Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 56 yang dipersembahkan oleh
Admin white novel. Semoga bisa memberi hiburan, insipirasi dan
solusi bagi setiap masalah yang kamu hadapi.
Baca Novel Twilight – Kesulitan Bab 56
Aku berkelit. "Kali ini anak ceweklah yang
mengajak."
“Oh." Ia mengeringkan piring dengan wajah cemberut.
Aku merasa kasihan padanya. Pasti sulit menjadi ayah;
hidup dalam kekhawatiran bahwa anak gadisnya akan bertemu cowok yang
disukainya, tapi juga mengkhawatirkan sebaliknya. Betapa ngeri, pikirku
bergidik, seandainya Charlie bahkan sedikit saja mencurigai siapa yang
sebenarnya yang kusukai.
Kemudian Charlie pergi sambil melambai, dan aku naik,
menyikat gigi, dan mengumpulkan buku-bukuku. Ketika mendengar mobil patroli
Charlie menjauh, aku hanya bisa bertahan sebentar sekali sebelum mengintip ke
luar jendela.
Mobil silver itu sudah ada di sana, menunggu di
tempat Charlie biasa parkir. Aku setengah berlari menuruni tangga, keluar
rumah, membayangkan berapa lama rutinitas aneh ini akan berlanjut. Aku tak
pernah menginginkannya berakhir.
Ia menunggu di mobil, sepertinya tidak memerhatikan waktu
aku menutup pintu tanpa repot-repot mengunci. Aku berjalan menuju mobil,
berhenti malu-malu sebelum membuka pintu dan masuk ke dalam. Ia tersenyum,
tenang—dan seperti biasa, begitu sempurna dan tampan hingga membuatku tersiksa.
"Selamat pagi." Suaranya lembut.
"Bagaimana kabarmu hari ini?" Matanya
menjelajahi wajahku, seolah pertanyaannya lebih daripada sekadar basa-basi.
"Baik, terima kasih." Aku selalu baik—lebih
dari baik— setiap kali berada di dekatnya.
Pandangannya melekat pada lingkaran di bawah mataku.
"Kau tampak lelah."
"Aku tak bisa tidur," aku mengaku, tanpa
sadar menggerai rambutku agar sedikit menutupi wajah.
"Aku juga," godanya sambil menyalakan mesin
mobil Aku mulai terbiasa dengan suara deruman halus itu. Aku yakin deruman
trukku akan membuatku kaget, kalau aku sempat mengendarainya lagi.
Aku tertawa. "Kurasa itu benar. Kurasa aku tidur
agak lebih banyak darimu."
"Aku berani bertaruh untuk itu."
"Jadi, apa yang kaulakukan semalam?"
tanyaku.
Ia tergelak. "Tidak bisa. Hari ini giliranku
bertanya." "Oh, kau benar. Apa yang ingin kauketahui?" Dahiku
mengerut. Aku tak bisa membayangkan apa pun tentangku yang bisa membuatnya
tertarik.
"Apa warna kesukaanmu?" tanyanya, raut
wajahnya serius.
Aku menggerak-gerakkan mataku.
"Setiap hari berubahubah." "Kalau hari ini?" Ia masih
tenang.
"Barangkali cokelat." Aku biasa berpakaian
sesuai dengan suasana hatiku.
Ia mendengus, ekspresi seriusnya berubah.
"Cokelat?" tanyanya ragu-ragu.
"Tentu. Warna cokelat itu hangat. Aku rindu
cokelat. Semua yang seharusnya berwarna cokelat—batang pohon, bebatuan, debu—di
sini semua itu dilapisi warna hijau," keluhku.
Ia sepertinya terkesima mendengar celotehanku. Sesaat
ia berpikir, menatap mataku.
"Kau benar," katanya
serius. "Warna cokelat itu hangat." Tangannya menyentuh lembut, tapi
masih sedikit raguragu, merapikan rambutku ke balik bahu.
Kami sudah tiba di sekolah. Ia berbalik menghadapku
sambil memarkir mobil.
"Musik apa yang kaumainkan di CD player-mu saat
ini?" tanyanya, wajahnya muram, seolah sedang menginterogasi pembunuh.
Aku jadi sadar tak pernah memindahkan CD yang
diberikan Phil. Ketika kusebut nama bandnya, ia tersenyum mengejek, tatapan
aneh terpancar di matanya.
Ia membuka laci di bawah CD player mobilnya, mengeluarkan
satu dari tiga puluh atau lebih CD yang diselipkan dalam satu wadah sempit dan
menyerahkannya padaku.
"Debussy, lalu ini?" Satu alisnya
terangkat.
Itu CD yang sama. Aku mengamati sampulnya yang tak
asing lagi, sambil terus menunduk.
Sepanjang hari itu berlanjut seperti itu. Sambil
mengantarku ke kelas bahasa Inggris, ketika menemuiku seusai kelas bahasa
Spanyol, sepanjang waktu makan siang, ia terus-menerus menanyaiku detail-detail
remeh dalam hidupku.
Film yang kusuka dan tidak kusuka, beberapa tempat
yang pernah kukunjungi, dan tempat-tempat yang ingin kukunjungi, dan mengenai
buku-buku—untuk yang satu ini tak ada habisnya.
Aku tidak bisa mengingat terakhir kali aku bicara
sebanyak itu. Sering kali aku tersadar, pasti aku telah membuatnya bosan.
Tapi ia kelihatannya menyerap semua informasi yang
kusampaikan, dan rentetan pertanyaannya yang bertubi-tubi memaksaku
meneruskannya. Kebanyakan pertanyaannya mudah, hanya sedikit sekali yang
membuat wajahku merona malu.
Tapi ketika wajahku akhirnya toh merah padam, ia
malah mulai melontarkan rentetan pertanyaan baru lagi.
Seperti ketika ia menanyakan batu kesukaanku, dan aku
langsung menjawab topaz tanpa berpikir. Ia menderaku dengan
pertanyaan-pertanyaan itu begitu cepat sehingga aku merasa sedang menjalani
psikotes saat km langsung menyebutkan kata pertama yang terlintas dalam
benakmu.
Aku yakin ia pasti akan melanjutkan daftar pertanyaan
dalam benaknya, kalau saja wajahku tidak merah padam. Wajahku memerah karena,
selama ini batu kesukaanku adalah garnet. Ketika memandang matanya yang
berwarna topaz, mustahil aku tidak ingat alasannya mengapa aku kini menyukai
topaz.
Dan, tentu saja, ia takkan menyerah hingga aku
mengakui mengapa aku jadi malu.
"Katakan," akhirnya ia memerintahkan
setelah bujukannya tak berhasil—gagal hanya karena aku berhasil mengelak
menatap wajahnya.
"Itu warna matamu hari ini," desahku,
pasrah, memandangi tanganku yang bermain-main dengan rambutku.
"Kurasa kalau kau menanyakannya dua minggu lalu,
aku akan bilang onyx.” Aku mengatakan terlalu banyak dari yang seharusnya, dan
aku khawatir ini akan menimbulkan kemarahan aneh yang muncul setiap kali aku
salah bicara dan mengungkapkan obsesiku terlalu jelas.
Tapi ia terdiam hanya sedetik.
"Kau suka bunga apa?" desaknya lagi. Aku
menghela napas lega, dan terus menjawab pertanyaannya.
Kelas Biologi menjadi masalah lagi. Edward terus
melontarkan pertanyaan sampai Mr. Banner memasuki kelas, sambil menarik kereta
audiovisual lagi. Ketika guru itu mendekati panel lampu, aku melihat Edward
menggeser kursinya agak sedikit jauh.
Tapi itu tidak membantu. Begitu ruangan gelap, percikan listrik itu muncul lagi, hasrat yang sama untuk mengulurkan tangan dan menyentuh kulitnya yang dingin seperti kemarin telah kembali.
Penutup Novel Twilight – Kesulitan
Bab 56
Gimana Novel twilight – Port Kesulitan Bab 56 ? keren kan ceritanya.
Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan khawatir
kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik tombol navigasi bab di bawah ini.
0 comments: