Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini Stepheni
Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita bangsa
manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis, permusuhan,
perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel
Twilight Bab 6 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga bisa memberi
hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu hadapi.
Baca Novel Twilight –Pandangan Pertama Bab 6
Tapi sialnya pelajaran saat itu mengenai anatomi seluler, sesuatu yang sudah pernah kupelajari. Meski begitu aku tetap mencatat dengan teliti, dan selalu menunduk. Aku tak bisa menahan diri dan sesekali mengintip lewat celah rambutku ke cowok aneh di sebelahku. Sepanjang pelajaran ia tak pernah duduk santai di ujung kursinya, sejauh mungkin dariku. Aku bisa melihat tangannya yang mengepal diletakkan di paha kiri, otot-ototnya menyembul di balik kulit pucatnya.
Untuk
yang satu ini, ia juga tak pernah santai. Lengan panjang kaus putihnya digulung
sampai siku, dan mengejutkan karena lengannya kekar dan berotot di balik
kulitnya yang pucat. Ia tidak kelihatan sekurus itu ketika berdampingan dengan
kakaknya yang berperawakan gagah dan besar.
Pelajaran kali
ini kelihatannya lebih lama daripada yang lain. Apa itu karena sekolah sudah
hampir usai, atau karena aku sedang menunggu kepalan tangannya mengendur?
Tangannya terus terkepal, ia duduk bergeming sampaisampai ia seolah-olah tidak
bernapas. Apa yang salah dengannya? Apakah ini perilaku normalnya? Aku
mempertanyakan penilaian Jessica yang ketus saat makan siang tadi. Barangkali
cewek itu tidak sebenci yang kupikir. Tak mungkin ada hubungannya denganku. Ia
sama sekali tak mengenalku.
Sekali lagi aku
mengintip, dan menyesalinya. Ia sedang menatapku, matanya yang hitam penuh rasa
jijik. Ketika aku mengalihkan pandang, menciut di kursiku, tiba-tiba frase bila
rupa bisa membunuh melintas di benakku. Bel berbunyi keras, membuatku
terperanjat. Edward Cullen bangkit dari duduk. Dengan luwes ia berdiri—ia lebih
tinggi daripada yang kukira—memunggungiku, dan ia sudah keluar dari pintu
sebelum yang lain beranjak dari kursi mereka.
Aku duduk
membeku, menatapnya tak berkedip. Ia jahat sekali. Ini tidak adil.
Perlahan-lahan aku mulai membereskan barang-barangku, mencoba mengenyahkan
kemarahan yang menyelimutiku, sebab khawatir air mataku bakal menggenang. Untuk
beberapa alasan emosiku melekat erat dengan saluran air mataku. Kalau marah aku
biasanya menangis, kebiasaan memalukan. “Apa kau Isabella Swan?" terdengar
suara cowok bertanya.
Aku mengangkat
kepala dan melihat seorang cowok bertampang imut dan tampan, rambutnya yang
pirang pucat di-gel membentuk spike yang teratur. Ia tersenyum ramah. Ia jelas
tidak menganggap bauku tidak enak.
“Bella,"
ralatku tersenyum.
"Aku
Mike."
"Hai.
Mike."
“Kau butuh
bantuan mencari kelasmu selanjutnya?" "Sebenarnya aku mau ke
gimnasium. Kurasa aku bisa menemukannya."
“Itu juga kelasku
berikutnya." Ia tampak senang meskipun itu bukan kebetulan yang luar biasa
di sekolah sekecil ini.
Kami berjalan
bareng ke gimnasium; ia ternyata cowok yang senang mengobrol—kebanyakan topik
pembicaraan kami berasal darinya, memudahkan segalanya buatku. Ia tinggal di
California sampai umur sepuluh tahun, jadi ia tahu bagaimana perasaanku tentang
matahari. Dari pembicaraan kami, aku jadi tahu ia juga sekelas denganku di
bahasa Inggris. Ia orang paling ramah yang kutemui hari ini.
Tapi ketika kami
memasuki gimnasium, ia bertanya,
"Jadi, kau
menusuk Edward Cullen dengan pensil atau apa?
Aku tak pernah
melihatnya bersikap seperti itu."
Aku menciut Jadi,
aku bukan satu-satunya yang memerhatikan hal ini. Dan rupanya itu bukan
perilaku Edward yang biasanya. Aku memutuskan untuk berpurapura tidak tahu.
"Maksudmu
cowok yang duduk di sebelahku di kelas Biologi?" tanyaku polos.
"Ya,"
katanya. "Dia kelihatan kesakitan atau apa." "Aku tidak
tahu," timpalku. "Aku tak pernah bicara dengannya."
"Dia
aneh." Bukannya menuju kamar ganti, Mike malah terus bersamaku.
"Kalau aku cukup beruntung bisa duduk denganmu, aku bakal mengobrol
denganmu." Aku tersenyum padanya sebelum melangkah ke kamar ganti cewek.
Ia cukup bersahabat dan memesona. Tapi itu tak cukup mengobati sakit hatiku.
Guru senam kami.
Pelatih Clapp, memberikan seragam buatku. Ia tidak menyuruhku mengganti pakaian
dengan seragamku untuk kelas hari ini. Di tempat asalku, pelajaran olahraga
hanya selama dua tahun. Di sini pelajaran olahraga wajib selama empat tahun.
Secara harfiah, Forks bagiku adalah neraka di bumi.
Berturut-turut
aku menyaksikan empat pertandingan voli. Mengingat jumlah cedera yang telah
menimpaku—dan yang kutimbulkan—ketika bermain voli aku merasa agak mual.
Akhirnya bel
terakhir berbunyi. Aku berjalan pelan ke kantor Tata Usaha untuk mengembalikan
kertas-kertas yang sudah ditandatangani. Hujan sudah reda, tapi angin bertiup
kencang dan lebih dingin. Aku memeluk diriku sendiri. Ketika melangkah ke ruang
Tata Usaha yang hangat, aku nyaris langsung berbalik dan melarikan diri. Edward
Cullen berdiri di meja di depanku. Aku mengenali rambut berwarna perunggu yang
berantakan itu. Sepertinya ia tidak memerhatikan kedatanganku. Aku berdiri
merapat ke dinding belakang menunggu petugas resepsionis selesai.
Edward sedang
berdebat dengannya, nada suaranya rendah dan indah. Dengan cepat aku menangkap
inti perdebatan mereka. Ia sedang berusaha menukar pelajaran Biologi dari jam
keenam ke jam lain—jam mana saja. Aku sama sekali tak percaya keinginannya
memindahkan kelas Biologi-nya ada hubungannya denganku. Pasti sesuatu yang
lain, sesuatu yang terjadi sebelum aku memasuki kelas itu. Raut wajahnya tadi
pasti karena ia sedang jengkel semata. Tak mungkin orang asing ini bisa
tiba-tiba sangat tidak menyukaiku. Pintunya terbuka lagi, dan angin dingin
tiba-tiba berembus ke dalam ruangan, meniup kertas-kertas di meja, meniup
rambutku hingga menutupi wajah. Cewek yang masuk langsung melangkah ke meja,
meletakkan catatan di keranjang kawat, lalu keluar lagi. Tapi punggung Edward
Cullen menegang dan perlahan ia berbalik menatapku— wajahnya luar biasa
tampan—tatapannya menghunjam dan sarat kebencian. Seketika aku merasakan ketakutan
yang amat sangat, hingga bulu kuduk di tanganku meremang. Tatapannya hanya
sedetik, tapi membuatku membeku lebih dari angin yang dingin. Ia berbalik lagi
ke resepsionis. "Kalau begitu lupakan saja," katanya terburu-buru
dengan nada selembut beledu. "Aku mengerti ini tidak mungkin. Terima kasih
banyak atas bantuan Anda." Dan ia berbalik tanpa memandangku lagi, lalu
lenyap di balik pintu.
Aku berjalan
pelan ke meja, wajahku pucat dan bukannya memerah. Kuserahkan kertas yang sudah
ditandatangani.
"Bagaimana
hari pertamamu, Nak?" tanya resepsionis lembut.
"Baik,"
aku berbohong, suaraku lemah. Ia kelihatan tidak percaya.
Ketika tiba di
lapangan parkir, hanya tinggal beberapa mobil di sana. Truk itu rasanya seperti
tempat perlindungan, nyaris mirip rumah yang kumiliki di lubang hijau yang
lembab ini. Aku duduk sebentar di dalamnya, hanya menerawang ke luar kaca
depan. Tapi ketika aku kedinginan dan membutuhkan kehangatan, kuselipkan
kuncinya dan mesin pun menyala. Aku pulang ke rumah Charlie sambil menahan air
mata sepanjang perjalanan ke sana.
Penutup Novel Twilight –
Pandangan Pertama Bab 6
Gimana Novel
twilight – Pandangan Pertama Bab 6 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu
penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan khawatir kami telah
menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik tombol nvaigasi bab di bawah ini.
0 comments: