Thursday, January 27, 2022

Bab 57 Novel Twilight – Kesulitan - Baca Di Sini

Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.

Dalam novel ini Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis, permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.

Sebelum kamu membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.

Ok, Silahkan baca novel Twilight Bab 57 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu hadapi.

Baca Novel Twilight – Kesulitan Bab 57

Aku mencondongkan tubuh ke meja, meletakkan dagu di atas lengan yang kulipat, jemariku yang tersembunyi meremas ujung meja saat aku berusaha mengabaikan hasrat konyol

yang membuatku resah. Aku tak melihat ke arahnya, khawatir ia juga sedang memandangku, dan itu hanya akan membuatku sulit mengendalikan diri. Aku mencoba menonton dengan sungguh-sungguh, namun pada akhir pelajaran aku tak tahu apa yang baru saja kusaksikan.

Aku menghela napas lega ketika Mr. Banner menyalakan lampu kembali, akhirnya memandang Edward; ia sedang menatapku, sorot matanya bingung.

Novel Twilight


Tanpa berkata-kata ia bangkit dan diam tak bergerak, menungguku. Kami berjalan ke gimnasium tanpa bicara, seperti kemarin.

Dan seperti kemarin juga ia menyentuh wajahku tanpa berkata-kata—kali ini dengan punggung tangannya yang dingin, membelai kening hingga rahangku—sebelum akhirnya berbalik dan pergi. Pelajaran Olahraga berlalu cepat ketika aku menyaksikan Mike berlaga dalam nomor tunggal bulu tangkis. Ia tidak berbicara padaku hari ini, entah karena ekspresiku yang hampa atau karena ia masih marah karena pertengkaran kami kemarin.

Di suatu tempat, di sudut benakku, aku merasa bersalah. Tapi aku tak bisa berkonsentrasi padanya. Setelah itu aku langsung mengganti pakaian, gelisah, tahu semakin cepat aku bergerak, semakin cepat pula aku akan menemui Edward.

Tekanan itu membuatku lebih tegang daripada biasanya, tapi akhirnya aku melangkah keluar, merasakan kelegaan yang sama ketika melihatnya berdiri di sana. Senyum lebar mengembang di wajahku. Ia balas tersenyum sebelum mengamatiku lebih dalam.

Pertanyaan-pertanyaannya berbeda sekarang, tak mudah untuk dijawab. Ia ingin tahu apa yang kurindukan dari rumahku, ia memaksaku menggambarkan apa saja yang tidak biasa baginya, berjam-jam kami duduk di depan rumah Charlie, langit mulai gelap dan hujan sekonyongkonyong turun membasahi sekeliling kami.

Aku berusaha menggambarkan hal-hal abstrak seperti aroma antiseptik—pahit, agak lengket, tapi masih menyenangkan—bunyi cicada yang melengking dan lantang, pepohonan kering yang rapuh, luasnya langit, warna biru dan putih membentang sepanjang kaki langit, nyaris tak terselingi pegunungan-pegunungan rendah dengan bebatuan vulkanik ungu.

Hal tersulit yang harus kujelaskan adalah mengapa itu semua begitu indah bagiku—untuk menjelaskan keindahan yang tidak ada hubungannya dengan tumbuh-tumbuhan berduri yang sering tampak sekarat, keindahan yang lebih berkaitan dengan lekuk tanah yang menonjol, dengan lembah-lembah yang menekuk dangkal di antara bukit-bukit berbatu, dan cara mereka menggapai matahari. Aku sadar menggunakan kedua tanganku ketika menggambarkan semua itu padanya.

Pertanyaannya yang sederhana namun menyelidik membuatku terus bicara dengan bebasnya. Dalam cahaya temaram badai, aku dibuatnya lupa untuk merasa malu karena telah memonopoli pembicaraan.

Akhirnya, ketika aku selesai mendeskripsikan kamarku yang berantakan di rumah, bukannya melontarkan pertanyaan lain, ia malah terdiam.

"Kau sudah selesai?" tanyaku lega.

"Hampir selesai pun tidak—tapi ayahmu sebentar lagi pulang."

"Charlie!" Aku tiba-tiba menyadari keberadaannya, dan mendesah. Aku menerawang ke langit yang gelap karena derasnya hujan, tapi aku tak tahu jam berapa sekarang. "Jam berapa sekarang?" tanyaku sambil melihat jam. Aku kaget melihat waktu—Charlie sedang dalam perjalanan pulang sekarang.

"Sudah twilight—rembang petang," gumam Edward.

memandang langit barat yang gelap tertutup awan. Nada suaranya melamun, seolah pikirannya jauh entah di mana. Aku menatapnya ketika ia memandang ke luar kaca depan mobil.

Aku masih menatapnya ketika matanya tiba-tiba kembali menatapku.

"Ini saat paling aman bagi kami," katanya, menjawab tatapanku yang bertanya-tanya. "Saat termudah, tapi juga yang paling sedih, mengingat... ini adalah akhir satu hari lain, kembalinya sang malam. Kegelapan begitu mudah ditebak, bukankah begitu?" Ia tersenyum muram. "Aku suka malam. Tanpa kegelapan kita takkan pernah melihat bintang." Aku mengerutkan kening. "Meski di sini tak banyak yang bisa dilihat."

Ia tertawa, dan suasana di tengah-tengah kami tiba-tiba ceria lagi.

"Charlie akan sampai sebentar lagi. Jadi, kecuali kau mau memberitahunya kau akan bersamaku Sabtu nanti..." Alisnya naik sebelah.

"Terima kasih, tapi tidak." Kukumpulkan buku-bukuku, tubuhku kaku karena terlalu lama duduk. "Jadi, kalau begitu besok giliranku?"

"Tentu saja tidak!" Wajah marahnya menggodaku. "Aku sudah bilang belum selesai, kan?"

"Ada apa lagi sih?"

“Kau akan tahu besok." Ia mencondongkan tubuh meraih pegangan pintuku dan membukakannya. Kedekatannya yang tiba-tiba membuat jantungku berdetak liar.

Tapi tangannya membeku di pegangan pintu.

“Kacau," gumamnya.

“Apa?" aku terkejut melihat rahangnya terkunci erat, tatapannya gelisah.

Ia melirikku sebentar. "Masalah lagi," katanya muram.

Ia membuka pintu itu dalam gerakan luwes, lalu bergerak nyaris menarik dirinya menjauh dariku. Lampu sorot yang menembus hujan menarik perhatianku. Sebuah mobil menepi dan berhenti hanya beberapa meter di depan kami.

"Charlie sudah dekat," ia mengingatkanku, memandang menembus hujan lebat yang mengguyur mobil tadi. Meski bingung dan penasaran, aku langsung melompat keluar. Hujan terdengar lebih keras ketika membasahi jaketku.

Aku mencoba mengenali sosok yang duduk di jok depan mobil tadi, tapi terlalu gelap. Aku bisa melihat sosok Edward dalam sorotan lampu mobil yang baru saja datang tadi; ia masih menatap ke depan, tatapannya terpaku pada sesuatu atau seseorang yang tak bisa kulihat.

Ekspresinya aneh, antara putus asa dan menantang. Kemudian ia menyalakan mesin mobilnya, bannya berdecit di pelataran yang basah. Dalam sekejap Volvo itu lenyap dari pandangan.

"Hei, Bella," suara serak yang tak asing lagi memanggilku dari jok pengemudi mobil hitam kecil itu.

“Jacob?" tanyaku, menyipitkan mata menembus hujan. Mobil patroli Charlie muncul dari belokan jalan, lampunya menyinari mobil di depanku.

Jacob sudah keluar dari mobil, senyumnya yang lebar tampak nyata meski saat itu gelap. Di jok penumpang duduk seseorang yang jauh lebih tua, pria bertubuh kekar dengan wajah yang kuingat—wajah yang berkeriput, pipi yang kendur, dengan kulit keriput bagai jaket kulit tua.

Dan sepasang mata yang tak disangka-sangka sangat familier, mata hitam yang tampak terlalu muda dan sekaligus kuno untuk sebentuk wajahnya yang lebar. Itu ayah Jacob, Billy Black. Aku langsung mengenalinya, meski sudah lebih dari lima tahun sejak terkir kali aku melihatnya.

Aku nyaris lupa namanya jika Charlie tidak menyebutnya pada hari pertama kedatanganku di sini. Ia memandangku, mengamati wajahku, jadi aku tersenyum malu-malu padanya. Matanya lebar, seolah-olah ngeri, hidungnya kembang-kempis.

Senyumku memudar.

Masalah lagi, seperti kata Edward.

Billy masih menatapku lekat-lekat, waswas. Diam-diam aku mengerang. Apakah Billy mengenali Edward semudah itu? Mungkinkah ia benar-benar memercayai legenda mustahil yang diceritakan anaknya?

Jawabannya tampak jelas di mata Billy. Ya. Ya, ia percaya.

Penutup Novel Twilight – Kesulitan Bab 57

Gimana Novel twilight – Port Kesulitan Bab 57 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik tombol navigasi bab di bawah ini.

Selanjutnya
Sebelumnya

0 comments: