Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 45 yang dipersembahkan oleh
Admin white novel. Semoga bisa memberi hiburan, insipirasi dan
solusi bagi setiap masalah yang kamu hadapi.
Baca Novel Twilight – Teori Bab 45
"Lanjutkan," katanya.
"Tentang vampir." Aku sadar suaraku
berbisik. Aku tak sanggup menatap wajahnya sekarang. Tapi aku melihat
genggamannya menguat, mencengkeram roda kemudi. "Dan kau langsung teringat
padaku?" Suaranya masih tenang.
“Tidak. Dia... menyebut keluargamu." Ia tak
mengatakan apa-apa, terus menatap jalan.
Sekonyongkonyong aku mengkhawatirkan keselamatan
Jacob.
“Dia hanya menganggap itu takhayul yang konyol,"
aku buru-buru berkata.
"Dia tidak bermaksud supaya aku berpikir yang
bukan-bukan." Sepertinya ucapanku itu tidak cukup; aku harus mengaku.
"Itu salahku, aku yang memaksanya bercerita padaku."
"Kenapa?"
“Lauren mengatakan sesuatu tentang kau—dia mencoba
memprovokasiku. Dan seorang cowok yang lebih tua dari suku itu bilang
keluargamu tidak datang ke reservasi, hanya saja sepertinya ada maksud lain di
balik perkataannya. Jadi aku memancing Jacob pergi berduaan denganku dan
memancingnya agar mau bercerita," aku mengakuinya. Ia tertawa, dan aku
terkejut dibuatnya.
Aku menatapnya. Ia tertawa, tapi sorot matanya
sengit, menatap lurus ke depan.
"Memancingnya bagaimana?" tanyanya.
"Aku mencoba merayunya—dan ternyata hasilnya
lebih
baik dari yang kuduga." Saat mengingatnya lagi,
suaraku memancarkan keraguan.
"Kalau saja aku melihatnya." Ia tergelak.
"Dan kau menuduhku membuat orang terpesona—Jacob Black yang malang."
Wajahku merah padam dan aku memandang ke luar jendela
menembus malam.
"Lalu apa yang kaulakukan?" ia bertanya
lagi setelah beberapa saat.
"Aku mencari keterangan di Internet."
"Dan apakah hasilnya membuatmu yakin?"
Suaranya nyaris terdengar tidak tertarik. Tapi tangannya semakin kuat mencengkeram
kemudi.
"Tidak. Tidak ada yang cocok. Kebanyakan konyol.
Kemudian..." aku berhenti.
"Apa?"
“Kuputuskan itu tidak penting," bisikku.
"Itu tidak penting?” nada suaranya membuatku
mendongak—akhirnya aku berhasil membuatnya menunjukkan perasaannya yang
sesungguhnya. Wajahnya memancarkan ketidakpercayaan, dengan sedikit amarah yang
membuatku waswas.
"Tidak," kataku lembut. "Tidak penting
bagiku apa pun kau ini.”
Nada mengejek terdengar dalam suaranya. "Kau
tidak peduli kalau aku monster? Kalau aku bukan manusiai"
"Tidak."
Ia terdiam, kembali memandang lurus ke depan.
Wajahnya pucat dan kaku.
"Kau marah," keluhku.
"Aku seharusnya tidak mengatakan apa-apa.”
"Tidak," katanya, tapi suaranya setegang
wajahnya.
"Lebih baik aku tahu apa yang kaupikirkan—bahkan
meskipun pikiranmu itu tidak waras."
"Jadi aku salah lagi?" tantangku.
"Bukan itu maksudku. 'Itu tidak penting!'"
ia mengutip kata-kataku, sambil mengatupkan rahangnya erat-erat.
"Aku benar?" tanyaku menahan napas.
"Apakah itu penting?” Aku menghela napas
panjang.
"Tidak juga." Aku diam sebentar.
"Tapi aku memang penasaran." Setidaknya aku
bisa mengendalikan suaraku. Tiba-tiba ia menyerah. "Apa yang membuatmu
penasaran?"
"Berapa umurmu?"
"Tujuh belas," ia langsung menjawab.
“Dan sudah berapa lama kau berumur tujuh belas?"
Bibirnya mengejang ketika memandang jalan. "Cukup lama," akhirnya ia
mengaku.
“Oke.” Aku tersenyum, senang karena setidaknya ia mau
jujur padaku.
Ia menunduk menatapku dengan sorot memerhatikan,
seperti yang dilakukannya sebelumnya, ketika ia khawatir aku syok. Aku
tersenyum lebar, menghiburnya, dan ia cemberut.
"Jangan tertawa—tapi bagaimana kau bisa keluar
di siang hari?"
Bagaimanapun juga ia tertawa. "Mitos."
"Terbakar matahari?"
"Mitos."
"Tidur di peti mati?"
"Mitos." Ia ragu sesaat, lalu nada suaranya
berubah aneh. "Aku tidak bisa tidur."
Butuh beberapa saat bagiku untuk memahami
jawabannya. "Sama sekali?"
"Tidak pernah," katanya, suaranya nyaris
tak terdengar.
Ia menengok ke arahku dengan ekspresi sedih. Mata
emasnya bertemu pandang denganku, dan aku tak mampu berkata-kata. Aku
menatapnya sampai ia berpaling.
"Kau belum melontarkan pertanyaan paling
penting." Suaranya tegang sekarang, dan ketika menatapku lagi, tatapannya
dingin.
Aku berkedip, masih terkesima. "Yang mana?"
"Kau tidak peduli dengan makananku?"
tanyanya sinis.
“Oh," gumamku, "itu."
"Ya, itu." Suaranya muram. "Tidakkah
kau ingin tahu apakah aku minum darah?"
Aku tersentak. "Well, Jacob mengatakan sesuatu tentang itu."
"Apa yang dikatakan Jacob?" tanyanya datar.
"Dia bilang kau tidak... memburu manusia.
Katanya keluargamu seharusnya tidak berbahaya karena kalian hanya memburu
binatang."
"Dia bilang kami tidak berbahaya?" Suaranya
terdengar sangat sinis.
"Tidak juga. Dia bilang kalian seharusnya tidak
berbahaya. Tapi suku Quileute masih tidak menginginkan kehadiran kalian di
tanah mereka, untuk berjaga-jaga." Ia menatap ke depan, tapi aku tak bisa
menduga apakah ia sedang melihat ke jalan atau tidak.
"Jadi apakah dia benar? Tentang tidak memburu
manusia?" Aku berusaha membuat suaraku sewajar mungkin.
"Suku Quileute punya ingatan yang panjang,"
bisiknya.
Aku menganggapnya sebagai pembenaran.
"Tapi jangan senang dulu," ia
mengingatkanku.
"Mereka benar untuk tetap menjaga jarak dengan
kami. Kami masih berbahaya." "Aku tidak mengerti."
"Kami berusaha," ia menjelaskan perlahan.
"Kami biasanya sangat andal dengan apa yang kami
lakukan. Tapi terkadang kami juga membuat kesalahan. Aku, contohnya, membiarkan
diriku berduaan denganmu."
"Kausebut ini kesalahan?" aku mendengar
nada sedih dalam suaraku, tapi tak tahu apakah ia mendengarnya juga.
"Kesalahan yang sangat berbahaya," gumamnya.
Kami sama-sama terdiam. Aku mengamati lampu sorot yang
meliuk mengikuti jalan. Sorot lampu itu bergerak terlalu cepat; hingga tidak
umpak nyata, seperti dalam video game. Aku sadar waktu berlalu begitu cepat,
seperti jalanan hitam di bawah kami.
dan aku teramat sangat takut takkan ada lagi kesempatan
untuk bisa bersamanya seperti inisecara terbuka, tanpa dinding di antara kami.
Kata-katanya mencerminkan nada final, dan aku tersentak dibuatnya. Aku tak
boleh menyia-nyiakan setiap detik berharga bersamanya.
Penutup Novel Twilight – Teori Bab
45
Gimana Novel twilight – Teori Bab 45 ? keren kan ceritanya.
Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan
khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik
tombol nvaigasi bab di bawah ini.
0 comments: