Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 59 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight –
Penyeimbangan Bab 59
Tapi kalau kau ingin menunda perjalananmu hingga ada
yang bisa menemanimu, aku akan di rumah saja. Aku tahu aku terlalu sering
meninggalkanmu sendirian di rumah."
"Dad, kau oke." Aku tersenyum, berharap
kelegaanku tidak kentara.
"Aku tak pernah keberatan tinggal di rumah
sendirian—kita kan mirip. Aku mengerling padanya dan ia tersenyum hingga
sudut-sudut matanya mengerut. Tidurku lebih pulas malam itu, kelewat lelah
untuk bermimpi. Ketika aku terbangun di pagi hari yang kelabu, suasana hatiku
bahagia.
Malam yang menegangkan bersama Bily dan Jacob
kelihatannya tidak terlalu berbahaya lagi sekarang; jadi kuputuskan untuk
melupakan semuanya.
Aku mendapati diriku bersiul ketika menjepit
rambutku, dan lagi ketika aku melompat-melompat menuruni tangga. Charlie
memerhatikan.
"Pagi ini kau ceria sekali," sahutnya saat
sarapan.
Aku mengangkat bahu. "Ini Jumat."
Aku bergegas, sehingga begitu Charlie berangkat aku sudah
siap. Tasku sudah siap, sepatu sudah kukenakan, gigi sudah bersih, namun
meskipun aku bergegas ke pintu begitu yakin Charlie sudah hilang dari
pandangan, ternyata Edward lebih cepat dariku. Ia sedang menanti di mobilnya
yang mengilap, jendelanya terbuka, mesinnya mati.
Kali ini aku tidak ragu-ragu lagi, langsung masuk ke jok
penumpang, supaya lebih cepat memandang wajahnya. Ia tersenyum lebar padaku,
membuat napas dan jantungku berhenti. Aku tak bisa membayangkan malaikat bisa
lebih indah daripada dia. Tak ada yang bisa menandinginya dalam hal apa pun.
"Bagaimana tidurmu semalam?" tanyanya. Aku
bertanya-tanya apakah ia menyadari, betapa menggoda suaranya.
“Baik. Bagaimana dengan malammu?"
“Menyenangkan." Senyumannya memukau; aku merasa
ada humor dalamnya yang tak berhasil kutangkap.
"Boleh aku bertanya apa saja yang
kaulakukan?" tanyaku.
"Tidak." Ia nyengir.
"Hari ini masih milikku!” Hari ini ia ingin tahu
tentang orang-orang dalam hidupku: lebih banyak tentang Renee, hobinya, apa
yang kami lakukan bersama-sama waktu senggang.
Kemudian satu-satunya nenek yang kutahu, beberapa
teman sekolah— membuatku malu ketika ia menanyakan tentang cowokcowok yang
berkencan denganku. Aku lega karena tak pernah benar-benar berkencan, jadi
topik yang satu itu tidak berlangsung lama.
Ia, sama seperti Jessica dan Angela, terkejut
mendengar sejarah kehidupan percintaanku yang sama sekali nol.
"Jadi kau tak pernah bertemu orang-orang yang
ingin kaujumpai?" tanyanya serius, membuatku bertanya-tanya apa yang
dipikirkannya.
Dengan enggan aku mengakuinya. "Tidak di
Phoenix." Bibirnya terkatup erat.
Saat ini kami di kafetaria. Hari berlalu cepat dalam
kelebatan yang segera berubah jadi rutinitas. Aku memanfaatkan diamnya untuk
menggigit bagelku.
"Aku seharusnya membiarkanmu mengemudi sendiri
hari ini," katanya, sama sekali tak ada hubungannya, sementara aku
mengunyah.
"Kenapa?" tanyaku.
“Aku akan pergi dengan Alice setelah makan
siang."
"Oh." Mataku mengerjap, bingung dan kecewa.
"Tidak masalah, berjalan kaki tidak terlalu jauh kok." Ia menatapku
tidak sabaran.
"Aku takkan membiarkanmu pulang jalan kaki. Kami
akan mengambil trukmu dan meninggalkannya di parkiran "
“Aku tidak membawa kuncinya," desahku.
"Aku benarbenar tidak keberatan berjalan kaki.”
Yang membuatku keberatan adalah kehilangan waktu bersamanya. Ia menggeleng.
“Trukmu akan ada di sini, kuncinya tergantung di
lubang starter – kecuali kau khawatir seseorang mengambilnya.” Ia menertawai
perkataannya sendiri.
"Baiklah," aku menyetujuinya, bibirku
merengut.
Aku cukup yakin kunciku ada di kantong jins yang
kupakai hari Rabu, di tumpukan pakaian di ruang cuci.
Bahkan kalaupun ia menerobos masuk ke rumahku, atau
apa pun yang direncanakannya, ia takkan menemukannya. Ia sepertinya merasa
tertantang dengan jawabanku tadi. Ia nyengir, terlalu percaya diri.
"Jadi, kau mau ke mana?" tanyaku sewajar
mungkin.
"Berburu," jawabnya dingin.
"Kalau akan berduaan denganmu besok, aku akan
melakukan tindakan pencegahan apa pun yang kubisa." Wajahnya bertambah
muram... dan memelas.
"Kau boleh membatalkannya kapan saja, kau tahu
itu."
Aku menunduk, khawatir akan tatapannya yang
persuasif. Aku menolak merasa takut padanya, tak peduli betapa nyata bahaya
yang mungkin menghadang. Itu tidak masalah, ulangku dalam benakku.
“Tidak," bisikku, balas menatapnya.
"Aku tak bisa."
“Barangkali kau benar," gumamnya putus asa.
Warna matanya berubah gelap ketika kuperhatikan. Aku
mengubah topik kami.
"Jam berapa kita ketemu besok?” tanyaku, sudah
merasa sedih memikirkan ia bakal pergi.
“Tergantung... itu kan Sabtu, tidakkah kau ingin
bangun lebih siang?” ia menawarkan.
“Tidak,” aku menjawab terlalu cepat. Ia menahan
senyum.
“Kalau begitu waktu yang sama seperti biasa."
katanya.
Charlie akan ada di rumah?"
"Tidak, besok dia pergi mancing," ujarku
membayangkan betapa semuanya berjalan lancar.
Suaranya berubah tajam. "Dan kalau kau tidak
pulang, apa yang akan dipikirkannya?”
"Aku tidak tahu," jawabku tenang.
"Dia tahu aku berencana mencuci pakaian.
Barangkali dipikirnya aku terjatuh ke dalam mesin cuci."
Ia memandangku marah dan aku membalasnya.
Kemarahannya jauh lebih mengesankan daripada kemarahanku.
"Kau akan berburu apa malam ini?" tanyaku
akhirnya, ketika yakin telah kalah dalam adu tatapan marah.
"Apa saja yang kami temukan. Kami tidak pergi
jauhjauh." Ia tampak heran dengan sikapku yang biasa saja menanggapi
rahasia gelapnya.
"Kenapa kau pergi dengan Alice?" tanyaku.
"Alice yang paling... mendukung." Dahinya
mengerut ketika mengatakan itu.
"Dan yang lain?" tanyaku hati-hati.
"Mereka apa?" Sesaat ia mengernyitkan alis. "Bisa dibilang tidak
percaya."
Aku langsung menoleh ke arah keluarganya. Mereka
duduk, memandang ke berbagai arah, persis seperti ketika aku pertama kali
melihat mereka.
Hanya saja sekarang mereka berempat, saudara
laki-laki mereka yang menawan dan berambut perunggu duduk berseberangan
denganku, matanya yang keemasan tampak gelisah.
"Mereka tidak menyukaiku," aku mencoba menebak.
Penutup Novel Twilight –
Penyeimbangan Bab 59
Gimana Novel twilight – Port Penyeimbangan Bab 59 ? keren kan ceritanya.
Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan
khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik
tombol navigasi bab di bawah ini.
0 comments: