Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 62 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – Penyeimbangan Bab 62
Setelah semua siap untuk esok, akhirnya aku berbaring
di tempat tidur. Aku merasa tegang, hingga tak bisa berhenti bolak-balik. Aku
terbangun, dan mencari-cari di kotak sepatuku hingga menemukan koleksi
instrumental Chopin.
Aku menyalakannya dengan volume sangat pelan lalu
berbaring lagi, berusaha menenangkan setiap bagian tubuhku. Di tengah-tengah
itu obat yang kuminum tadi mulai bekerja, dan aku pun tidur pulas.
Aku bangun cepat, tidurku benar-benar nyenyak dan
tanpa mimpi, berkat obat yang sengaja kuminum. Meski istirahatku cukup, aku
kembali tergesa-gesa seperti semalam. Aku berpakaian terburu-buru, melicinkan
kerah pakaianku, merapikan sweter cokelatku hingga jatuh alami di pinggangku.
Aku mengintip ke luar jendela untuk memastikan Charlie sudah benar-benar pergi.
Awan tipis bagai kapas menyelimuti langit. Sepertinya tidak akan bertahan lama.
Aku menyantap sarapanku tanpa benar-benar
merasakannya, buru-buru membereskannya ketika selesai.
Aku mengintip ke jendela lagi, tapi tak ada yang
berubah. Aku baru saja selesai menggosok gigi dan hendak turun ketika sebuah
ketukan pelan membuat jantungku berdetak kencang.
Aku meluncur ke pintu; sedikit kesulitan dengan
selotnya, tapi akhirnya berhasil membukanya. Dan ia tampak berdiri di sana.
Semua kegelisahanku lenyap begitu aku melihat
wajahnya. Kini aku merasa tenang. Aku mendesah lega—ketakutan yang kurasakan
kemarin terasa konyol setelah sekarang ia sudah di sini bersamaku. Awalnya ia
tidak tersenyum—wajahnya muram. Tapi kemudian raut wajahnya sedikit ceria
ketika melihatku, dan ia pun tertawa.
"Selamat pagi," sapanya sambil tergelak.
"Ada apa?" aku menunduk untuk memastikan tidak melupakan sesuatu yang
penting seperti sepatu, atau celana. "Kira serasi." Ia tertawa lagi.
Aku baru menyadari bahwa ia mengenakan sweter tangan panjang cokelat muda,
dengan kerah putih mengintip di baliknya, dan jins. Aku ikut tertawa,
menyembunyikan sekelumit kekecewaan— kenapa ia terlihat seperti model peragaan
busana sementara aku tidak?
Aku mengunci pintu rumah sementara ia berjalan ke
truk. Ia menunggu di pintu penumpang dengan ekspresi tak berdosa yang mudah
ditebak.
“Kita sudah sepakat," aku mengingatkannya,
merasa puas. Lalu aku masuk ke kursi kemudi, dan meraih ke seberang untuk
membukakan pintu baginya.
"Ke mana?" tanyaku.
"Kenakan sabuk pengamanmu–belum-belum aku sudah
gugup.”
Aku menatapnya jengkel ketika melakukan perintahnya.
"Ke mana?" ulangku sambil mendesah.
"Ke arah satu-kosong-satu utara,"
perintahnya. Aku terkejut menemukan diriku sulit berkonsentrasi pada jalanan di
depanku ketika merasakan tatapannya di wajahku.
Karenanya aku mengemudi lebih berhati-hati dari biasa,
menembus kota yang masih tidur.
"Apakah kau bermaksud meninggalkan Forks sebelum
malam tiba?"
"Truk ini cukup tua untuk menjadi mobil kakekmu—
hargailah sedikit," tukasku gusar.
Tak lama kemudian kami sampai di perbatasan kota,
meskipun ia terus saja mencela. Pemandangan semak belukar yang lebat dan
batang-batang pohon berselimut lumut menggantikan pekarangan dan rumah-rumah
yang tadi kami lewati.
"Belok kiri di satu-sepuluh," perintahnya ketika
aku hendak bertanya.
Aku mematuhinya tanpa berkata-kata.
"Sekarang terus hingga ke ujung jalan." Aku bisa
mendengar senyum dalam suaranya, tapi terlalu takut bakal keluar jalur dan
membuktikan ia benar untuk merasa waswas.
“Dan di ujung jalan sana ada apa?" aku
bertanya-tanya.
"Jalan setapak."
“Kita akan mendaki gunung?" Untung aku memakai
sepatu tenis.
“Apakah itu masalah?" Ia terdengar tidak kaget.
“Tidak.” Aku berusaha agar jawabanku terdengar
meyakinkan.
Tapi, kalau pilarnya trukku berjalan pelan..
"Jangan khawatir, jaraknya hanya kurang-lebih lima mil, dan kita tidak
perlu terburu-buru.
" Lima mil. Aku tidak menyahut, supaya ia tidak
mendengar kepanikan dalam suaraku. Lima mil dengan akar-akar berbahaya dan
bebatuan yang mudah luruh, sepertinya ia berencana membuat pergelangan kakiku
keseleo, atau bahkan melukaiku. Ini akan jadi perjalanan memalukan.
Selama beberapa saat kami melanjutkan tanpa bicara,
sementara aku membayangkan kengerian yang bakal kuhadapi.
"Apa yang kaupikirkan?" tanyanya tak sabar
setelah beberapa saat.
Lagi-lagi aku berbohong. "Hanya membayangkan
tempat yang kita tuju."
"Tempat itu sering kudatangi ketika cuaca sedang
bersahabat." Kami memandang ke luar jendela, ke
awanawan yang mulai menipis.
"Charlie bilang hari ini bakal hangat."
"Apakah kau menceritakan rencanamu
padanya?" tanyanya.
"Tidak."
"Tapi Jessica mengira kita pergi ke Seattle
bersamasama?” Ia kelihatannya senang dengan pemikiran itu. "Tidak, aku
bilang kau membatalkan rencana itu—dan itu benar."
"Tak ada yang tahu kau bersamaku?" Sekarang
ia marah.
“Tergantung... kurasa kau memberitahu Alice?” “Sangat
membantu. Bella," tukasnya jengkel. Aku berpura-pura tidak mendengar.
"Apakah Forks membuatmu begitu tertekan sehingga
kau kepingin bunuh diri?" tanyanya ketika aku mengabaikan kata katanya.
"Katamu kau bisa mendapat masalah... kalau kita
terlihat bersama-sama di depan orang banyak, aku mengingatkannya.
“Jadi kau mengkhawatirkan masalah yang mungkin
menimpaku–kalau kau tidak pulang ke rumah?" Ia masih terdengar marah, dan
sangat sinis.
Aku mengangguk, pandanganku tetap ke jalan. Ia
menggumamkan sesuatu, berbicara begitu cepat hingga aku tak bisa memahaminya.
Selama sisa perjalanan kami membisu. Aku bisa merasakan gelombang kemarahan dan
kekecewaan dalam dirinya, dan aku tak tahu harus bilang apa.
Kemudian jalanan berakhir, menyempit menjadi jalan setapak dengan penanda dari kayu kecil. Aku memarkir truk di sisi jalan yang sempit dan melangkah keluar, waswas karena ia marah padaku dan aku tak bisa menjadikan mengemudi sebagai alasan untuk tidak memandangnya.
Penutup Novel Twilight –
Penyeimbangan Bab 62
Gimana Novel twilight – Port Penyeimbangan Bab 62 ? keren kan ceritanya.
Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan
khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik
tombol navigasi bab di bawah ini.
0 comments: