Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 64 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – Pengakuan Bab 64
13. PENGAKUAN
MELIHAT Edward di bawah sinar matahari sungguh
membuatku terpesona. Aku takkan pernah terbiasa dengannya, meskipun aku telah
memandanginya seharian ini. Kulitnya, putih meski agak memerah sepulang berburu
kemarin, tampak kemilau, seolah-olah ribuan berlian mungil tertanam di bawah
permukaan kulitnya.
Ia berbaring tak bergerak di rerumputan, kausnya
tersingkap dan memamerkan dada bidangnya yang bercahaya, lengannya yang
telanjang juga berkilauan.
Kelopak matanya yang keunguan dan berbinar terpejam,
meski tentu saja ia tidak tertidur. Patung yang sempurna, terukir dari bebatuan
entah apa namanya, halus bagai pualam, berkilauan bagai kristal.
Terkadang bibirnya bergerak-gerak, begitu cepat
hingga seperti gemetar. Tapi ketika kutanya, katanya ia sedang bernyanyi untuk
dirinya sendiri: terlalu pelan untuk bisa kudengar.
Aku juga menikmati sinar matahari, meskipun udara tidak
cukup kering bagiku. Aku ingin berbaring, seperti yang dilakukannya, dan
membiarkan matahari menghangatkan wajahku. Tapi toh aku hanya duduk memeluk
kakiku, dagu kuletakkan di lutut, tak ingin berpaling dari wajahnya. Angin bertiup
pelan. membelai rambutku dan rerumputan yang menari-nari di selatar tubuh
Edward yang tak bergerak.
Padang rumput yang awalnya sangat mengagumkan bagiku,
kini tampak pudar di samping keberadaan Edward yang bersinar cemerlang.
Dengan ragu-ragu, selalu khawatir, bahkan sekarang, bahwa
ia akan menghilang bagai halusinasi, terlalu indah untuk menjadi kenyataan...
kuulurkan satu jariku dan kuelus punggung tangannya yang
berkilauan, yang berada di dekatku. Aku kembali mengagumi tekstur kulitnya yang
sempurna, halus bagai satin, dingin seperti batu. Ketika aku memandangnya lagi
matanya terbuka, mengamanku. Hari ini warnanya cokelat keemasan, lebih ringan
dan hangat setelah berburu. Senyumnya dengan cepat mengembang di sudut bibirnya
yang tak bercela.
"Aku tidak membuatmu takut, kan?" guraunya,
tapi aku bisa mendengar rasa penasaran yang sesungguhnya dalam suara lembutnya.
"Tak lebih dari biasanya."
Ia tersenyum lebih lebar; giginya mengilap di bawah
sinar matahari.
Aku beringsut mendekat, sekarang mengulurkan tangan
untuk menyusuri lekuk lengan bawahnya dengan ujung jari. Jemariku gemetaran,
dan aku tahu ini pun takkan luput dari perhatiannya.
“Kau keberatan?" tanyaku, karena ia sudah
memejamkan mata lagi.
“Tidak," katanya tanpa membuka mata
"Kau tak dapat membayangkan bagaimana
rasanya." Ia mendesah.
Dengan lembut tanganku menyusuri otot lengannya yang
sempurna, mengikuti jejak samar nadinya yang kebiruan menuju lipatan sikunya.
Dengan tangan lain, aku meraih dan membalikkan tangannya.
Menyadari apa yang kuinginkan, ia membalikkan tangan
dengan cepat, gerakannya membuatku terkesiap. Aku terkejut, sesaat jarijariku
membeku di lengannya.
"Maaf," gumamnya. Aku mendongak tepat saat
matanya yang berwarna emas menutup lagi. "Terlalu mudah menjadi diriku
sendiri ketika bersamamu."
Kuangkat tangannya, membolak-balikkannya sambil
mengamati matahari yang menyinari telapak tangannya. Kudekatkan tangannya ke
wajahku, mencoba melihat sisi kulitnya yang tersembunyi.
"Katakan apa yang kaupikirkan," bisiknya.
Aku melihat dan mendapatinya menatapku, mendadak begitu lekat.
"Masih tidak biasa untukku, untuk tidak
mengetahui."
"Kau tahu, kita semua merasa seperti itu setiap
saat."
"Hidup ini sulit." Apakah aku hanya
membayangkan nada sesal dalam suaranya?
"Tapi kau tidak memberitahuku."
"Aku sedang berharap dapat mengetahui apa yang
kaupikirkan...," ujarku ragu-ragu.
"Dan?"
"Aku berharap dapat memercayai bahwa dirimu
nyata.
Dan aku berharap aku tidak takut."
"Aku tidak ingin kau takut." Suaranya
menggumam lembut Aku mendengar apa yang tak sanggup dikatakannya sejujurnya,
bahwa aku tak perlu takut, bahwa tak ada yang perlu ditakuti.
"Well,
bukan rasa takut itu yang kumaksud, meskipun jelas itu sesuatu yang perlu
dipikirkan."
Semua berlangsung begini cepat hingga aku tidak
melihat gerakannya, sekarang ia setengah duduk, bertopang pada lengan kanannya,
telapak tangan kirinya masih dalam genggamanku. Wajah malaikatnya hanya
beberapa senti dariku.
Aku mungkin saja—seharusnya—menjauh dari kedekatannya
yang tak disangka-sangka, tapi aku tak bisa bergerak. Matanya yang keemasan
memesonaku.
"Lalu apa yang kautakutkan?" bisiknya
sungguhsungguh. Tapi aku tak bisa menjawab. Seperti yang pernah kualami
sebelumnya, aku mencium napas sejuknya di wajahku.
Manis, nikmat, aroma yang membuatku meneteskan air
liur. Tidak seperti apa pun di dunia ini. Secara naluriah, tanpa berpikir, aku
mendekat padanya, menghirupnya.
Dan ia menghilang, melepaskan tangannya dariku.
Ketika akhirnya mataku bisa melihat dengan fokus, ia berada enam meter dariku,
berdiri di ujung padang rumput kecil ini, di bawah bayangan gelap pohon fir
raksasa. Ia menatapku, matanya tampak kelam dalam bayangan itu, ekspresinya tak
dapat kutebak.
Aku bisa merasakan kekecewaan dan perasaan syok
terpancar di wajahku. Tanganku yang kosong bagai tersengat.
“Maafkan... aku..., Edward," bisikku. Aku tahu
ia bisa mendengarnya.
“Beri aku waktu sebentar," sahutnya, cukup
lantang untuk bisa didengar telingaku yang tidak terlalu peka. Aku duduk diam
tak bergerak.
Setelah sepuluh detik yang terasa
sangat lama, ia berjalan kembali ke arahku, pelan untuk ukurannya. Ia berhenti,
masih beberapa meter jauhnya, dan duduk anggun di tanah, kakinya menyilang. Tak
sekali pun ia pernah melepaskan pandangannya dariku. Ia menghela napas panjang
dua kali, lalu senyum menyesal.
“Aku sangat menyesal," ujarnya ragu.
"Apakah kau bisa mengerti maksudku, kalau kubilang aku
hanya manusia?" Aku mengangguk sekali, tak bisa tersenyum mendengar
gurauannya.
Adrenalin memompa deras di nadiku ketika pemahamanku akan bahaya pelan-pelan muncul. Ia dapat menciumnya dari tempatnya duduk sekarang. Senyumnya berubah mengejek.
Penutup Novel Twilight –
Pengakuan Bab 64
Gimana Novel twilight – Port Pengakuan Bab 64 ? keren kan ceritanya.
Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan
khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik
tombol navigasi bab di bawah ini.
0 comments: