Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 44 yang dipersembahkan oleh
Admin white novel. Semoga bisa memberi hiburan, insipirasi dan
solusi bagi setiap masalah yang kamu hadapi.
Baca Novel Twilight – Teori Bab 44
9. TEORI
"BOLEH aku bertanya satu hal lagi?" aku
memohon ketika Edward memacu mobilnya cepat sekali di jalan yang sepi.
Sepertinya ia tidak memerhatikan jalan. Ia menghela napas.
"Satu saja," katanya menyetujui. Bibirnya
mengatup membentuk ekspresi hati-hati.
"Well...
katamu kau tahu aku tidak masuk ke toko buku itu, dan aku pergi ke selatan. Aku
hanya bertanya-tanya bagaimana kau mengetahuinya." Ia berpaling, sengaja.
“Kupikir kita telah melewati tahap pura-pura
itu," gerutuku. Ia nyaris tersenyum.
“Baiklah kalau begitu. Aku mengikuti aroma
tubuhmu." Ia memandang jalan, memberiku waktu untuk mengatur ekspresi.
Aku tak bisa memikirkan reaksi yang tepat untuk
menanggalnya, tapi akan kusimpan jauh-jauh untuk dipikirkan nanti. Aku mencoba
berkonsentrasi lagi. Aku belum siap membiarkannya selesai, mengingat sekarang
ia mau menjelaskan semuanya.
"Lalu kau tidak menjawab satu pertanyaanku
tadi...,” aku tidak menyelesaikan kalimatku.
Ia memandang tidak setuju padaku. "Yang
mana?" "Bagaimana caranya—membaca pikiran? Bisakah kau membaca
pikiran siapa saja, di mana saja? Bagaimana kau melakukannya? Apakah keluargamu
yang lain bisa...?" Aku merasa konyol, meminta penjelasan atas sesuatu
yang tidak nyata.
"Itu lebih dari satu pertanyaan," protesnya. Aku
hanya menjalin jari-jariku dan menatapnya, menanti jawaban. "Tidak, hanya
aku yang bisa. Dan aku tak bisa mendengar siapa saja, di mana saja. Aku harus
cukup dekat dengan orang itu. Semakin aku mengenal "suara" seseorang,
meski jauh pun aku bisa mendengar mereka. Tapi tetap saja, tak lebih dari
beberapa mil." Ia berhenti dengan penuh pertimbangan. "Kurang-lebih
seperti berada di ruangan besar penuh orang, semua bicara serentak. Hanya suara
senandung—suara-suara dengungan di latar belakang.
Setelah aku terfokus pada satu suara, barulah apa yang
mereka pikirkan menjadi jelas.
"Kebanyakan aku mendengarkan semuanya—dan itu
bisa sangat mengganggu. Kemudian lebih mudah untuk terlihat
normal"—dahinya berkerut ketika mengatakannya— “ketika aku sedang tidak
sengaja menjawab pikiran seseorang dan bukannya apa yang dikatakannya."
"Kenapa pikirmu kau tak bisa mendengarku?"
tanyaku penasaran.
Ia menatapku, sorot matanya misterius.
"Aku tidak tahu," gumamnya.
"Satu-satunya dugaanku, adalah mungkin jalan
pikiranmu berbeda dengan yang lainnya. Dengan kata lain misalnya pikiranmu ada
di gelombang AM sementara aku hanya bisa menangkap gelombang FM."
tersenyum jail, tiba-tiba tertawa.
"Pikiranku tidak berjalan dengan benar?
Maksudmu, aku aneh?" Kata-katanya menggangguku lebih dari yang
seharusnya—barangkali karena memang benar.
Aku sendiri menduga diriku memang aneh, hingga
akhirnya merasa malu bila terbukti benar.
"Akulah yang mendengar suara-suara dalam
pikiranku dan justru kau yang khawatir dirimu aneh," ia tertawa.
"Jangan khawatir, itu cuma teori..."
Wajahnya menegang.
"Yang mengingatkan aku, sekarang
giliranmu." Aku menghela napas.
Bagaimana memulainya? "Bukankah kita sudah
melewati tahap mengelak sekarang ini?" dengan lembut ia mengingatkanku.
Untuk pertama kali aku memalingkan wajah darinya, mencoba berpikir. Kebetulan
aku memerhatikan spidometernya.
"Gila!" seruku. "Pelankan mobilnya!"
"Kenapa?" Ia bingung. Tapi kecepatan mobil
tidak berkurang.
"Kau melaju seratus mil per jam!" aku masih
berteriak.
Aku menatap panik ke luar jendela, tapi terlalu gelap
sehingga tak bisa melihat apa-apa. Jalanan hanya tampak sejauh jangkauan cahaya
kebiruan lampu mobil. Hamparan hutan di kedua sisi jalan bagai dinding
hitam—sekeras dinding baja bila kami melaju keluar jalan dengan kecepatan ini.
“Tenang, Bella." Ia memutar bola matanya, masih
tidak memperlambat kecepatannya.
“Apa kau mencoba membunuh kita berdua?" tanyaku.
"Kita tidak akan tabrakan."
Aku mencoba mengubah intonasiku. "Kenapa kau
terburu-buru seperti ini?"
"Aku selalu mengemudi seperti ini." Ia
berbalik, tersenyum lebar padaku.
"Jangan alihkan pandanganmu dari jalan!"
"Aku belum pernah mengalami kecelakaan, Bella—aku
bahkan belum pernah ditilang." Ia nyengir dan
menepuknepuk
dahinya. "Radar pendeteksi alami."
"Sangat lucu," tukasku marah.
"Charlie polisi, kau tidak lupa, kan? Aku
dibesarkan untuk mematuhi aturan lalu lintas. Lagi pula, kalau kau menabrak
pohon dan membuat kita berdua cedera, barangkali kau masih bisa selamat."
"Barangkali," ia menyetujui gurauanku,
kemudian tertawa sebentar.
"Tapi kau tidak." Ia menghela napas, dan
dengan lega aku memerhatikan jarum kecepatan perlahanlahan
menunjukkan angka delapan puluh. "Puas?"
"Hampir."
"Aku tidak suka mengemudi pelan-pelan,"
gumamnya.
"Kaubilang ini pelan?"
"Sudah cukup mengomentari cara
mengemudiku," tukasnya.
"Aku masih menantikan teori terakhirmu."
Aku menggigit bibir. Ia menunduk memandangku, matanya yang kuning keemasan tak
disangka-sangka melembut.
"Aku tidak bakal tertawa," janjinya.
"Aku lebih khawatir kau bakal marah
padaku."
"Seburuk itukah?"
"Kurang-lebih, ya."
Ia menunggu. Aku menunduk memandang tanganku, jadi
aku tak bisa melihat raut wajahnya. Katakan saja." Suaranya tenang.
"Aku tak tahu bagaimana memulainya,” akuku.
"Kenapa kau tidak mulai dari awal... katamu kesimpulanmu tidak muncul
begitu saja."
"Tidak."
"Apa yang memicunya—buku? Film?" ia mencoba
menebak.
"Tidak—semuanya berawal hari Sabtu, di
pantai." Aku memberanikan diri melirik wajahnya. Ia tampak bingung.
"Aku bertemu teman lama keluargaku—Jacob Black," aku melanjutkan.
"Ayahnya dan Charlie telah berteman
sejak aku masih bayi." Ia masih tampak bingung.
"Ayahnya salah satu tetua suku Quileute." Aku
mengamatinya dengan hati-hati.
Ekspresinya masih sama.
"Kami jalan-jalan—" aku mengubah ceritaku, tidak
seperti rencana semula "—dan dia menceritakan beberapa legenda tua—kurasa
dia mencoba menakut-nakutiku. Dia menceritakan salah satunya..." aku
berhenti, ragu-ragu.
Penutup Novel Twilight – Teori Bab
44
Gimana Novel twilight – Teori Bab 44 ? keren kan ceritanya.
Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan
khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik
tombol nvaigasi bab di bawah ini.
0 comments: