Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 65 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – Pengakuan Bab 65
"Aku predator terbaik di dunia, bukankah begitu?
Segala sesuatu tentang diriku mengundangmu mendekat—suaraku, wajahku, bahkan
aromaku. Seperti aku membutuhkannya saja!" Tak disangka-sangka ia sudah
bangkit berdiri, pergi, langsung lenyap dari pandangan, dan muncul kembali di
bawah pohon yang sama seperti sebelumnya, setelah mengelilingi padang rumput
hanya dalam setengah detik.
"Seperti kau bisa kabur dariku saja," ia
tertawa getir.
Ia mengulurkan satu tangannya, dan tanpa kesulitan
mematahkan dahan yang sangat tebal dari batang pohonnya, hingga menimbulkan
bunyi patahan yang mengerikan. Beberapa saat ia menimbang-nimbangnya dengan
tangannya, lalu melemparnya begitu cepat, mengempaskannya ke pohon besar lain.
Pohon itu bergoyang dan bergetar.
Lalu ia sudah berada di hadapanku lagi, setengah
meter dariku, kaku bagai batu.
“Seperti kau bisa melawanku saja." katanya
lembut.
Aku duduk tak bergerak, merasa lebih takut padanya
dari pada selama ini. Aku tak pernah melihatnya begitu bebas di balik
penyamarannya yang sempurna. Ia tak pernah
benarbenar
lebih tidak manusiawi... atau lebih menawan. Dengan
wajah pucat dan mata membelalak, aku duduk bagai burung siap dimangsa ular.
Matanya yang indah seolah berkilat-kilat karena
perasaan senang yang meluap-luap. Lalu, ketika detik demi detik berlalu,
percikan itu memudar. Ekspresinya perlahan berganti menjadi kesedihan yang
purba.
"Jangan takut," gumamnya, suara lembutnya
tak disengaja terdengar menggoda.
"Aku berjanji...," ujarnya ragu.
"Aku bersumpah tidak akan menyakitimu." Ia
kelihatan lebih ingin meyakinkan dirinya sendiri daripada aku.
"Jangan takut," bisiknya lagi sambil
mendekat, dengan amat perlahan. Ia duduk luwes, dengan gerakan tak bergegas
yang disengaja, hingga wajah kami sejajar, hanya terpisah tiga puluh senti.
"Kumohon maafkan aku," pintanya.
"Aku bisa mengendalikan diri. Kau membuatku tak
berdaya. Tapi sekarang aku dalam keadaan sangat terkendali." Ia menunggu,
tapi aku masih tak sanggup bicara.
"Sejujurnya, hari ini aku tidak merasa
haus." Ia mengedipkan mata. Mendengar itu aku harus tertawa, meski suara
tawaku gemetar dan tertahan.
“Apakah kau baik-baik saja?" tanyanya lembut,
perlahan dan hati-hati mengulurkan tangannya yang bak pualam dan kembali
menggenggam tanganku.
Aku memandang tangannya yang dingin dan halus, lalu
matanya. Mata itu lembut, penuh penyesalan. Aku kembali menatap tangannya, kemudian
dengan sengaja menelusuri garis tangannya dengan ujung jariku. Aku memandangnya
dan tersenyum gugup.
Senyuman balasannya sungguh memesona. “Jadi, tadi
kita sampai di mana, sebelum aku bersikap kasar,” tanyanya dengan aksen tempo
dulu yang lembut. “Sejujurnya, aku tidak bisa mengingatnya."
Ia tersenyum, tapi wajahnya tampak malu. "Kurasa
kita sedang membicarakan kenapa kau merasa takut, di samping alasan yang sudah
jelas."
"Oh, benar."
"Jadi?"
Aku menunduk menatap tangannya, dan dengan lembut
menggerak-gerakkan tanganku di telapak tangannya yang berkilauan. Detik demi
detik pun berlalu.
"Betapa mudahnya aku marah," desahnya. Aku
menatap matanya, dengan cepat memahami bahwa setiap kejadian ini adalah hal
baru baginya, juga bagiku.
Dan terlepas dari begitu banyaknya hal tak terpahami
yang dialaminya bertahun-tahun, ini juga masih sama sulitnya baginya.
Kubesarkan hatiku melihat kenyataan ini.
"Aku takut... karena, untuk, Well, alasan yang jelas, aku tak bisa
terus di dekatmu. Dan aku takut keinginan untuk terus bersamamu lebih kuat
daripada seharusnya." Aku menunduk menatap tangan-tangannya ketika
mengatakan semua itu.
Sulit bagiku untuk menyatakannya secara gamblang.
"Ya," timpalnya pelan. "Jelas, itu
sesuatu yang perlu ditakutkan. Keinginan untuk bersamaku. Itu sungguh bukan
ke inginanmu yang terbaik." Aku cemberut.
"Aku seharusnya pergi sejak lama,"
desahnya. "Aku seharusnya pergi sekarang. Tapi aku tak tahu apakah aku
bisa."
"Aku tidak ingin kau pergi," gumamku sedih,
seraya menunduk lagi.
“Itulah sebabnya aku harus pergi. Tapi jangan
khawatir. Pada dasarnya aku makhluk egois. Aku terlalu menginginkan kehadiranmu
untuk melakukan apa yang seharusnya kulakukan."
"Aku senang."
"Jangan!" Ia menarik tangannya, kali ini
lebih lembut; suaranya lebih parau daripada biasanya.
Parau untuk ukurannya, tapi toh tetap masih lebih
indah daripada suara manusia mana pun. Sulit rasanya untuk mengikutinya—
perubahan suasana hatinya yang tiba-tiba selalu membuatku terlambat memahami
situasi, dan bingung.
"Bukan hanya keberadaanmu yang kuinginkan!
Jangan pernah lupakan itu. Jangan pernah lupa aku lebih berbahaya bagimu
daripada bagi orang lain." Ia berhenti, dan aku melihatnya diam-diam
memandang ke dalam hutan. Aku berpikir sesaat.
"Sepertinya aku tidak mengerti apa sebenarnya
yang kaumaksud—terutama bagian terakhir," kataku. Ia kembali menatapku dan
tersenyum, belum apa-apa suasana harinya lagi-lagi berubah.
“Bagaimana aku menjelaskannya?" godanya.
"Tanpa membuatmu takut lagi... hmmmm."
Tanpa terlihat memikirkannya, ia meletakkan tangannya dalam genggamanku; dan
aku menggenggamnya erat-erat dengan kedua tanganku.
Ia memandang tangan kami. "Kehangatan ini luar
biasa menyenangkan." Ia mendesah.
Sesaat berlalu saat ia mengumpulkan pikirannya.
“Kau tahu bagaimana orang-orang menikmati rasa yang
berbeda-beda?" ia memulai.
"Beberapa orang menyukai es krim cokelat, yang
lain memilih stroberi?" Aku mengangguk.
"Maaf aku menggunakan makanan sebagai
perumpamaan aku tak tahu cara lain untuk menjelaskannya." Aku tersenyum.
Ia balas tersenyum menyesal.
"Kau tahu, setiap orang punya aroma berbeda,
inti berbeda. Bila kau mengunci seorang peminum dalam ruangan penuh bir basi,
dia akan dengan senang meminumnya. Tapi dia bisa menolaknya, kalau ia memang
ingin, kalau ia bukan peminum lagi.
Sekarang misalnya kautaruh sebotol brendi berumur
ratusan tahun di ruangan itu, cognac langka terbaik—dan memenuhi ruangan itu
dengan aromanya yang hangat—menurutmu, apa yang akan dilakukannya?"
Kami duduk diam, saling menatap—mencoba membaca pikiran satu sama lain.
Penutup Novel Twilight –
Pengakuan Bab 65
Gimana Novel twilight – Port Pengakuan Bab 65 ? keren kan ceritanya.
Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan
khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik
tombol navigasi bab di bawah ini.
0 comments: