Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 48 yang dipersembahkan oleh
Admin white novel. Semoga bisa memberi hiburan, insipirasi dan
solusi bagi setiap masalah yang kamu hadapi.
Baca Novel Twilight – Integritas Bab 48
10. INTEROGASI
KEESOKAN paginya, sulit berdebat dengan bagian diriku
yang yakin bahwa semalam adalah mimpi. Logika tak berpihak padaku, ataupun akal
sehat. Aku bergantung pada bagian yang tak mungkin cuma khayalanku—seperti
aroma tubuhnya. Aku yakin takkan pernah bisa memimpikannya dengan usahaku
sendiri.
Di luar jendela cuaca gelap dan berkabut, benar-benar sempurna. Ia tak punya alasan untuk tidak ke sekolah hari ini. Aku mengenakan pakaian yang cukup hangat, teringat aku tidak memiliki jaket. Bukti lagi bahwa ingatanku benar.
Ketika aku tiba di lantai dasar, Charlie sudah pergi lagi— aku terlambat lebih dari yang kukira. Aku menelan tiga gigitan granola, dan menyapunya dengan susu yang langsung kuminum dari karton, lalu bergegas meninggalkan rumah. Mudah-mudahan hujan tidak turun sampai aku bertemu Jessica.
Cuaca di luar berkabut lebih dari biasa, udara nyaris
tertutup kabut. Embun sedingin es menerpa kulit leher dan wajahku yang
telanjang. Tak sabar rasanya ingin menyalakan pemanas di dalam truk. Kabut
sangat tebal, sehingga aku baru bisa melihat ada mobil terparkir di sana,
ketika hanya tinggal beberapa jengkal dari jalan raya— mobil berwarna silver.
Jantungku berdetak cepat, berhenti, lalu berdebar lagi dua kali lebih cepat.
Aku tak melihat dari mana datangnya, tapi tiba-tiba
ia sudah di sana, membukakan pintu untukku. "Kau mau berangkat bersamaku
hari ini?" tanyanya, tersenyum melihat ekspresiku berkat kejutan yang
diberikannya lagi ini.
Ada keraguan dalam suaranya. Ia benar-benar memberiku
pilihan—aku bebas menolak, dan sebagian dirinya berharap begitu. Harapan yang
sia-sia.
"Ya, terima kasih," kataku, berusaha tetap
tenang. Ketika masuk ke mobilnya yang hangat, aku memerhatikan jaket krem
mudanya disampirkan di sandaran kursiku. Ia menutup pintu, dan lebih cepat dari
seharusnya, ia sudah duduk di sebelahku, menyalakan mobil. "Aku membawakan
jaket untukmu. Aku tak ingin kau sakit atau apa." Suaranya hati-hati.
Aku melihat ia sendiri tidak mengenakan jaket, hanya
kaus rajut lengan panjang berkerah V warna abu-abu muda. Lagi-lagi bahan itu
melekat sempurna di dadanya yang bidang. Seperti biasa, wajahnyalah yang
membuatku mengalihkan pandang dari tubuhnya.
"Aku tak selemah itu, kau tahu," kataku,
tapi kutarik jaketnya ke pangkuan, mendorong lenganku ke lengan jaket yang
kelewat panjang, penasaran ingin mengetahui apakah aromanya masih seperti yang
ada dalam ingatanku.
Ternyata lebih baik.
“Benarkah?" ia menyangsikannya, suaranya sangat
pelan hingga aku tak yakin ia ingin aku mendengarnya. Kami mengemudi melewati
jalanan berselimut kabut,
Selalu terlalu cepat, terasa canggung. Setidaknya aku
merasa begitu. Semalam semua penghalang itu lenyap... hampir semuanya. Aku tak
tahu apakah hari ini kami bisa seterbuka itu. Ini membuat lidahku kelu. Aku
menunggunya memulai.
Ia berbalik dan nyengir. "Apa? Tidak ada
rentetan pertanyaan hari ini?”
"Apakah pertanyaan-pertanyaanku
mengganggumu?" tanyaku, lega.
"Tidak seperti reaksimu." Ia kelihatan
bergurau, tapi aku tak yakin.
Aku cemberut. "Apakah reaksiku buruk?"
"Tidak, itu masalahnya. Kau menerimanya dengan tenang sekali—tidak wajar.
Itu membuatku bertanya-tanya, apa yang sebenarnya kaupikirkan." "Aku
selalu mengatakan apa yang sebenarnya kupikirkan."
"Kau mengeditnya," tuduhnya.
"Tidak terlalu banyak."
"Cukup untuk membuatku gila."
"Kau tidak ingin mendengarnya," gumamku
pelan, nyaris berbisik. Begitu kata-kataku terucap, aku langsung menyesalinya.
Kepedihan dalam suaraku nyaris samar, aku hanya berharap ia tidak memerhatikan.
Ia tidak bereaksi, dan aku bertanya-tanya apakah aku
telah merusak suasana hatinya. Ekspresinya tak dapat ditebak ketika kami
memasuki parkiran sekolah. Aku terlambat menyadari sesuatu.
“Di mana keluargamu yang lain?" aku
bertanya—lebih dari bahagia bisa berduaan dengannya, mengingat biasanya mobil
ini penuh dengan yang lain.
"Mereka naik mobil Rosalie." Ia mengangkat
bahu ketika memarkir mobilnya di sebelah mobil kap terbuka warna merah
mengilap. "Kelewat mencolok, kan?" "Mmm, wow." desahku.
"Kalau Rosalie memilikinya, kenapa dia pergi bersamamu?"
"Seperti kataku, kelewat mencolok. Kami berusaha
membaur."
"Kalian tidak berhasil." Aku tertawa dan menggelenggelengkan
kepala ketika kami keluar dari mobil. Aku tidak
terlambat; cara mengemudinya yang gila-gilaan membuatku punya banyak waktu
sebelum sekolah dimulai. "Jadi, kenapa Rosalie mengemudi sendiri kalau itu
kelewat menarik perharian?"
"Tidakkah kau tahu? Aku melanggar semua aturan
sekarang." Ia menghampiriku di depan mobil, berjalan sangat dekat di
sisiku menuju gedung sekolah.
Aku ingin mempersempit jarak itu, ingin menggapai dan
menyentuhnya, tapi khawatir ia tidak menyukainya. "Kenapa kalian mempunyai
mobil-mobil seperti itu?" aku bertanya terang-terangan. "Kalau kalian
memang menginginkan privasi?"
"Memanjakan diri," ia mengakuinya, dengan
senyum jail. "Kami semua suka ngebut." "Sudah kuduga,"
gumamku pelan.
Di bawah naungan atap kafetaria yang menjuntai,
Jessica menungguku, matanya nyaris keluar dari rongganya. Di atas lipatan
lengannya ada jaketku, syukurlah.
"Hei, Jessica," kataku ketika kami sudah
dekat. "Terima kasih sudah ingat membawanya." Ia menyerahkan jaketku
tanpa bicara.
"Selamat pagi, Jessica," sapa Edward sopan. Bukan
sepenuhnya salah Edward, bahwa suaranya begitu menggoda. Atau daya sihir
tatapannya. "Err... hai." Jessica melirik ke arahku dengan mata
melotot, berusaha mengumpulkan pikirannya yang tercecer. "Kalau begitu
sampai ketemu di kelas Trigono." Ia menatapku penuh makna, dan aku mencoba
tidak mengerang. Apa yang akan kukatakan padanya?
"Yeah, sampai ketemu nanti."
Ia berlalu, berhenti dua kali untuk menoleh ke arah
kami.
“Apa yang akan kaukatakan padanya?" gumam
Edward.
"Hei, kupikir kau tak bisa membaca
pikiranku!" tukasku. "Aku tak bisa," katanya, terkejut. Lalu ia
tampak mengerti. "Bagaimanapun, aku bisa membaca pikirannya— dia tak sabar
ingin menginterogasimu di kelas."
Penutup Novel Twilight –
Integritas Bab 48
Gimana Novel twilight – Port Integritas Bab 48 ? keren kan ceritanya.
Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan
khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik
tombol nvaigasi bab di bawah ini.
0 comments: