Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 63 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – Penyeimbangan Bab 63
Sekarang di luar terasa hangat, lebih hangat daripada
yang pernah kurasakan sejak tiba di Forks, nyaris lembab di bawah selimut awan.
Aku melepaskan sweter dan mengikatkannya di pinggang, bersyukur telah
mengenakan kaus tipis tanpa lengan di baliknya—apalagi karena aku harus
berjalan kaki sejauh lima mil.
Aku mendengarnya menutup pintu, dan melihat apakah ia
juga melepas sweternya. Ia tidak sedang memandangku, melainkan hutan tak
berujung di sebelah trukku.
“Lewat sini," katanya sambil menoleh, sorot
matanya masih kesal.
Ia mulai memasuki hutan gelap itu. "Jalan
setapaknya?" suaraku jelas terdengar panik ketika mengitari truk dan
mengejarnya.
"Kubilang ada jalan setapak di ujung jalan,
bukannya berarti kita akan melaluinya."
"Tanpa jalan setapak?" tanyaku putus asa.
"Aku takkan membiarkanmu tersesat."
Kemudian ia berbalik, dengan senyum mengejek, dan aku mendengus pelan.
Kaus putihnya tanpa lengan dan ia tidak
mengancingkannya, sehingga kulit putihnya yang mulus terpapar dari leher hingga
ke dada, otot-ototnya yang sempurna tak lagi tampak samar dari balik pakaian
yang membalutnya. Ia terlalu sempurna, pikirku sambil menatap tajam dengan
putus asa. Tidak mungkin makhluk yang menyerupai dewa ini ditakdirkan untukku.
Ia menatapku, keheranan melihat ekspresiku yang tersiksa.
"Kau ingin pulang?" tanyanya tenang,
perasaan tersiksa yang sedikit berbeda dariku terdengar dalam suaranya.
"Tidak." Aku melangkah maju sampai ke
dekatnya, tak ingin membuang-buang lagi satu detik atau berapa pun lamanya
waktuku bersamanya.
"Ada apa?" tanyanya lembut.
"Aku bukan pendaki yang baik," sahutku
tolol.
"Kau harus sangat sabar."
"Aku bisa sabar—kalau aku berusaha keras."
Ia tersenyum, sambil menatap mataku, berusaha mengangkatku dari kesedihan yang
mendadak dan tak bisa dijelaskan.
Aku mencoba membalas senyumnya, tapi senyumku tidak
meyakinkan. Ia mengamati wajahku.
“Aku akan membawamu pulang," janjinya.
Aku tak bisa mengatakan apakah janji itu tanpa
syarat, atau artinya ia akan mengantarku lalu pulang ke rumahnya sendiri. Aku
tahu ia mengira rasa takutlah yang membuatku sedih, dan sekali lagi aku
bersyukur akulah satu-satunya orang dengan pikiran yang terbaca olehnya.
"Kalau kau mau aku menempuh lima mil ke dalam
hutan sebelum matahari terbenam, sebaiknya kau mulai menunjukkan arahnya,"
kataku dingin. Ia memandang marah padaku, mencoba memahami maksudku.
Sesaat akhirnya ia menyerah dan mulai berjalan ke
dalam hutan.
Ternyata tidak sesulit yang kukhawatirkan. Jalan yang
kami lalui kebanyakan datar, dan ia menahan dahan-dahan basah dan juntaian
lumut supaya aku bisa lewat.
Ketika jalan lurus yang dilaluinya terhalang pohon tumbang,
atau bebatuan besar, ia membantuku, mengangkatku dengan memegangi sikuku, dan
langsung melepasku begitu selesai melewati rintangan.
Sentuhan dingin kulitnya selalu membuat jantungku
berdebar tak keruan. Ketika terjadi untuk kedua kali, aku sempat melihat
wajahnya dan yakin entah bagaimana ia bisa mendengar detak jantungku. Aku
berusaha mengalihkan pandanganku dari kesempurnaannya sebisa mungkin, tapi
sering kali aku gagal. Setiap kali ketampanannya menusukku dengan kepedihan.
Kami lebih sering berjalan dalam diam. Kadang-kadang
ia melontarkan pertanyaan asal yang belum ditanyakannya dua hari yang lalu
ketika menginterogasiku. Ia menanyakan hari ulang tahunku, guru-guru sekolah
dasarku, hewan peliharaanku semasa kecil—dan harus kuakui setelah tiga ekor
ikan yang kupelihara berturut-turut mati, aku menyerah, tak ingin lagi memiliki
hewan peliharaan. Ia menertawaiku, lebih keras dari biasanya—gema yang seperti
bunyi lonceng memantul ke arah kami dari hutan yang kosong.
Pendakian itu nyaris menghabiskan waktu sepagian,
tapi tak sekali pun ia menunjukkan tanda-tanda tidak sabar. Hutan itu
membentang di sekeliling kami, dipenuhi jaring pepohonan kuno, dan aku mulai
merasa gugup bahwa kami takkan menemukan jalan keluar lagi.
Sebaliknya ia sangat tenang, merasa nyaman berada di
tengah-tengah jaring hijau, tak pernah tampak ragu tentang arah yang kami tuju.
Setelah beberapa jam cahaya yang menyusup di antara dedaunan pohon berubah,
warna kehijauan yang suram berganti jadi hijau cerah. Hari telah berubah cerah,
tepat seperti yang diramalkannya.
Untuk pertama kali sejak kami memasuki hutan, aku
merasa gembira—yang dengan cepat berubah menjadi tidak sabar.
"Apakah kita sudah sampai?" godaku,
pura-pura kesal.
"Hampir." Ia tersenyum melihat suasana
hatiku yang sudah ceria lagi.
"Kaulihat cahaya terang di depan sana?"
Mataku menyipit memandang hutan lebat itu.
"Apakah seharusnya aku bisa melihatnya?"
Ia nyengir. "Barangkali belum kasat oleh
matamu."
"Waktunya mengunjungi dokter mata,"
gumamku. Ia nyengir semakin lebar.
Tapi kemudian, setelah melangkah seratus meter lagi,
aku bisa melihat jelas cahaya di pepohonan di depan kami. Cahaya itu kuning,
bukan hijau. Aku mempercepat langkah, hasratku semakin bertambah di setiap
langkahku. Ia membiarkanku berjalan di depan sekarang, dan mengikutiku tanpa
suara.
Aku mencapai ujung kolam cahaya dan melangkah menembus
tumbuhan pakis terakhir menuju tempat terindah yang pernah kulihat.
Padang rumput itu kecil, melingkar sempurna, dan ditumbuhi
bunga-bunga liar— biru keunguan, kuning, dan putih lembut. Tak jauh dari
tempatku berdiri, aku bisa mendengar senandung sungai. Matahari bersinar tepat
di atas kami, menyinari lingkaran itu dengan kabut kekuningan.
Aku berjalan pelan, terpesona, melintasi rumput halus,
bunga, bunga yang melambai-lambai, serta udara hangat dan keemasan. Aku
setengah membalikkan badan, ingin berbagi ini semua dengannya, tapi ia tak ada
di belakangku seperti yang kukira.
Aku memandang berkeliling, dengan ketakutan mencari-carinya.
Akhirnya aku menemukannya, berdiri di bawah bayangan pepohonan lebat di tepi
kegelapan hutan, memerhatikanku dengan tatapan waswas.
Aku kembali melangkah ke arahnya, sorot mataku sarat oleh rasa ingin tahu. Tatapannya hati-hati, enggan. Aku tersenyum menyemangati, mengulurkan tangan, sambil terus melangkah ke arahnya. Ia mengangkat tangan mengingatkan, dan aku pun ragu. lalu terdiri. Edward tampak menghela napas dalam-dalam, lalu ia melangkah ke tengah cahaya terang mentari siang.
Penutup Novel Twilight –
Penyeimbangan Bab 63
Gimana Novel twilight – Port Penyeimbangan Bab 63 ? keren kan ceritanya.
Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan
khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik
tombol navigasi bab di bawah ini.
0 comments: