Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini Stepheni
Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita bangsa
manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis, permusuhan,
perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel
Twilight Bab 5 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga bisa memberi
hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu hadapi.
Baca Novel Twilight –Pandangan Pertama Bab 5
Nama-nama aneh yang tidak populer, pikirku. Namanama yang dimiliki generasi kakek-nenek. Tapi barangkali di sini nama-nama itu populer—khas nama-nama kota kecil? Aku akhirnya ingat cewek di sebelahku bernama Jessica, nama yang sangat umum. Di kelas Sejarah di sekolah tempat asalku, ada dua cewek bernama Jessica. "Mereka... sangat tampan dan cantik." Dengan susah payah aku menyatakan komentar yang mencolok itu. "Benar!" Jessica setuju seraya terkekeh lagi. "Dan mereka selalu bersama-sama—Emmett dan Rosalie, dan Jasper dan Alice, maksudku.
Dan mereka tinggal bersama-sama." Suaranya
mewakili keterkejutan dan ketidaksetujuan kota kecil ini, pikirku kritis. Tapi
kalau mencoba jujur, harus kuakui bahkan di Phoenix pun hal seperti itu akan
menimbulkan gunjingan.
"Yang mana
di antara mereka yang bermarga Cullen?" tanyaku. "Mereka tidak
kelihatan seperti satu keluarga..." "Oh, memang tidak. Dr. Cullen
masih sangat muda, kirakira dua puluhan atau awal tiga puluhan. Mereka semua
anak adopsi. Yang bermarga Hale adalah sepasang kembaran laki-laki dan
perempuan—yang pirang—mereka anak angkat."
"Mereka
kelihatannya agak terlalu tua untuk menjadi anak angkat."
"Sekarang
memang. Jasper dan Rosalie umurnya delapan belas, tapi mereka sudah hidup
bersama-sama Mrs. Cullen sejak masih delapan tahun. Mrs. Cullen bibi mereka
atau seperti itulah."
"Mereka baik
sekali—mau memelihara semua anak-anak itu, ketika mereka masih kecil dan
segalanya." "Kurasa begitu," ujar Jessica enggan, dan aku
mendapat kesan ia tidak menyukai sang dokter dan istrinya untuk alasan
tertentu. Dari caranya memandang anak-anak adopsi itu, aku menduga alasannya
adalah iri. "Kurasa Mrs. Cullen tidak bisa punya anak," Jessica
menambahkan, seolah-olah komentarnya mengurangi kebaikan hati mereka. Sepanjang
percakapan mataku mengerjap lagi dan lagi ke meja tempat keluarga aneh itu
duduk. Mereka terus memandang dinding dan tidak makan.
"Apa mereka
sejak dulu tinggal di Forks?" tanyaku Aku yakin pernah melihat mereka di
salah satu kunjungan musim panasku di sini.
"Tidak,"
kata Jessica, nadanya mengindikasikan bahwa itu seharusnya sudah jelas, bahkan
bagi pendatang baru seperti aku. "Mereka baru saja pindah ke sini dua
tahun yang lalu dari sekitar Alaska."
Aku merasakan
sebersit rasa iba, sekaligus lega. Iba karena betapapun cantik dan tampannya
mereka, mereka adalah pendatang jelas tidak diterima. Dan lega karena aku bukan
satu-satunya pendatang baru di sini, dan sudah pasti bukan yang paling menarik
bila dilihat dari standar apa pun.
Saat aku
mengamati mereka, yang paling muda, salah satu yang bermarga Cullen, mendongak
dan beradu pandang denganku, kali ini ekspresinya memancarkan rasa penasaran
yang nyata. Ketika aku pelan-pelan mengalihkan pandangan, tampak olehku bahwa
tatapannya mencerminkan semacam harapan yang tak terpuaskan. "Cowok
berambut cokelat kemerahan itu siapa?" tanyaku. Aku mengintip ke arahnya
lewat sudut mata, dan ia masih menatapku, tapi tidak melongo seperti muridmurid
lain seharian ini—ekspresinya sedikit gelisah. Aku kembali menunduk.
"Itu Edward.
Dia tampan tentu saja, tapi jangan buangbuang waktu. Dia tidak berkencan.
Kelihatannya tak satu pun cewek di sini cukup cantik baginya." Jessica
mendengus, sikapnya jelas pahit. Aku membayangkan kapan Edward menampiknya.
Aku menggigit
bibir untuk menyembunyikan senyumku.
Lalu aku kembali
memandang Edward. Ia sudah memalingkan wajah, tapi rasanya pipinya seperti
tertarik, seolah-olah ia juga tersenyum.
Beberapa menit
kemudian mereka berempat meninggalkan meja bersama-sama. Tak diragukan lagi
mereka sangat anggun—bahkan yang bertubuh besar dan berotot. Aku kecewa
menyaksikan kepergian mereka. Yang bernama Edward tidak menoleh ke arahku lagi.
Aku duduk di meja bersama Jessica dan teman-temannya lebih lama daripada kalau
aku duduk sendirian. Aku tak ingin terlambat tiba di kelas pada hari pertamaku
di sekolah. Salah satu kenalan baruku, yang dengan baik hati mau mengingatkan
lagi bahwa namanya Angela, juga mengambil kelas Biologi II bersamaku pada jam
berikutnya. Kami berjalan ke kelas bersama-sama tanpa bicara. Ia juga pemalu.
Ketika kami
memasuki kelas, Angela duduk di meja lab yang bagian atasnya berwarna hitam,
persis yang dulu sering kutempati. Ia sudah punya teman sebangku. Malah
sebenarnya semua meja telah terisi, kecuali satu yang masih kosong. Di sisi
gang tengah, aku mengenali Edward Cullen dari rambutnya yang tidak biasa, duduk
di sebelah kursi yang kosong.
Saat aku
menyusuri gang untuk memperkenalkan diri kepada guru dan memintanya
menandatangani kertasku, aku diam-diam memerhatikan Edward. Ketika aku
melewatinya, tiba-tiba duduknya jadi kaku. Ia menatapku lagi, mataku bertemu
pandang dengan sepasang mata dengan ekspresi paling aneh—tidak bersahabat,
gusar. Bergegas aku memalingkan wajah, terkejut, wajahku merah padam. Aku
tersandung buku dan nyaris terjerembab hingga tanganku meraih ujung meja. Cewek
yang duduk di situ terkekeh.
Saat itulah aku
memerhatikan bahwa matanya berwarna hitam—hitam legam.
Mr. Banner
menandatangani kertasku dan menyerahkan sebuah buku tanpa berbasa-basi tentang
perkenalan. Bisa kukatakan kami bakal cocok. Tentu saja dia tak punya pilihan
kecuali menyuruhku menempati kursi yang kosong di tengah kelas. Aku terus
menunduk ketika menempatkan diriku di sisinya, bingung oleh tatapan antagonis
yang dilemparkannya padaku.
Tanpa mengangkat
wajah, kuatur bukuku di meja lalu duduk, tapi dari sudut mata bisa kulihat
posturnya berubah. Ia menjauh dariku, duduk di ujung kursi, memalingkan wajah
seolah-olah mencium aroma yang tidak enak. Diamdiam
Penutup Novel Twilight –
Pandangan Pertama Bab 5
Gimana Novel
twilight – Pandangan Pertama Bab 5 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu
penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan khawatir kami telah
menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik tombol nvaigasi bab di bawah ini.
0 comments: