Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 52 yang dipersembahkan oleh
Admin white novel. Semoga bisa memberi hiburan, insipirasi dan
solusi bagi setiap masalah yang kamu hadapi.
Baca Novel Twilight – Integritas Bab 52
"Ya, kau akan menjawab, atau ya, kau benar-benar
berpendapat begitu?" Lagi-lagi ia jengkel.
"Ya, aku benar-benar berpendapat begitu." Aku
tetap menunduk memandang meja, mataku menelusuri kayunya. Keheningan terus
berlanjut.
Dengan keras kepala aku menolak menjadi yang pertama
memecah keheningan. Aku berusaha keras melawan godaan untuk melihat ekspresinya.
Akhirnya ia bicara, suaranya sangat lembut.
"Kau salah." Aku menatapnya dan mendapati
sorot matanya yang lembut.
"Kau tak bisa mengetahuinya," bantahku
sambil berbisik.
Aku menggeleng ragu, meskipun jantungku berdebar
mendengar ucapannya, dan aku ingin sekali memercayainya.
"Apa yang membuatmu berpikir begitu?" Mata
topaz-nya sangat menusuk—menurutku sia-sia saja berusaha mencari kebenaran dari
dalam benakku.
Aku balas menatapnya, berusaha berpikir jernih, tak
peduli seperti apa pun raut wajahnya, dan mencari cara untuk menjelaskan.
Ketika aku sedang memilih katakataku, kulihat ia mulai tidak sabar. Gelisah
karena sikap diamku, ia mulai kesal. Kuangkat tanganku dari leher, dan
mengacungkan satu jari.
“Biarkan aku berpikir," aku berkeras. Keregangan
di wajahnya mencair, karena kini ia puas bahwa aku berniat menjawab
pertanyaannya.
Kujatuhkan tanganku ke meja, lalu menutupkan
keduanya. Aku memandangi tanganku, mengaitkan jemari lalu menguraikannya,
ketika akhirnya aku bicara.
"Well,
terlepas dari kenyataannya, kadang-kadang..." Aku berhenti.
"Aku tidak yakin—aku tidak tahu caranya membaca
pikiran—tapi terkadang rasanya seolah kau berusaha mengucapkan selamat tinggal
ketika kau mengatakan sesuatu yang lain." Itu kesimpulan terbaik dari
sensasi sedih yang sering ditimbulkan perkataannya.
"Peka," bisiknya. Lagi-lagi aku menangkap
kepedihan dalam kata-katanya, membenarkan ketakutanku. "Tapi justru itulah
kenapa kau salah," ia mulai menjelaskan, tapi kemudian matanya menyipit.
"Apa maksudmu
'kenyataannya'?"
"Well,
lihat aku," kataku, yang benar-benar tidak penting karena Edward sudah
menatapku. "Aku sungguh-sungguh manusia biasa—Well, kecuali untuk hal-hal buruk seperti pengalaman yang sangat
dekat dengan kematian itu, dan aku begitu canggung sehingga bisa dibilang
nyaris lumpuh. Sedangkan kau?" Kulambaikan tanganku padanya dan semua
kesempurnaannya yang membingungkan.
Alisnya mengerut marah sesaat, lalu santai lagi
ketika ia akhirnya mengerti. "Kau sendiri tidak melihat dirimu dengan
jelas. Kuakui kau benar tentang hal-hal buruk itu," ia tergelak ironis,
"tapi kau tidak mendengar apa yang dipikirkan
setiap laki-laki di sekolah ini tentangmu pada hari pertamamu di sini.”
Mataku mengerjap, terperanjat. "Aku tak
percaya...," aku menggumam pada diriku sendiri.
"Percayalah sekali ini saja—kau bukan manusia
biasa." Rasa maluku lebih kuat daripada perasaan senang melihat sorot di
matanya saat ia mengatakannya. Aku langsung mengingatkannya tentang
argumentasiku sebelumnya.
"Tapi aku tidak mengucapkan selamat
tinggal," tukasku.
"Tidakkah kau mengerti? Itu yang membuktikan
bahwa aku benar. Akulah yang paling peduli, karena seandainya aku bisa
melakukannya”—ia menggeleng, mencoba melawan pendapat itu—"seandainya
meninggalkanmu adalah sesuatu yang harus kulakukan, akan kusakiti diriku
sendiri demi menjagamu agar tidak terluka, supaya kau tetap aman."
Aku menatapnya marah. "Dan pikirmu aku takkan
melakukan hal yang sama?"
"Kau takkan pernah perlu membuat keputusan
itu." Tiba-tiba suasana hatinya yang tak bisa ditebak berubah lagi; senyum
jail dan memesona itu muncul di wajahnya.
"Tentu saja menjagamu tetap aman mulai terasa
seperti pekerjaan purnawaktu yang senantiasa memerlukan kehadiranku."
"Tak seorang pun mencoba membunuhku hari
ini," aku mengingatkannya, bersyukur topiknya sudah lebih ringan. Aku tak
ingin ia membicarakan perpisahan lagi.
Kalau perlu, kurasa aku bisa dengan sengaja
membahayakan diriku sendiri agar ia tetap di dekatku... Kusingkirkan pikiran
itu sebelum ia bisa membacanya di wajahku. Ide itu jelas bakal mendatangkan
masalah buatku.
"Belum," ia menambahkan.
"Belum," aku setuju. Aku bisa saja
mendebatnya, tapi sekarang aku ingin ia menghadapi masalah besar.
"Aku punya pertanyaan lain untukmu." Raut
wajahnya masih kasual. “Tanyakan saja."
"Apakah kau benar-benar harus ke Seattle Sabtu
ini, ataukah itu hanya alasan untuk menolak semua penggemarmu?” Aku merengut
mengingat hal itu.
"Kau tahu, aku belum memaafkanmu untuk masalah
Tyler," aku mengingatkannya/ "Itu semua salahmu, sehingga dia mengira
aku akan pergi ke prom bersamanya."
"Oh, dia akan mengajakmu sendiri tanpa
bantuanku— aku hanya benar-benar ingin melihat reaksimu," ia tergelak. Aku
pasti akan lebih marah lagi kalau tawanya tidak semenawan itu.
"Kalau aku mengajakmu, apakah kau akan
menolak?" tanyanya, masih tertawa sendiri.
"Mungkin tidak," kataku jujur. "Tapi
aku kemudian akan membatalkannya—berpura-pura sakit atau mengalami cedera
pergelangan kaki."
Ia bingung. "Kenapa kau melakukan itu?" Aku
menggeleng sedih.
"Kau tak pernah melihatku di kelas Olahraga,
tapi kupikir kau bakal mengerti."
“Apakah kau sedang bicara tentang fakta bahwa kau tak
bisa berjalan di permukaan rata dan stabil tanpa tersandung?"
"Tentu saja."
"Itu bukan masalah." Ia terdengar sangat
yakin.
"Sudah sepantasnya." Tahu aku akan
memprotes, ia pun menyela.
"Tapi kau tak pernah bilang padaku—apakah kau
sudah mantap ingin ke Seattle, atau kau tidak keberatan kita melakukan sesuatu
yang berbeda?"
Selama kata "kita" dilibatkan, aku tak
peduli yang lainnya.
"Aku terbuka untuk tawaran lain," kataku.
"Tapi aku punya satu permintaan."
Ia tampak waswas, seperti biasa setiap kali aku
melontarkan pertanyaan terbuka. "Apa?"
"Boleh aku yang mengemudi?"
Ia merengut. "Kenapa?"
Penutup Novel Twilight –
Integritas Bab 52
Gimana Novel twilight – Port Integritas Bab 52 ? keren kan ceritanya.
Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan
khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik
tombol nvaigasi bab di bawah ini.
0 comments: