Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 49 yang dipersembahkan oleh
Admin white novel. Semoga bisa memberi hiburan, insipirasi dan
solusi bagi setiap masalah yang kamu hadapi.
Baca Novel Twilight – Integritas Bab 49
Aku mengerang seraya melepaskan jaketnya dan
menyerahkannya padanya, kemudian mengenakan jaketku sendiri, ia melipatnya,
lalu menyampirkannya di lengan.
"Jadi, kau akan bilang apa padanya?"
"Tolong bantu aku sedikit," aku memohon
padanya.
"Apa yang ingin diketahuinya?"
Ia menggeleng, tersenyum nakal. "Itu tidak
adil." "Tidak, kau tidak akan memberitahu apa yang kauketahui—itu
baru tidak adil."
Ia sengaja berdiam diri selama beberapa saat. Kami
berhenti di depan pintu kelas pertamaku.
"Dia ingin tahu apakah kita diam-diam berkencan.
Dan dia ingin tahu bagaimana perasaanmu terhadapku," akhirnya ia mengatakannya.
"Iihh. Apa yang harus kukatakan?" Aku mencoba
menjaga ekspresiku tetap polos.
Orang-orang melewati kami menuju kelas, barangkali menatap
kami, tapi aku nyaris tak menyadari keberadaan mereka.
"Hmmm.'" Ia berhenti untuk meraih rambutku yang
terlepas dari ikatan di leherku dan menyelipkannya ke tempatnya. Jantungku
memburu.
"Kurasa kau bisa mengatakan ya untuk pertanyaan
pertama... kalau kau tidak keberatan—itu lebih mudah daripada penjelasan
lainnya."
"Aku tak keberatan," kataku pelan.
"Dan untuk pertanyaan yang satu lagi... Well, aku akan mendengar jawabannya
langsung darimu." Salah satu ujung bibirnya membentuk senyuman yang sangat
kusuka.
Aku tak cukup cepat untuk menunjukkan reaksiku. Ia
sudah berbalik dan berlalu.
"Sampai ketemu saat makan siang," ujarnya
seraya menoleh ke belakang. Tiga orang yang berjalan ke pintu berhenti untuk
menatapku.
Aku bergegas memasuki kelas, wajahku merah padam dan
malu. Dasar curang. Sekarang aku bahkan lebih khawatir lagi tentang apa yang
akan kukatakan pada Jessica.
Aku duduk di bangkuku yang biasa, karena kesal
kubanting tasku.
"Selamat pagi, Bella," sapa Mike, yang
duduk di sebelahku. Aku mendongak dan melihat raut aneh dan pasrah di wajahnya.
"Bagaimana di Port Angeles?"
"Yah..." tak ada cara yang bagus untuk
menyimpulkannya.
"Hebat," jawabku sekenanya.
"Jessica membeli gaun yang sangat keren."
"Apa dia bilang sesuatu tentang Senin
malam?" tanyanya, matanya bersinar-sinar. Aku tersenyum mendengar
pertanyaan itu.
"Katanya dia benar-benar menikmatinya," aku
meyakinkannya.
“Benarkah?" tanyanya bersemangat.
"Sudah pasti."
Mr. Mason mengabsen kami, menyuruh kami mengumpulkan
tugas. Pelajaran bahasa Inggris dan Pemerintahan lewat begitu saja, sementara
aku waswas bagaimana menjelaskan semuanya kepada Jessica. dan apakah Edward
akan benar-benar mendengarkan apa yang kukatakan lewat pikiran Jess. Berapa
bakat kecilnya itu sangat membuat tidak nyaman—kalau sedang tidak digunakan
untuk menyelamatkan jiwaku.
Kabut nyaris lenyap pada akhir pelajaran kedua, tapi
hati masih gelap dan awan mendung masih menutupi langit.
Aku tersenyum menatap langit.
Tentu saja Edward benar. Ketika aku memasuki kelas
Trigono, Jessica sudah duduk di deret belakang nyaris melompat-lompat di
bangkunya, penasaran.
Dengan enggan aku duduk di sebelahnya, mencoba
meyakinkan diriku sendiri lebih baik menyelesaikannya secepat mungkin.
"Ceritakan semuanya!" perintahnya sebelum
aku duduk.
"Apa yang ingin kauketahui?" tanyaku
hati-hati.
"Apa yang terjadi semalam?"
"Dia mengajakku makan malam, lalu mengantarku
pulang."
Ia memandang marah padaku, wajahnya tegang, sinis.
"Bagaimana kau bisa pulang secepat itu?"
"Dia ngebut seperti orang sinting.
Mengerikan." Kuharap Edward mendengarnya.
“Apakah itu semacam kencan—apakah kau memberitahunya
untuk menemuimu di sana?" Tak terpikir olehku hal itu. "Tidak—aku
sangat terkejut melihatnya di sana."
Bibirnya mencibir, kecewa mendengar kejujuranku.
“Tapi hari ini dia menjemputmu ke sekolah?" ia menganalisis.
"Ya—itu juga kejutan. Dia memerhatikan aku tidak
membawa jaket semalam," aku menjelaskan.
"Jadi, kalian akan berkencan lagi?"
"Dia menawarkan mengantarku ke Seattle Sabtu
nanti, karena menurut dia, trukku tidak bakal sanggup—apakah itu masuk
hitungan?" "Ya." ia mengangguk.
"Well,
kalau begitu, ya."
"W-o-w." Ia melebih-lebihkan kata itu
menjadi tiga suku kata. "Edward Cullen."
"Aku tahu," aku setuju dengannya.
"Wow" bahkan tidak cukup mewakili.
"Tunggu!" Tangannya terangkat, telapak
tangannya menghadapku, seperti sedang menghentikan laju mobil.
"Apakah dia sudah menciummu?"
"Belum," gumamku. "Bukan begitu."
Ia kelihatan kecewa. Aku yakin diriku juga.
"Menurutmu hari Sabtu...?" Alisnya
terangkat.
"Aku sangat meragukannya." Kekecewaan
terasa nyata dalam suaraku.
"Apa yang kalian
obrolkan?" desaknya, berbisik meminta informasi lebih lanjut.
Kelas sudah dimulai, tapi Mr.
Varner tidak terlalu memerhatikan dan kami bukan satu-satunya yang masih
mengobrol.
"Entahlah, Jess, banyak," aku balas
berbisik.
"Kami membicarakan tentang tugas esai bahasa
Inggris, sedikit." Sangat, sangat sedikit. Kurasa dia menyinggungnya
sekilas.
"Ayolah, Bella," ia merajuk.
"Ceritakan detailnya."
"Well,
baiklah... akan kuceritakan satu. Mestinya kaulihat pelayan restoran
merayunya—terang-terangan sekali. Tapi dia tidak memerhatikan cewek itu sama
sekali" Biar saja Edward menebak-nebak apa maksud perkataanku itu.
"Itu pertanda baik.” Jessica mengangguk.
"Apakah
pelayan itu cantik?”
"Sangat—dan barangkali umurnya 19 arau 20."
"Lebih baik lagi. Dia pasti menyukaimu."
"Kurasa, tapi sulit mengetahuinya. Sikapnya
selalu misterius," kataku membelanya, seraya menghela napas.
"Aku tidak mengira kau berani sekali hanya
berduaan dengannya," desahnya.
"Kenapa?" aku terkejut, tapi ia tidak
memahami reaksiku.
"Dia begitu... mengintimidasi. Aku takkan tahu apa yang
harus kukatakan padanya." Wajahnya berubah, barangkali mengingat kejadian
pagi ini atau semalam, ketika Edward menebarkan pesona tatapannya pada Jess.
"Tapi aku memang punya beberapa masalah dengan logika
ketika bersamanya," aku mengakui.
"Oh Well. Dia
memang luar biasa tampan." Jessica mengangkat bahu seolah-olah apa yang
dikatakannya menghapus semua kekurangan Edward. Yang barangkali memang
begitulah menurut pandangannya.
Penutup Novel Twilight –
Integritas Bab 49
Gimana Novel twilight – Port Integritas Bab 49 ? keren kan ceritanya.
Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan
khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik
tombol nvaigasi bab di bawah ini.
0 comments: