Thursday, January 27, 2022

Bab 56 Novel Twilight – Kesulitan - Baca Di Sini

Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.

Dalam novel ini Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis, permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.

Sebelum kamu membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.

Ok, Silahkan baca novel Twilight Bab 56 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu hadapi.

Baca Novel Twilight – Kesulitan Bab 56

Aku berkelit. "Kali ini anak ceweklah yang mengajak."

“Oh." Ia mengeringkan piring dengan wajah cemberut.

Aku merasa kasihan padanya. Pasti sulit menjadi ayah; hidup dalam kekhawatiran bahwa anak gadisnya akan bertemu cowok yang disukainya, tapi juga mengkhawatirkan sebaliknya. Betapa ngeri, pikirku bergidik, seandainya Charlie bahkan sedikit saja mencurigai siapa yang sebenarnya yang kusukai.

Novel Twilight


Kemudian Charlie pergi sambil melambai, dan aku naik, menyikat gigi, dan mengumpulkan buku-bukuku. Ketika mendengar mobil patroli Charlie menjauh, aku hanya bisa bertahan sebentar sekali sebelum mengintip ke luar jendela.

Mobil silver itu sudah ada di sana, menunggu di tempat Charlie biasa parkir. Aku setengah berlari menuruni tangga, keluar rumah, membayangkan berapa lama rutinitas aneh ini akan berlanjut. Aku tak pernah menginginkannya berakhir.

Ia menunggu di mobil, sepertinya tidak memerhatikan waktu aku menutup pintu tanpa repot-repot mengunci. Aku berjalan menuju mobil, berhenti malu-malu sebelum membuka pintu dan masuk ke dalam. Ia tersenyum, tenang—dan seperti biasa, begitu sempurna dan tampan hingga membuatku tersiksa.

"Selamat pagi." Suaranya lembut.

"Bagaimana kabarmu hari ini?" Matanya menjelajahi wajahku, seolah pertanyaannya lebih daripada sekadar basa-basi.

"Baik, terima kasih." Aku selalu baik—lebih dari baik— setiap kali berada di dekatnya.

Pandangannya melekat pada lingkaran di bawah mataku.

"Kau tampak lelah."

"Aku tak bisa tidur," aku mengaku, tanpa sadar menggerai rambutku agar sedikit menutupi wajah.

"Aku juga," godanya sambil menyalakan mesin mobil Aku mulai terbiasa dengan suara deruman halus itu. Aku yakin deruman trukku akan membuatku kaget, kalau aku sempat mengendarainya lagi.

Aku tertawa. "Kurasa itu benar. Kurasa aku tidur agak lebih banyak darimu."

"Aku berani bertaruh untuk itu."

"Jadi, apa yang kaulakukan semalam?" tanyaku.

Ia tergelak. "Tidak bisa. Hari ini giliranku bertanya." "Oh, kau benar. Apa yang ingin kauketahui?" Dahiku mengerut. Aku tak bisa membayangkan apa pun tentangku yang bisa membuatnya tertarik.

"Apa warna kesukaanmu?" tanyanya, raut wajahnya serius.

Aku menggerak-gerakkan mataku. "Setiap hari berubahubah." "Kalau hari ini?" Ia masih tenang.

"Barangkali cokelat." Aku biasa berpakaian sesuai dengan suasana hatiku.

Ia mendengus, ekspresi seriusnya berubah. "Cokelat?" tanyanya ragu-ragu.

"Tentu. Warna cokelat itu hangat. Aku rindu cokelat. Semua yang seharusnya berwarna cokelat—batang pohon, bebatuan, debu—di sini semua itu dilapisi warna hijau," keluhku.

Ia sepertinya terkesima mendengar celotehanku. Sesaat ia berpikir, menatap mataku.

"Kau benar," katanya serius. "Warna cokelat itu hangat." Tangannya menyentuh lembut, tapi masih sedikit raguragu, merapikan rambutku ke balik bahu.

Kami sudah tiba di sekolah. Ia berbalik menghadapku sambil memarkir mobil.

"Musik apa yang kaumainkan di CD player-mu saat ini?" tanyanya, wajahnya muram, seolah sedang menginterogasi pembunuh.

Aku jadi sadar tak pernah memindahkan CD yang diberikan Phil. Ketika kusebut nama bandnya, ia tersenyum mengejek, tatapan aneh terpancar di matanya.

Ia membuka laci di bawah CD player mobilnya, mengeluarkan satu dari tiga puluh atau lebih CD yang diselipkan dalam satu wadah sempit dan menyerahkannya padaku.

"Debussy, lalu ini?" Satu alisnya terangkat.

Itu CD yang sama. Aku mengamati sampulnya yang tak

asing lagi, sambil terus menunduk.

Sepanjang hari itu berlanjut seperti itu. Sambil mengantarku ke kelas bahasa Inggris, ketika menemuiku seusai kelas bahasa Spanyol, sepanjang waktu makan siang, ia terus-menerus menanyaiku detail-detail remeh dalam hidupku.

Film yang kusuka dan tidak kusuka, beberapa tempat yang pernah kukunjungi, dan tempat-tempat yang ingin kukunjungi, dan mengenai buku-buku—untuk yang satu ini tak ada habisnya.

Aku tidak bisa mengingat terakhir kali aku bicara sebanyak itu. Sering kali aku tersadar, pasti aku telah membuatnya bosan.

Tapi ia kelihatannya menyerap semua informasi yang kusampaikan, dan rentetan pertanyaannya yang bertubi-tubi memaksaku meneruskannya. Kebanyakan pertanyaannya mudah, hanya sedikit sekali yang membuat wajahku merona malu.

Tapi ketika wajahku akhirnya toh merah padam, ia malah mulai melontarkan rentetan pertanyaan baru lagi.

Seperti ketika ia menanyakan batu kesukaanku, dan aku langsung menjawab topaz tanpa berpikir. Ia menderaku dengan pertanyaan-pertanyaan itu begitu cepat sehingga aku merasa sedang menjalani psikotes saat km langsung menyebutkan kata pertama yang terlintas dalam benakmu.

Aku yakin ia pasti akan melanjutkan daftar pertanyaan dalam benaknya, kalau saja wajahku tidak merah padam. Wajahku memerah karena, selama ini batu kesukaanku adalah garnet. Ketika memandang matanya yang berwarna topaz, mustahil aku tidak ingat alasannya mengapa aku kini menyukai topaz.

Dan, tentu saja, ia takkan menyerah hingga aku mengakui mengapa aku jadi malu.

"Katakan," akhirnya ia memerintahkan setelah bujukannya tak berhasil—gagal hanya karena aku berhasil mengelak menatap wajahnya.

"Itu warna matamu hari ini," desahku, pasrah, memandangi tanganku yang bermain-main dengan rambutku.

"Kurasa kalau kau menanyakannya dua minggu lalu, aku akan bilang onyx.” Aku mengatakan terlalu banyak dari yang seharusnya, dan aku khawatir ini akan menimbulkan kemarahan aneh yang muncul setiap kali aku salah bicara dan mengungkapkan obsesiku terlalu jelas.

Tapi ia terdiam hanya sedetik.

"Kau suka bunga apa?" desaknya lagi. Aku menghela napas lega, dan terus menjawab pertanyaannya.

Kelas Biologi menjadi masalah lagi. Edward terus melontarkan pertanyaan sampai Mr. Banner memasuki kelas, sambil menarik kereta audiovisual lagi. Ketika guru itu mendekati panel lampu, aku melihat Edward menggeser kursinya agak sedikit jauh.

Tapi itu tidak membantu. Begitu ruangan gelap, percikan listrik itu muncul lagi, hasrat yang sama untuk mengulurkan tangan dan menyentuh kulitnya yang dingin seperti kemarin telah kembali.

Penutup Novel Twilight – Kesulitan Bab 56

Gimana Novel twilight – Port Kesulitan Bab 56 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik tombol navigasi bab di bawah ini.

Selanjutnya
Sebelumnya

0 comments: