Wednesday, January 26, 2022

Bab 46 Novel Twilight – Teori - Baca Di Sini

Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.

Dalam novel ini Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis, permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.

Sebelum kamu membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.

Ok, Silahkan baca novel Twilight Bab 46 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu hadapi.

Baca Novel Twilight – Teori Bab 46

"Ceritakan lagi," pintaku putus asa, tak peduli apa yang

dipikirkannya, hanya supaya aku bisa mendengar suaranya lagi-

Ia menatapku, terkejut karena perubahan nada suaraku.

"Apa lagi yang ingin kauketahui?"

"Katakan kenapa kau memburu binatang dan bukan manusia," kataku, suaraku masih memancarkan keputusasaan. Aku menyadari mataku basah, dan aku bergulat melawan kesedihan yang mencoba menguasaiku.

Novel Twilight


"Aku tidak ingin menjadi monster." Suaranya sangat pelan.

"Tapi binatang tidak cukup bukan?" Ia berhenti.

"Aku tidak yakin tentu saja, tapi aku membandingkannya dengan hidup hanya dengan makan tahu dan susu kedelai; kami menyebut diri kami vegetarian, lelucon di antara kami sendiri. Tidak benar-benar memuaskan lapar kami—atau dahaga tepatnya. Tapi membuat kami cukup kuat untuk bertahan. Hampir sepanjang waktu." Suaranya berubah Licik.

"Kadangkadang lebih sulit dari yang lainnya."

"Apakah sekarang sangat sulit bagimu?" tanyaku.

Ia menghela napas. “Ya."

"Tapi kau tidak sedang lapar," kataku yakin— menyatakan, bukan bertanya.

“Kenapa kau berpikir begitu?"

"Matamu. Sudah kubilang aku punya teori. Aku memerhatikan bahwa orang-orang—khususnya cowok— lebih pemarah ketika mereka lapar."Ia tergelak.

"Kau ini memang pengamat, ya kan?” Aku tidak menjawab; hanya mendengarkan suara tawanya, berusaha mematrinya dalam ingatan.

"Apakah kau pergi berburu akhir pekan ini, dengan Emmett?" tanyaku memecah kesunyian.

"Ya." Ia berhenti sesaat, seolah-olah sedang memutuskan akan mengatakan sesuatu atau tidak. "Aku tidak ingin pergi, tapi ini penting. Lebih mudah berada di sekitarmu ketika aku tidak sedang haus." "Kenapa kau tidak ingin pergi?”

"Itu membuatku... khawatir... berada jauh darimu." Tatapannya lembut namun dalam, dan sepertinya membuatku lemah.

"Aku tidak bercanda ketika memintamu untuk tidak jatuh ke laut atau tidak tertabrak hari Kamis lalu. Sepanjang akhir pekan aku tak bisa berkonsentrasi karena mengkhawarirkanmu. Dan setelah apa yang terjadi malam ini, aku terkejut kau bisa melewati seluruh akhir pekan ini tanpa tergores." Ia menggeleng, lalu sepertinya ia ingat sesuatu.

"Well, tidak benar-benar tanpa tergores."

“Apa?"

"Tanganmu," ia mengingatkanku. Aku memandang telapak tanganku, ke guratan-guratan yang nyaris sembuh di pergelangan tanganku. Matanya tak pernah luput dari apa pun.

“Aku terjatuh," keluhku.

“Sudah kuduga." Bibirnya tersenyum.

"Kurasa, mengingat siapa dirimu, kejadiannya bisa lebih buruk lagi— dan kemungkinan ini menyiksaku selama kepergianku. Tiga hari yang amat panjang. Aku benar-benar membuat Emmett kesal." Ia tersenyum menyesal.

“Tiga hari? Bukankah kau baru kembali hari ini?"

“Tidak, kami kembali hari Minggu."

"Lalu kenapa tak satu pun dari kalian masuk sekolah?" Aku merasa kesal, nyaris marah memikirkan betapa kecewanya aku karena ia tidak muncul.

Well, kau bertanya apakah matahari menyakitiku, dan memang tidak. Tapi aku tak bisa keluar ketika matahari bersinar—setidaknya, tidak di tempat yang bisa dilihat orang."

"Kenapa?"

"Kapan-kapan akan kutunjukkan padamu," ia berjanji.

Aku memikirkannya beberapa saat.

"Kau kan bisa meneleponku," kataku.

Ia bingung. "Tapi aku tahu kau baik-baik saja."

"Tapi aku tidak tahu di mana kau berada. Aku—" aku ragu-ragu, mengalihkan pandanganku. "Apa?" suaranya yang lembut mendesakku.

"Aku tidak suka tidak bertemu denganmu. Itu juga membuatku waswas." Wajahku merona ketika mengatakannya terus terang.

Ia terdiam. Aku melirik, waswas, dan melihat ekspresi terluka di wajahnya. "Ah," erangnya pelan. "Ini salah." Aku tak bisa memahami reaksinya.

"Memangnya aku bilang apa?”

"Tidakkah kau mengerti, Bella? Tidak masalah bagiku membuat diriku sendiri merana, tapi kalau kau melibatkan dirimu terlalu jauh, itu masalah lain lagi." Ia memalingkan tatapannya yang terluka ke jalan, kata-katanya meluncur terlalu cepat untuk dimengerti.

"Aku tak mau mendengar kau merasa seperti itu lagi." Suaranya pelan namun tegas. Kata-katanya melukaiku.

"Ini salah. Ini tidak aman. Aku berbahaya. Bella—kumohon, mengertilah."

"Tidak." Aku berusaha sangat keras supaya tidak terdengar seperti anak kecil yang merajuk.

“Aku serius," geramnya.

"Begitu juga aku. Sudah kubilang, tidak penting kau itu apa. Sudah terlambat."

Suaranya menghardik, pelan dan parau. "Jangan pernah katakan itu."

Kugigit bibitku, lega ia tidak bisa mengetahui betapa itu menyakitiku. Aku memandang jalan. Pasti kami sudah dekat sekarang. Ia mengemudi terlalu cepat.

"Apa yang kaupikirkan?" tanyanya, suaranya masih muram. Aku hanya menggeleng, tak yakin apakah aku sanggup bicara. Kurasakan tatapannya di wajahku, tapi aku tetap memandang lurus ke muka.

"Kau menangis?" Ia terdengar terkejut. Aku tidak sadar air mataku telah menetes. Bergegas aku menyekanya , dalam hati sangat yakin tak bisa menahannya lagi.

"Tidak," kataku, tapi suaraku parau.

Aku melihatnya hendak mengulurkan tangan kanannya, ragu-ragu ingin meraihku, tapi kemudian mengurungkannya dan pelan-pelan meletakkannya lagi di roda kemudi.

"Maafkan aku." Suaranya sarat penyesalan. Aku tahu ia tidak sekadar meminta maaf atas kata-katanya yang telah membuatku sedih.

Kegelapan menyusup di antara keheningan.

"Katakan," ia bertanya setelah beberapa menit, dan aku bisa mendengarnya berusaha lebih ceria.

"Ya?"

"Apa yang kaupikirkan malam ini, sebelum aku muncul?

Aku tak bisa mengerti ekspresimu—kau tidak terlihat setakut itu, kau seperti sedang berkonsentrasi keras pada sesuatu."

"Aku sedang mencoba mengingat bagaimana cara menghadapi serangan—kau tahu kan, ilmu bela diri. Aku bermaksud menghancurkan hidungnya hingga melesak ke kepalanya." Aku membayangkan cowok berambut gelap itu dengan penuh kebencian.

"Kau akan melawan mereka?" Ini membuatnya kecewa.

"Tidakkah kau ingin melarikan diri?"

"Aku sering terjatuh kalau lari," aku mengakuinya.

"Bagaimana kalau berteriak meminta tolong?"

"Aku juga bermaksud melakukannya."

Penutup Novel Twilight – Teori Bab 46

Gimana Novel twilight – Teori Bab 46 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik tombol nvaigasi bab di bawah ini.

Selanjutnya
Sebelumnya

0 comments: