Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 54 yang dipersembahkan oleh
Admin white novel. Semoga bisa memberi hiburan, insipirasi dan
solusi bagi setiap masalah yang kamu hadapi.
Baca Novel Twilight – Kesulitan Bab 54
11. KESULITAN
SEMUA memerhatikan ketika kami berjalan bersamasama
menuju meja lab. Aku sadar ia tak lagi duduk jauhjauh seperti biasa. Sebagai
gantinya, ia duduk cukup dekat, lengan kami nyaris bersentuhan.
Mr. Banner sudah masuk kelas—betapa perencanaan
waktunya sangat tepat—sambil menarik kereta beroda dengan TV dan VCR yang
kelihatannya berat dan ketinggalan zaman. Hari menonton film—suasana senang di
kelas nyaris nyata.
Mr. Banner memasukkan tape ke VCR dan berjalan ke
dinding untuk mematikan lampu.
Kemudian, ketika ruangan sudah gelap,
sekonyongkonyong aku terkejut menyadari Edward duduk sangat dekat denganku. Aku
terkesiap oleh aliran listrik yang melanda sekujur tubuhku, kagum karena
kesadaranku akan keberadaannya melebihi yang sudah-sudah. Dorongan sinting
untuk meraih dan menyentuhnya, membelai wajahnya yang sempurna sekali saja
dalam gelap, nyaris membuatku sinting.
Aku menyilangkan lengan erat-erat di dada, jemariku
mengepal. Aku kehilangan akal sehat. Pembukaan film dimulai, cahayanya sekejap
menyinari ruangan. Otomatis aku melirik ke arahnya. Aku tersenyum malu-malu
menyadari postur tubuhnya sama seperti aku, tangannya mengepal di balik lengan,
matanya melirikku juga.
Aku langsung memalingkan wajah sebelum kehabisan
napas. Benar-benar konyol kalau aku sampai pening. Jam pelajaran sepertinya
sangat panjang. Aku tak bisa berkonsentrasi pada filmnya—aku bahkan tidak tahu
filmnya tentang apa.
Sia-sia aku berusaha tenang, aliran listrik yang
sepertinya mengalir dari salah satu bagian tubuhnya tak pernah berkurang.
Sesekali aku membiarkan diriku melirik ke arahnya, tapi kelihatannya ia juga
tak pernah bisa tenang. Hasrat kuat untuk menyentuhnya pun sama sekali tak
berkurang, dan kepalan tanganku semakin erat hingga jari-jariku sakit
karenanya. Aku mendesah lega ketika Mr.Banner menyalakan lampu kembali.
Kurenggangkan dekapan lenganku, melemaskan jemariku yang kaku. Edward tertawa
geli di sebelahku.
“Well, tadi
itu menarik," gumamnya. Suaranya misterius dan ratapannya hati-hati.
“Hmmm," hanya itu yang bisa kukatakan.
“Yuk?” ajaknya, sambil bangkit dengan lincah. Aku
nyaris mengerang. Waktunya kelas Olahraga. Aku berdiri hati-hati, khawatir
keseimbanganku terpengaruh oleh hasrat baru yang muncul di antara kami. Tanpa
bicara ia mengantarku ke kelas berikut, lalu berhenti di ambang pintu. Aku
berbalik untuk mengucapkan selamat tinggal.
Wajahnya membuatku bingung—ekspresinya sedih, nyaris
terluka, sekaligus begitu menawan hingga keinginan untuk menyentuhnya kembali
menyala-nyala, sama kuatnya seperti sebelumnya. Aku tak sanggup bicara.
Ia mengulurkan tangan, ragu-ragu, matanya sarat
pergumulan, dan dengan lembut ia membelai pipiku dengan ujung jemarinya.
Kulitnya dingin seperti biasa, namun jejak yang ditinggalkan jari-jarinya
terasa hangat di kulitku— seperti terbakar, tapi aku tidak merasa nyeri. Ia
berbalik tanpa berkata-kata dan langsung meninggalkanku.
Aku berjalan memasuki gimnasium, nyaris
melayanglayang dan sempoyongan. Aku menuju ruang ganti, mengganti pakaian dalam
keadaan melamun, hanya
samarsamar menyadari kehadiran orang-orang di
sekitarku. Barulah ketika seseorang menyerahkan raket padaku, aku sepenuhnya
sadar.
Raket itu tidak berat, namun tak terasa mantap di
tanganku. Kulihat beberapa anak mengamatiku diam-diam. Pelatih Clapp menyuruh
kami berpasangpasangan.
Untung sisa-sisa kesopanan Mike masih ada; dan ia
berdiri di sebelahku. "Mau berpasangan denganku?"
"Terima kasih, Mike—kau tahu, kau tak perlu
melakukannya,” aku meringis penuh penyesalan. “Jangan khawatir, aku tidak akan
mengganggumu." Ia tersenyum. Kadang-kadang rasanya mudah sekali untuk
menyukai Mike.
Keadaan tidak berjalan lancar. Entah bagaimana aku
memukul kepalaku sendiri dengan raket dan mengenai bahu Mike dengan ayunan yang
sama. Aku menghabiskan sisa pelajaran menyendiri di pojok belakang lapangan,
raketnya aman tersimpan.
Meski aku telah mencederainya, Mike bermain cukup
baik; ia memenangkan tiga dari empat babak seorang diri. Ia mengajakku ber-high
five yang seharusnya tak perlu ketika pelatih akhirnya meniup peluit tanda
kelas berakhir.
"Jadi," katanya sambil berjalan
meninggalkan lapangan.
"Jadi apa?"
"Kau jalan dengan Cullen, heh?" tanyanya,
nadanya menantang. Perasaan suka yang tadi kurasakan padanya lenyap.
"Itu bukan urusanmu, Mike," aku
mengingatkannya, diam-diam mengutuk Jessica ke pusat neraka paling panas.
"Aku tidak suka," ia tetap mengatakannya
juga.
"Memang tidak perlu," sergahku marah.
"Caranya memandangmu... seolah ingin
memakanmu." ia meneruskan, mengabaikan keberatanku.
Kutahan emosiku yang sewaktu-waktu bisa meledak, tapi
akhirnya aku toh tertawa kecil. Ia memandang marah padaku. Aku melambai dan
langsung menuju ruang loker. Aku berpakaian dengan cepat, sesuatu yang lebih
hebat mengaduk-aduk perutku, pertengkaranku dengan Mike sudah jauh dari
ingatanku.
Aku bertanya-tanya apakah Edward menungguku, atau
apakah aku seharusnya menemuinya di mobil. Bagaimana kalau saudarasaudaranya
ada di sana? Aku merasakan gelombang ketakutan yang mendalam. Tahukah mereka
bahwa aku tahu? Apakah seharusnya aku tahu mereka tahu bahwa aku tahu, atau
tidak?
Ketika beranjak meninggalkan gimnasium, aku baru saja
memutuskan akan langsung pulang tanpa melihat ke lapangan parkir. Tapi
kekhawatiranku tidak perlu.
Edward menantiku, bersandar santai di dinding
gimnasium. wajahnya yang luar biasa tampan kini tampak tenang. Ketika aku
berjalan ke sisinya, aku merasakan sensasi lega yang aneh.
“Hai, desahku, tersenyum lebar.
"Halo." Senyumannya memesona.
"Bagaimana kelas
Olahraga-mu?”
Wajahku berubah agak kecewa. "Baik-baik
saja." Aku berbohong.
"Benarkah?" tanyanya tidak percaya.
Pandangannya bergeser sedikit, melirik ke belakangku, matanya menyipit. Aku
menoleh dan melihat Mike berjalan memunggungi kami.
"Apa?" desakku.
Ia kembali menatapku, masih tegang. "Newton
membuatku kesal."
"Kau tidak sedang mendengarkan lagi, kan?"
aku terperanjat. Tiba-tiba selera humorku lenyap.
"Bagaimana kepalamu?" tanyanya polos.
"Kau ini bukan main!" Aku berbalik,
berjalan cepat ke lapangan parkir, meskipun tak bermaksud begitu.
Dengan mudah Edward menyusul.
"Kau sendiri yang bilang, aku tak pernah melihatmu di kelas Olahraga—aku jadi penasaran." Ia tidak terdengar menyesal, jadi aku mengabaikannya.
Penutup Novel Twilight –
Kesulitan Bab 54
Gimana Novel twilight – Port Kesulitan Bab 54 ? keren kan ceritanya.
Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan
khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik
tombol navigasi bab di bawah ini.
0 comments: