Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 55 yang dipersembahkan oleh
Admin white novel. Semoga bisa memberi hiburan, insipirasi dan
solusi bagi setiap masalah yang kamu hadapi.
Baca Novel Twilight – Kesulitan Bab 55
Kami berjalan tanpa bicara—aku
diam karena malu dan geram—menuju mobilnya. Tapi belum sampai di tempat Edward
memarkir Volvo-nya, langkahku terhenti— kerumunan orang, semua cowok, tampak
mengerumuninya.
Lalu aku tersadar mereka tidak
sedang mengerumuni Volvo, melainkan mobil convertible
merah Rosalie, mereka tampak sangat tertarik. Tak satu pun dari mereka
bahkan mendongak ketika Edward menyelinap di antara mereka dan membuka pintu
mobilnya. Aku langsung masuk ke jok penumpang, juga luput dari perhatian.
"Kelewat mencolok," gumamnya.
"Mobil apa itu?" tanyaku.
"M3."
"Aku tidak paham jenis-jenis mobil."
"Itu keluaran BMW" Ia
memutar bola matanya, tanpa memandangku, mencoba memundurkan mobil tanpa
menabrak para penggila mobil yang sedang berkerumun itu.
Aku mengangguk—aku pernah mendengarnya.
"Kau masih marah?" tanyanya sambil
berhati-hati mengemudikan mobilnya meninggalkan sekolah.
"Jelas."
Ia menghela napas. "Maukah kau memaafkanku kalau
aku meminta maaf?'
"Mungkin... kalau kau bersungguh-sungguh. Dan
kalau kau berjanji tidak mengulanginya lagi," aku bersikeras.
Sorot matanya sekonyong-konyong berubah tajam.
"Bagaimana kalau aku bersungguh-sungguh, dan aku setuju membiarkanmu
mengemudi Sabtu nanti?" ujarnya.
Aku mempertimbangkannya, dan memutuskan barangkali
itu tawaran terbaik yang bisa kudapat. "Setuju," sahutku.
"Kalau begitu aku sangat menyesal telah membuatmu
marah." Ketulusan membara di matanya untuk waktu lama—membuat irama
jantungku berantakan—kemudian berubah jadi santai.
"Dan aku akan tiba di depan rumahmu pagi-pagi
sekali Sabtu nanti."
"Mmm, rasanya tidak akan terlalu membantu bila
Charlie melihat Volvo asing di halaman rumahnya." Senyumannya kini rendah
hati.
"Aku tidak berencana membawa mobil."
"Bagaimana—" menyelaku.
"Jangan khawatir soal itu. Aku akan datang,
tanpa mobil."
Aku tidak mendesaknya lagi. Aku punya pertanyaan yang
lebih penting.
“Apakah sudah tiba saatnya?" tanyaku.
Dahinya berkerut. "Kurasa sudah.”
Aku tetap menjaga kesopananku sambil menunggu. Ia
menghentikan mobilnya. Aku mendongak, terkejut— tentu saja kami sudah sampai di
rumah Charlie. Edward memarkir mobilnya di belakang trukku.
Bermobil dengannya akan lebih mudah bila aku hanya
membuka mata ketika kami sudah sampai. Ketika aku menatapnya lagi, ia sedang
menatapku, mengamatiku. "Dan kau masih ingin tahu kenapa kau tak bisa
melihatku berburu?" Ia tampak serius, tapi rasanya aku melihat kejailan di
matanya.
"Well"
ujarku, "aku terutama ingin tahu bagaimana reaksimu."
"Apa aku membuatmu takut?" Ya, sudah jelas
ia sedang melucu.
"Tidak," aku berbohong. Ia tidak percaya.
Aku minta maaf telah membuatmu takut," ia tetap bersikeras sambil
tersenyum simpul, tapi kemudian semua gurauan ini lenyap.
"Hanya saja membayangkan kau ada di sana...
sementara kami berburu." Rahangnya mengeras.
"Pasti buruk?" Ia berkata dengan rahang
rapat.
"Sangat."
"Karena..."
Ia menarik napas dalam-dalam dan memandang melewati kaca
depan, ke awan-awan yang menggayut tebal, yang seolah dapat diraih.
"Ketika kami berburu," katanya pelan,
dengan enggan, kami, membiarkan indra mengendalikan diri kami... tanpa banyak
menggunakan pikiran. Terutama indra penciuman kami. Kalau kau berada di dekatku
ketika aku kehilangan
kendali seperti itu...” Ia menggeleng, masih menatap
awanawan tebal itu dengan murung.
Aku tetap menjaga ekspresiku, menantikan kelebaran
matanya yang beberapa saat kemudian mengamati reaksiku atas ucapannya. Wajahku
tidak menunjukkan apa-apa. Namun pandangan kami bertemu, dan keheningan itu
semakin kental—dan berubah.
Getaran yang kurasakan siang tadi memenuhi atmosfer
saat ia menatap mataku tanpa berkedip. Ketika kepalaku mulai berputar, aku
sadar aku tak bernapas. Ketika akhirnya aku menghela napas gemetar, memecah
kekakuan di antara kami, ia memejamkan mata.
"Bella, kurasa kau harus masuk sekarang."
Suaranya rendah dan serak, matanya kembali menatap awan. Kubuka pintunya, dan
embusan angin sangat dingin yang menyerbu ke dalam mobil menjernihkan
pikiranku.
Khawatir kehilangan keseimbangan, dengan hati-hati
aku keluar dari mobil dan menutupnya tanpa menoleh. Suara jendela diturunkan
membuatku berbalik.
“Oh, Bella?" ia memanggilku, suaranya lebih tenang.
Ia menjulurkan tubuhnya di jendela yang terbuka, tersenyum tipis.
"Ya?"
“Besok giliranku."
“Giliran apa?" Senyumnya melebar, memamerkan
kilauan deretan giginya.
“Bertanya padamu."
Lalu ia menghilang, mobilnya melaju cepat sepanjang
jalan dan lenyap di belokan bahkan sebelum aku mengumpulkan kesadaranku. Aku
berjalan menuju rumah sambil tersenyum. Jelas ia berencana menemuiku besok,
kalau tak ada halangan.
Malam itu Edward muncul dalam mimpiku, seperti biasa.
Bagaimanapun tidurku berubah. Mimpi itu menimbulkan getaran yang sama seperti
yang muncul siangnya, dan aku berguling kian kemari, gelisah, hingga sering
kali terbangun.
Menjelang subuh akhirnya aku jatuh ke dalam tidur
yang melelahkan dan tanpa mimpi. Ketika terbangun aku masih merasa lelah, tapi
juga tegang. Aku mengenakan kaus turtleneck cokelat dan jinsku, sambil mendesah
membayangkan tank top dan celana pendek. Makan pagi berlangsung biasa, tenang
seperti yang kuharapkan.
Charlie menggoreng telur untuknya sendiri; aku makan
semangkuk sereal. Aku bertanya-tanya apakah ia lupa mengenai rencanaku Sabtu
ini. Ia menjawab pertanyaanku yang tak sempat terlontar ini ketika beranjak
membawa piringnya ke tempat cuci piring.
"Mengenai Sabtu ini...," katanya, berjalan
menyeberangi dapur, dan menyalakan keran.
Aku berkata takut-takut, "Ya, Dad?"
"Kau masih kepingin ke Seattle?" tanyanya.
"Begitulah rencanaku." Aku nyengir,
berharap ia tidak menyinggungnya sehingga aku tak perlu berbohong. Ia menuang
sabun cuci piring ke piringnya dan menggosok-gosoknya dengan sikat.
"Dan kau yakin takkan sempat ke pesta
dansa?"
“Aku tidak akan ke pesta dansa, Dad." Aku
menatapnya jengkel.
“Tak adakah yang mengajakmu?" tanyanya, berusaha menyembunyikan kepeduliannya dengan berkonsentrasi membilas piring.=
Penutup Novel Twilight –
Kesulitan Bab 55
Gimana Novel twilight – Port Kesulitan Bab 55 ? keren kan ceritanya.
Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan
khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik
tombol navigasi bab di bawah ini.
0 comments: