Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 57 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga
bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu
hadapi.
Baca Novel Twilight – Kesulitan Bab
57
Aku mencondongkan tubuh ke meja, meletakkan dagu di
atas lengan yang kulipat, jemariku yang tersembunyi meremas ujung meja saat aku
berusaha mengabaikan hasrat konyol
yang membuatku resah. Aku tak melihat ke arahnya,
khawatir ia juga sedang memandangku, dan itu hanya akan membuatku sulit
mengendalikan diri. Aku mencoba menonton dengan sungguh-sungguh, namun pada
akhir pelajaran aku tak tahu apa yang baru saja kusaksikan.
Aku menghela napas lega ketika Mr. Banner menyalakan
lampu kembali, akhirnya memandang Edward; ia sedang menatapku, sorot matanya
bingung.
Tanpa berkata-kata ia bangkit dan diam tak bergerak,
menungguku. Kami berjalan ke gimnasium tanpa bicara, seperti kemarin.
Dan seperti kemarin juga ia menyentuh wajahku tanpa
berkata-kata—kali ini dengan punggung tangannya yang dingin, membelai kening
hingga rahangku—sebelum akhirnya berbalik dan pergi. Pelajaran Olahraga berlalu
cepat ketika aku menyaksikan Mike berlaga dalam nomor tunggal bulu tangkis. Ia
tidak berbicara padaku hari ini, entah karena ekspresiku yang hampa atau karena
ia masih marah karena pertengkaran kami kemarin.
Di suatu tempat, di sudut benakku, aku merasa
bersalah. Tapi aku tak bisa berkonsentrasi padanya. Setelah itu aku langsung
mengganti pakaian, gelisah, tahu semakin cepat aku bergerak, semakin cepat pula
aku akan menemui Edward.
Tekanan itu membuatku lebih tegang daripada biasanya,
tapi akhirnya aku melangkah keluar, merasakan kelegaan yang sama ketika
melihatnya berdiri di sana. Senyum lebar mengembang di wajahku. Ia balas
tersenyum sebelum mengamatiku lebih dalam.
Pertanyaan-pertanyaannya berbeda sekarang, tak mudah
untuk dijawab. Ia ingin tahu apa yang kurindukan dari rumahku, ia memaksaku
menggambarkan apa saja yang tidak biasa baginya, berjam-jam kami duduk di depan
rumah Charlie, langit mulai gelap dan hujan sekonyongkonyong turun membasahi
sekeliling kami.
Aku berusaha menggambarkan hal-hal abstrak seperti aroma
antiseptik—pahit, agak lengket, tapi masih menyenangkan—bunyi cicada yang melengking dan lantang,
pepohonan kering yang rapuh, luasnya langit, warna biru dan putih membentang
sepanjang kaki langit, nyaris tak terselingi pegunungan-pegunungan rendah
dengan bebatuan vulkanik ungu.
Hal tersulit yang harus kujelaskan adalah mengapa itu semua
begitu indah bagiku—untuk menjelaskan keindahan yang tidak ada hubungannya
dengan tumbuh-tumbuhan berduri yang sering tampak sekarat, keindahan yang lebih
berkaitan dengan lekuk tanah yang menonjol, dengan lembah-lembah yang menekuk
dangkal di antara bukit-bukit berbatu, dan cara mereka menggapai matahari. Aku
sadar menggunakan kedua tanganku ketika menggambarkan semua itu padanya.
Pertanyaannya yang sederhana namun menyelidik membuatku
terus bicara dengan bebasnya. Dalam cahaya temaram badai, aku dibuatnya lupa
untuk merasa malu karena telah memonopoli pembicaraan.
Akhirnya, ketika aku selesai mendeskripsikan kamarku yang
berantakan di rumah, bukannya melontarkan pertanyaan lain, ia malah terdiam.
"Kau sudah selesai?" tanyaku lega.
"Hampir selesai pun tidak—tapi ayahmu sebentar
lagi pulang."
"Charlie!" Aku tiba-tiba menyadari
keberadaannya, dan mendesah. Aku menerawang ke langit yang gelap karena
derasnya hujan, tapi aku tak tahu jam berapa sekarang. "Jam berapa
sekarang?" tanyaku sambil melihat jam. Aku kaget melihat waktu—Charlie
sedang dalam perjalanan pulang sekarang.
"Sudah twilight—rembang petang," gumam
Edward.
memandang langit barat yang gelap tertutup awan. Nada
suaranya melamun, seolah pikirannya jauh entah di mana. Aku menatapnya ketika
ia memandang ke luar kaca depan mobil.
Aku masih menatapnya ketika matanya tiba-tiba kembali
menatapku.
"Ini saat paling aman bagi kami," katanya,
menjawab tatapanku yang bertanya-tanya. "Saat termudah, tapi juga yang
paling sedih, mengingat... ini adalah akhir satu hari lain, kembalinya sang
malam. Kegelapan begitu mudah ditebak, bukankah begitu?" Ia tersenyum
muram. "Aku suka malam. Tanpa kegelapan kita takkan pernah melihat
bintang." Aku mengerutkan kening. "Meski di sini tak banyak yang bisa
dilihat."
Ia tertawa, dan suasana di tengah-tengah kami
tiba-tiba ceria lagi.
"Charlie akan sampai sebentar lagi. Jadi,
kecuali kau mau memberitahunya kau akan bersamaku Sabtu nanti..." Alisnya
naik sebelah.
"Terima kasih, tapi tidak." Kukumpulkan
buku-bukuku, tubuhku kaku karena terlalu lama duduk. "Jadi, kalau begitu
besok giliranku?"
"Tentu saja tidak!" Wajah marahnya
menggodaku. "Aku sudah bilang belum selesai, kan?"
"Ada apa lagi sih?"
“Kau akan tahu besok." Ia mencondongkan tubuh
meraih pegangan pintuku dan membukakannya. Kedekatannya yang tiba-tiba membuat
jantungku berdetak liar.
Tapi tangannya membeku di pegangan pintu.
“Kacau," gumamnya.
“Apa?" aku terkejut melihat rahangnya terkunci
erat, tatapannya gelisah.
Ia melirikku sebentar. "Masalah lagi,"
katanya muram.
Ia membuka pintu itu dalam gerakan luwes, lalu
bergerak nyaris menarik dirinya menjauh dariku. Lampu sorot yang menembus hujan
menarik perhatianku. Sebuah mobil menepi dan berhenti hanya beberapa meter di
depan kami.
"Charlie sudah dekat," ia mengingatkanku,
memandang menembus hujan lebat yang mengguyur mobil tadi. Meski bingung dan
penasaran, aku langsung melompat keluar. Hujan terdengar lebih keras ketika
membasahi jaketku.
Aku mencoba mengenali sosok yang duduk di jok depan
mobil tadi, tapi terlalu gelap. Aku bisa melihat sosok Edward dalam sorotan
lampu mobil yang baru saja datang tadi; ia masih menatap ke depan, tatapannya
terpaku pada sesuatu atau seseorang yang tak bisa kulihat.
Ekspresinya aneh, antara putus asa dan menantang.
Kemudian ia menyalakan mesin mobilnya, bannya berdecit di pelataran yang basah.
Dalam sekejap Volvo itu lenyap dari pandangan.
"Hei, Bella," suara serak yang tak asing
lagi memanggilku dari jok pengemudi mobil hitam kecil itu.
“Jacob?" tanyaku, menyipitkan mata menembus
hujan. Mobil patroli Charlie muncul dari belokan jalan, lampunya menyinari
mobil di depanku.
Jacob sudah keluar dari mobil, senyumnya yang lebar tampak
nyata meski saat itu gelap. Di jok penumpang duduk seseorang yang jauh lebih
tua, pria bertubuh kekar dengan wajah yang kuingat—wajah yang berkeriput, pipi
yang kendur, dengan kulit keriput bagai jaket kulit tua.
Dan sepasang mata yang tak disangka-sangka sangat familier,
mata hitam yang tampak terlalu muda dan sekaligus kuno untuk sebentuk wajahnya
yang lebar. Itu ayah Jacob, Billy Black. Aku langsung mengenalinya, meski sudah
lebih dari lima tahun sejak terkir kali aku melihatnya.
Aku nyaris lupa namanya jika Charlie tidak menyebutnya pada
hari pertama kedatanganku di sini. Ia memandangku, mengamati wajahku, jadi aku
tersenyum malu-malu padanya. Matanya lebar, seolah-olah ngeri, hidungnya
kembang-kempis.
Senyumku memudar.
Masalah lagi, seperti kata Edward.
Billy masih menatapku lekat-lekat, waswas. Diam-diam
aku mengerang. Apakah Billy mengenali Edward semudah itu? Mungkinkah ia
benar-benar memercayai legenda mustahil yang diceritakan anaknya?
Jawabannya tampak jelas di mata Billy. Ya. Ya, ia percaya.
Penutup Novel Twilight –
Kesulitan Bab 57
Gimana Novel twilight – Port Kesulitan Bab 57 ? keren kan ceritanya.
Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan
khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik
tombol navigasi bab di bawah ini.
0 comments: