnya
penuh dan aku tak ingin berhenti. Aku tidak berani pulang menemui Esme. Dia
tidak akan tinggal diam sampai mengetahui apa yang terjadi. Dia akan mencoba
meyakinkanku bahwa itu tidak penting... "Keesokan paginya aku sudah berada
di Alaska." Ia
terdengar malu, seolah-olah mengakui betapa pengecut
dirinya. "Dua hari aku di sana, bersama beberapa kenalan lama... tapi aku
rindu rumah. Aku benci karena telah mengecewakan Esme, dan yang lainnya,
keluarga adopsiku. Dalam udara bersih pegunungan, sulit memercayai betapa
sangat menggodanya dirimu. Aku meyakinkan diriku sendiri, bahwa melarikan diri
menunjukkan betapa lemah diriku.
Sebelumnya aku juga pernah menghadapi cobaan, tidak sebesar ini, dekat pun tidak, tapi aku kuat. Siapa kau ini, gadis kecil tak penting"—tiba-tiba ia nyengir—"yang mengusirku dari tempat yang ingin kutinggali? Jadi aku pun kembali..." Pandangannya menerawang.
Penutup Novel Twilight –
Pengakuan Bab 66
Gimana Novel twilight – Port Pengakuan Bab 66 ? keren kan ceritanya.
Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan
khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik
tombol navigasi bab di bawah ini.