Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 46 yang dipersembahkan oleh
Admin white novel. Semoga bisa memberi hiburan, insipirasi dan
solusi bagi setiap masalah yang kamu hadapi.
Baca Novel Twilight – Teori Bab 46
"Ceritakan lagi," pintaku putus asa, tak
peduli apa yang
dipikirkannya, hanya supaya aku bisa mendengar suaranya
lagi-
Ia menatapku, terkejut karena perubahan nada suaraku.
"Apa lagi yang ingin kauketahui?"
"Katakan kenapa kau memburu binatang dan bukan
manusia," kataku, suaraku masih memancarkan keputusasaan. Aku menyadari
mataku basah, dan aku bergulat melawan kesedihan yang mencoba menguasaiku.
"Aku tidak ingin menjadi
monster." Suaranya sangat pelan.
"Tapi binatang tidak cukup bukan?" Ia
berhenti.
"Aku tidak yakin tentu saja, tapi aku
membandingkannya dengan hidup hanya dengan makan tahu dan susu kedelai; kami
menyebut diri kami vegetarian, lelucon di antara kami sendiri. Tidak
benar-benar memuaskan lapar kami—atau dahaga tepatnya. Tapi membuat kami cukup
kuat untuk bertahan. Hampir sepanjang waktu." Suaranya berubah Licik.
"Kadangkadang lebih sulit dari yang
lainnya."
"Apakah sekarang sangat sulit bagimu?"
tanyaku.
Ia menghela napas. “Ya."
"Tapi kau tidak sedang lapar," kataku
yakin— menyatakan, bukan bertanya.
“Kenapa kau berpikir begitu?"
"Matamu. Sudah kubilang aku punya teori. Aku
memerhatikan bahwa orang-orang—khususnya cowok— lebih pemarah ketika mereka
lapar."Ia tergelak.
"Kau ini memang pengamat, ya kan?” Aku tidak
menjawab; hanya mendengarkan suara tawanya, berusaha mematrinya dalam ingatan.
"Apakah kau pergi berburu akhir pekan ini,
dengan Emmett?" tanyaku memecah kesunyian.
"Ya." Ia berhenti sesaat, seolah-olah
sedang memutuskan akan mengatakan sesuatu atau tidak. "Aku tidak ingin
pergi, tapi ini penting. Lebih mudah berada di sekitarmu ketika aku tidak
sedang haus." "Kenapa kau tidak ingin pergi?”
"Itu membuatku... khawatir... berada jauh
darimu." Tatapannya lembut namun dalam, dan sepertinya membuatku lemah.
"Aku tidak bercanda ketika memintamu untuk tidak jatuh
ke laut atau tidak tertabrak hari Kamis lalu. Sepanjang akhir pekan aku tak bisa
berkonsentrasi karena mengkhawarirkanmu. Dan setelah apa yang terjadi malam
ini, aku terkejut kau bisa melewati seluruh akhir pekan ini tanpa
tergores." Ia menggeleng, lalu sepertinya ia ingat sesuatu.
"Well, tidak
benar-benar tanpa tergores."
“Apa?"
"Tanganmu," ia mengingatkanku. Aku memandang
telapak tanganku, ke guratan-guratan yang nyaris sembuh di pergelangan
tanganku. Matanya tak pernah luput dari apa pun.
“Aku terjatuh," keluhku.
“Sudah kuduga." Bibirnya tersenyum.
"Kurasa, mengingat siapa dirimu, kejadiannya
bisa lebih buruk lagi— dan kemungkinan ini menyiksaku selama kepergianku. Tiga
hari yang amat panjang. Aku benar-benar membuat Emmett kesal." Ia
tersenyum menyesal.
“Tiga hari? Bukankah kau baru kembali hari ini?"
“Tidak, kami kembali hari Minggu."
"Lalu kenapa tak satu pun dari kalian masuk
sekolah?" Aku merasa kesal, nyaris marah memikirkan betapa kecewanya aku
karena ia tidak muncul.
“Well, kau
bertanya apakah matahari menyakitiku, dan memang tidak. Tapi aku tak bisa
keluar ketika matahari bersinar—setidaknya, tidak di tempat yang bisa dilihat
orang."
"Kenapa?"
"Kapan-kapan akan kutunjukkan padamu," ia
berjanji.
Aku memikirkannya beberapa saat.
"Kau kan bisa meneleponku," kataku.
Ia bingung. "Tapi aku tahu kau baik-baik
saja."
"Tapi aku tidak tahu di mana kau berada.
Aku—" aku ragu-ragu, mengalihkan pandanganku. "Apa?" suaranya
yang lembut mendesakku.
"Aku tidak suka tidak bertemu denganmu. Itu juga
membuatku waswas." Wajahku merona ketika mengatakannya terus terang.
Ia terdiam. Aku melirik, waswas, dan melihat ekspresi
terluka di wajahnya. "Ah," erangnya pelan. "Ini salah." Aku
tak bisa memahami reaksinya.
"Memangnya aku bilang apa?”
"Tidakkah kau mengerti, Bella? Tidak masalah
bagiku membuat diriku sendiri merana, tapi kalau kau melibatkan dirimu terlalu
jauh, itu masalah lain lagi." Ia memalingkan tatapannya yang terluka ke
jalan, kata-katanya meluncur terlalu cepat untuk dimengerti.
"Aku tak mau mendengar kau merasa seperti itu
lagi." Suaranya pelan namun tegas. Kata-katanya melukaiku.
"Ini salah. Ini tidak aman. Aku berbahaya.
Bella—kumohon, mengertilah."
"Tidak." Aku berusaha sangat keras supaya
tidak terdengar seperti anak kecil yang merajuk.
“Aku serius," geramnya.
"Begitu juga aku. Sudah kubilang, tidak penting
kau itu apa. Sudah terlambat."
Suaranya menghardik, pelan dan parau. "Jangan
pernah katakan itu."
Kugigit bibitku, lega ia tidak bisa mengetahui betapa
itu menyakitiku. Aku memandang jalan. Pasti kami sudah dekat sekarang. Ia
mengemudi terlalu cepat.
"Apa yang kaupikirkan?" tanyanya, suaranya
masih muram. Aku hanya menggeleng, tak yakin apakah aku sanggup bicara.
Kurasakan tatapannya di wajahku, tapi aku tetap memandang lurus ke muka.
"Kau menangis?" Ia terdengar terkejut. Aku
tidak sadar air mataku telah menetes. Bergegas aku menyekanya , dalam hati
sangat yakin tak bisa menahannya lagi.
"Tidak," kataku, tapi suaraku parau.
Aku melihatnya hendak mengulurkan tangan kanannya,
ragu-ragu ingin meraihku, tapi kemudian mengurungkannya dan pelan-pelan
meletakkannya lagi di roda kemudi.
"Maafkan aku." Suaranya sarat penyesalan.
Aku tahu ia tidak sekadar meminta maaf atas kata-katanya yang telah membuatku
sedih.
Kegelapan menyusup di antara keheningan.
"Katakan," ia bertanya setelah beberapa
menit, dan aku bisa mendengarnya berusaha lebih ceria.
"Ya?"
"Apa yang kaupikirkan malam ini, sebelum aku
muncul?
Aku tak bisa mengerti ekspresimu—kau tidak terlihat
setakut itu, kau seperti sedang berkonsentrasi keras pada sesuatu."
"Aku sedang mencoba mengingat bagaimana cara
menghadapi serangan—kau tahu kan, ilmu bela diri. Aku bermaksud menghancurkan
hidungnya hingga melesak ke kepalanya." Aku membayangkan cowok berambut
gelap itu dengan penuh kebencian.
"Kau akan melawan mereka?" Ini membuatnya
kecewa.
"Tidakkah kau ingin melarikan diri?"
"Aku sering terjatuh kalau lari," aku
mengakuinya.
"Bagaimana kalau berteriak meminta tolong?"
"Aku juga bermaksud melakukannya."
Penutup Novel Twilight – Teori Bab
46
Gimana Novel twilight – Teori Bab 46 ? keren kan ceritanya.
Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan
khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik
tombol nvaigasi bab di bawah ini.
0 comments: