Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 51 yang dipersembahkan oleh
Admin white novel. Semoga bisa memberi hiburan, insipirasi dan
solusi bagi setiap masalah yang kamu hadapi.
Baca Novel Twilight – Integritas Bab 51
"Dia jauh lebih daripada sekadar sangat
tampan."
"Sungguh? Seperti apa?"
Aku berharap tidak pernah mengatakan apa-apa, sama
seperti aku berharap Edward hanya bercanda mengenai mendengarkan percakapan
kami.
“Aku tak bisa menjelaskannya dengan tepat... tapi dia jauh
lebih luar biasa di balik wajahnya." Vampir yang ingin menjadi baik—yang
berkeliaran menyelamatkan nyawa orang supaya dirinya tidak menjadi monster...
Aku menatap ke depan kelas.
"Apakah itu mungkin?" Jessica cekikikan.
Aku mengabaikannya, mencoba terlihat seperti memerhatikan Mr. Varner.
"Jadi, kau menyukainya?" Ia belum mau
menyerah.
"Ya," kataku kasar.
"Maksudku, kau benar-benar menyukainya?"
desaknya.
"Ya," kataku lagi, wajahku merona. Kuharap
detail itu tidak melekat dalam ingatannya. Sudah cukup dengan pertanyaan yang
hanya membutuhkan jawaban satu kata.
"Seberapa suka?"
"Terlalu suka," aku balas berbisik.
"Lebih daripada dia menyukaiku. Tapi aku tak
tahu bagaimana mengatasinya." Aku mendesah, wajahku terus merona.
Kemudian, untungnya, Mr. Varner menyuruh Jessica
menjawab pertanyaan.
Ia tak bisa memulai percakapan lagi selama di kelas, dan
begitu bel berbunyi, aku langsung menyelamatkan diri. "Di kelas Inggris,
Mike bertanya apakah kau mengatakan sesuatu tentang Senin malam," aku
memberitahunya.
"Kau bercanda! Apa katamu?!" ia menahan
napas, perhatiannya benar-benar teralih.
"Kubilang kau sangar menikmatinya—dia kelihatan
senang."
"Katakan apa persisnya yang dikatakannya, juga
jawabanmu!"
Kami menghabiskan perjalanan kami ke kelas
selanjutnya, dan juga hampir sepanjang pelajaran Spanyol, dengan menggambarkan
ekspresi Mike sampai sedetaildetailnya.
Aku tidak bakal repot-repot menggambarkannya selama
mungkin kalau tidak khawatir pembicaraan akan berbalik padaku.
Bel istirahat siang berbunyi. Ketika aku melompat
dari bangku, memasukkan buku-buku sembarangan ke tas, ekspresi wajahku yang
bersemangat pasti membuat Jess menyadari sesuatu.
"Hari ini kau tidak akan duduk bersama kami,
kan?" tebaknya.
"Kurasa tidak." Aku tak yakin Edward tidak
akan menghilang seperti yang pernah dilakukannya. Tapi di luar pintu kelas
bahasa Spanyol kami—tampak sangat mirip dewa Yunani—Edward sedang menungguku.
Jessica melihatnya, memutar bola mata, lalu pergi.
"Sampai nanti. Bella" Kata-katanya penuh
maksud tersembunyi. Kurasa aku harus mematikan teleponku nanti.
"Halo." Suara Edward memesona sekaligus
mengusik. Ia tadi mendengarkan. Sudah pasti.
"Hai."
Aku tak bisa memikirkan perkataan apa lagi, dan ia
tidak bicara—kurasa ia mengulur-ulur waktu—jadi perjalanan kami ke kafetaria
berlangsung hening. Berjalan di sisi Edward menuju kafetaria pada jam makan
siang yang padat seperti ini rasanya mirip hari pertamaku di sini; semua orang
memandangiku.
Ia membimbingku menuju antrean, masih diam, meski
beberapa detik sekali ia memandangku, ekspresinya berubah-ubah. Tampak olehku
rasa kesal lebih mendominasi wajahnya daripada perasaan senang. Aku memainkan
ritsleting jaketku karena gugup. Ia maju ke konter dan mengisi nampan dengan
makanan.
"Apa yang kaulakukan?" tanyaku. "Kau
tidak mengambil itu semua untukku, kan?"
Ia menggeleng, maju untuk membayar makanannya.
"Tentu saja separuhnya untukku." Alisku
terangkat. Ia membimbingku ke tempat yang kami duduki bersama terakhir kali.
Dari ujung meja sekelompok murid senior menatap kami,
terkagum-kagum, sementara kami duduk berhadapan. Edward seperti tidak
menyadarinya. "Ambil apa saja yang kau mau," katanya seraya mendorong
nampannya ke arahku.
"Aku penasaran," kataku sambil mengambil
apel dan menggenggamnya,
"apa yang kaulakukan bila ada yang menantangmu
makan?”
"Kau selalu penasaran." Ia meringis,
menggelenggelengkan kepala. Ia memandangku geram, dan sambil terus menatap
mataku ia mengambil pizza dari nampan, dan dengan sengaja menggigitnya
besar-besar, cepat-cepat mengunyah, lalu menelannya. Aku mengamatinya dengan
mata membelalak.
"Kalau seseorang menantangmu makan kotoran, kau
bisa melakukannya, ya kan?" tanyanya meremehkan. Aku mengerutkan hidung.
"Aku pernah melakukannya... ketika
ditantang," aku mengakuinya.
"Tidak terlalu buruk." Ia tertawa.
"Kurasa aku tidak terkejut." Sesuatu di
belakangku seperti menarik perhatiannya.
"Jessica sedang memerhatikan semua
tindak-tandukku— dia akan memaparkannya padamu nanti." Ia menyorongkan
sisa pizza padaku. Menyebutkan nama Jessica membuatnya bersikap menyebalkan
lagi. Aku meletakkan apel dan menggigit pizza. lalu memalingkan wajah ketika
tahu ia hendak bicara.
“Jadi pelayannya cantik, ya?" tanyanya santai.
“Kau benar-benar tidak memerhatikan?”
“Tidak. Aku memikirkan banyak hal."
"Cewek malang." Sekarang aku bisa
bersimpati dengan tulus.
"Sesuatu yang kaukatakan pada Jessica... Well, itu menggangguku." Ia menolak
dialihkan perhatiannya.
Suaranya parau, ia melirik dari balik bulu matanya,
gelisah.
"Aku tidak terkejut kau mendengar sesuatu yang
tidak kausukai. Itu risiko suka menguping pembicaraan orang," aku
mengingatkannya.
"Aku sudah mengingatkan bahwa aku akan
mendengarkan."
"Dan aku sudah mengingatkan tidak semua yang
kupikirkan baik untuk kauketahui."
"Memang," ia menyetujuinya, tapi suaranya
masih parau.
"Meski begitu, kau tidak sepenuhnya benar. Aku
ingin tahu apa yang kaupikirkan—semuanya. Aku hanya berharap... kau tidak
memikirkan beberapa hal."
Wajahku merengut. "Itu sama saja."
"Tapi bukan itu masalahnya sekarang."
"Lalu apa?" Sekarang kami saling
mencondongkan tubuh. Ia duduk dengan tangan menumpu dagu; sementara tubuhku
condong ke depan, tangan kananku memegangi leher. Aku harus mengingatkan diriku
bahwa kami berada di kafetaria penuh orang, dan barangkali ada banyak tatapan
penasaran tertuju pada kami. Begitu mudahnya larut dalam percakapan rahasia,
terutama bila menegangkan.
"Apakah kau benar-benar yakin kau lebih peduli
padaku daripada aku padamu?" gumamnya, semakin mendekat saat bicara,
matanya yang gelap keemasan menyorot tajam.
Aku berusaha mengingat bagaimana caranya bernapas.
Aku harus berpaling sebelum hal itu terjadi lagi. "Kau melakukannya
lagi," bisikku. Matanya membelalak terkejut. "Apa?"
“Membuatku terpesona," aku mengakuinya, mencoba
berkonsentrasi untuk menatapnya lagi.
"Oh." Dahinya berkerut.
"Bukan salahmu," aku mendesah. "Kau
tak bisa mencegahnya.”
"Apakah kau akan menjawab pertanyaanku?"
Aku menunduk. "Ya."
Penutup Novel Twilight –
Integritas Bab 51
Gimana Novel twilight – Port Integritas Bab 51 ? keren kan ceritanya.
Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan
khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik
tombol nvaigasi bab di bawah ini.
0 comments: