Wednesday, January 26, 2022

Bab 44 Novel Twilight – Teori - Baca Di Sini

Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.

Dalam novel ini Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis, permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.

Sebelum kamu membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.

Ok, Silahkan baca novel Twilight Bab 44 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu hadapi.

Baca Novel Twilight – Teori Bab 44

9. TEORI

"BOLEH aku bertanya satu hal lagi?" aku memohon ketika Edward memacu mobilnya cepat sekali di jalan yang sepi. Sepertinya ia tidak memerhatikan jalan. Ia menghela napas.

"Satu saja," katanya menyetujui. Bibirnya mengatup membentuk ekspresi hati-hati.

Novel Twilight


"Well... katamu kau tahu aku tidak masuk ke toko buku itu, dan aku pergi ke selatan. Aku hanya bertanya-tanya bagaimana kau mengetahuinya." Ia berpaling, sengaja.

“Kupikir kita telah melewati tahap pura-pura itu," gerutuku. Ia nyaris tersenyum.

“Baiklah kalau begitu. Aku mengikuti aroma tubuhmu." Ia memandang jalan, memberiku waktu untuk mengatur ekspresi.

Aku tak bisa memikirkan reaksi yang tepat untuk menanggalnya, tapi akan kusimpan jauh-jauh untuk dipikirkan nanti. Aku mencoba berkonsentrasi lagi. Aku belum siap membiarkannya selesai, mengingat sekarang ia mau menjelaskan semuanya.

"Lalu kau tidak menjawab satu pertanyaanku tadi...,” aku tidak menyelesaikan kalimatku.

Ia memandang tidak setuju padaku. "Yang mana?" "Bagaimana caranya—membaca pikiran? Bisakah kau membaca pikiran siapa saja, di mana saja? Bagaimana kau melakukannya? Apakah keluargamu yang lain bisa...?" Aku merasa konyol, meminta penjelasan atas sesuatu yang tidak nyata.

"Itu lebih dari satu pertanyaan," protesnya. Aku hanya menjalin jari-jariku dan menatapnya, menanti jawaban. "Tidak, hanya aku yang bisa. Dan aku tak bisa mendengar siapa saja, di mana saja. Aku harus cukup dekat dengan orang itu. Semakin aku mengenal "suara" seseorang, meski jauh pun aku bisa mendengar mereka. Tapi tetap saja, tak lebih dari beberapa mil." Ia berhenti dengan penuh pertimbangan. "Kurang-lebih seperti berada di ruangan besar penuh orang, semua bicara serentak. Hanya suara senandung—suara-suara dengungan di latar belakang.

Setelah aku terfokus pada satu suara, barulah apa yang mereka pikirkan menjadi jelas.

"Kebanyakan aku mendengarkan semuanya—dan itu bisa sangat mengganggu. Kemudian lebih mudah untuk terlihat normal"—dahinya berkerut ketika mengatakannya— “ketika aku sedang tidak sengaja menjawab pikiran seseorang dan bukannya apa yang dikatakannya."

"Kenapa pikirmu kau tak bisa mendengarku?" tanyaku penasaran.

Ia menatapku, sorot matanya misterius.

"Aku tidak tahu," gumamnya.

"Satu-satunya dugaanku, adalah mungkin jalan pikiranmu berbeda dengan yang lainnya. Dengan kata lain misalnya pikiranmu ada di gelombang AM sementara aku hanya bisa menangkap gelombang FM." tersenyum jail, tiba-tiba tertawa.

"Pikiranku tidak berjalan dengan benar? Maksudmu, aku aneh?" Kata-katanya menggangguku lebih dari yang seharusnya—barangkali karena memang benar.

Aku sendiri menduga diriku memang aneh, hingga akhirnya merasa malu bila terbukti benar.

"Akulah yang mendengar suara-suara dalam pikiranku dan justru kau yang khawatir dirimu aneh," ia tertawa.

"Jangan khawatir, itu cuma teori..." Wajahnya menegang.

"Yang mengingatkan aku, sekarang giliranmu." Aku menghela napas.

Bagaimana memulainya? "Bukankah kita sudah melewati tahap mengelak sekarang ini?" dengan lembut ia mengingatkanku. Untuk pertama kali aku memalingkan wajah darinya, mencoba berpikir. Kebetulan aku memerhatikan spidometernya.

"Gila!" seruku. "Pelankan mobilnya!"

"Kenapa?" Ia bingung. Tapi kecepatan mobil tidak berkurang.

"Kau melaju seratus mil per jam!" aku masih berteriak.

Aku menatap panik ke luar jendela, tapi terlalu gelap sehingga tak bisa melihat apa-apa. Jalanan hanya tampak sejauh jangkauan cahaya kebiruan lampu mobil. Hamparan hutan di kedua sisi jalan bagai dinding hitam—sekeras dinding baja bila kami melaju keluar jalan dengan kecepatan ini.

“Tenang, Bella." Ia memutar bola matanya, masih tidak memperlambat kecepatannya.

“Apa kau mencoba membunuh kita berdua?" tanyaku.

"Kita tidak akan tabrakan."

Aku mencoba mengubah intonasiku. "Kenapa kau terburu-buru seperti ini?"

"Aku selalu mengemudi seperti ini." Ia berbalik, tersenyum lebar padaku.

"Jangan alihkan pandanganmu dari jalan!" "Aku belum pernah mengalami kecelakaan, Bella—aku

bahkan belum pernah ditilang." Ia nyengir dan

menepuknepuk

dahinya. "Radar pendeteksi alami."

"Sangat lucu," tukasku marah.

"Charlie polisi, kau tidak lupa, kan? Aku dibesarkan untuk mematuhi aturan lalu lintas. Lagi pula, kalau kau menabrak pohon dan membuat kita berdua cedera, barangkali kau masih bisa selamat."

"Barangkali," ia menyetujui gurauanku, kemudian tertawa sebentar.

"Tapi kau tidak." Ia menghela napas, dan dengan lega aku memerhatikan jarum kecepatan perlahanlahan

menunjukkan angka delapan puluh. "Puas?"

"Hampir."

"Aku tidak suka mengemudi pelan-pelan," gumamnya.

"Kaubilang ini pelan?"

"Sudah cukup mengomentari cara mengemudiku," tukasnya.

"Aku masih menantikan teori terakhirmu." Aku menggigit bibir. Ia menunduk memandangku, matanya yang kuning keemasan tak disangka-sangka melembut.

"Aku tidak bakal tertawa," janjinya.

"Aku lebih khawatir kau bakal marah padaku."

"Seburuk itukah?"

"Kurang-lebih, ya."

Ia menunggu. Aku menunduk memandang tanganku, jadi aku tak bisa melihat raut wajahnya. Katakan saja." Suaranya tenang.

"Aku tak tahu bagaimana memulainya,” akuku. "Kenapa kau tidak mulai dari awal... katamu kesimpulanmu tidak muncul begitu saja."

"Tidak."

"Apa yang memicunya—buku? Film?" ia mencoba menebak.

"Tidak—semuanya berawal hari Sabtu, di pantai." Aku memberanikan diri melirik wajahnya. Ia tampak bingung. "Aku bertemu teman lama keluargaku—Jacob Black," aku melanjutkan.

"Ayahnya dan Charlie telah berteman

sejak aku masih bayi." Ia masih tampak bingung.

"Ayahnya salah satu tetua suku Quileute." Aku mengamatinya dengan hati-hati.

Ekspresinya masih sama.

"Kami jalan-jalan—" aku mengubah ceritaku, tidak seperti rencana semula "—dan dia menceritakan beberapa legenda tua—kurasa dia mencoba menakut-nakutiku. Dia menceritakan salah satunya..." aku berhenti, ragu-ragu.

Penutup Novel Twilight – Teori Bab 44

Gimana Novel twilight – Teori Bab 44 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik tombol nvaigasi bab di bawah ini.

Selanjutnya
Sebelumnya

0 comments: