Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 43 yang dipersembahkan oleh
Admin white novel. Semoga bisa memberi hiburan, insipirasi dan
solusi bagi setiap masalah yang kamu hadapi.
Baca Novel Twilight – Port Angeles Bab 43
"Ya," sahutku tenang.
"Tapi toh sekarang kau duduk di sini." Ada
secercah keraguan dalam suaranya, salah satu alisnya terangkat.
"Ya, di sinilah aku duduk... berkat
dirimu." Aku terdiam sebentar. "Karena entah bagaimana kau tahu
bagaimana menemukanku hari ini...?" semburku.
Ia mengatupkan bibirnya erat-erat, matanya yang
menyipit menatapku, kembali menimbang-nimbang. Ia memandangi piringku yang
masih penuh, lalu menatapku lagi.
“Kau makan, aku bicara," usulnya.
Aku cepat-cepat menyendok ravioli-ku lagi dan
mengunyahnya.
"Mengikuti jejakmu lebih sulit daripada
seharusnya. Biasanya, setelah pernah mendengar pikiran seseorang, aku bisa
dengan mudah menemukannya." Ia menatapku waswas, dan aku menyadari tubuhku
mematung. Kupaksa menelan makananku, lalu menusuk ravioli-nya lagi dan
menyuapnya.
"Secara tidak hati-hati aku mengikuti
Jessica—seperti kataku, hanya kau yang bisa mendapat masalah di Port Angeles –
dan awalnya aku tidak memerhatikan ketika kau pergi sendirian. Lalu, ketika aku
menyadari kau tidak bersamanya lagi, aku pergi mencarimu di toko buku yang
kulihat dalam pikirannya. Aku tahu kau tidak masuk ke sana, dan kau pergi ke
arah selatan... dan aku tahu kau toh harus kembali. Jadi, aku hanya menunggumu,
sambil secara acak membaca pikiran orang-orang di jalan—melihat apakah ada yang
memperhatikanmu sehingga aku tahu di mana kau berada. Aku tak punya alasan
untuk khawatir... tapi anehnya aku toh khawatir juga." Ia melamun,
tatapannya menembusku, melihat hal-hal yang tak bisa kubayangkan.
"Aku mulai bermobil berputar-putar, masih
sambil... mendengarkan. Matahari akhirnya terbenam, dan aku nyaris keluar dan
mengikutimu dengan berjalan kaki. Dan lalu—" la berhenti, menggertakkan
giginya akibat amarah yang sekonyong-konyong muncul. Ia mencoba menenangkan
dirinya sendiri.
“Lalu apa?" bisikku. Pandangannya tetap
menerawang. “Aku mendengar apa yang mereka pikirkan," geramnya, bibir
atasnya menyelip masuk di antara giginya. "Aku melihat wajahmu dalam
pikirannya." Tiba-tiba Edward mencondongkan tubuh, satu siku bertengger di
meja, tangan menutupi mata. Gerakan itu begitu cepat sehingga membuatku bingung.
"Sulit... sekali—kau tak bisa membayangkan
betapa sulitnya—hanya pergi menyelamatkanmu, dan membiarkan mereka... tetap
hidup." Suaranya tidak jelas, tertutup lengannya.
"Aku bisa saja membiarkanmu pergi dengan Jessica
dan Angela tapi aku takut kalau kau meninggalkanku sendirian, aku akan pergi
mencari mereka," ia mengakui dalam bisikan.
Aku duduk diam. kepalaku pening, pikiranku campur
aduk. Tanganku terlipat di pangkuan, dan aku bersandar lemah di kursi.
Tangannya masih menutupi wajah, dan ia masih tak bergerak, bagai patung batu.
Akhirnya ia mendongak, matanya mencari-cari mataku,
penuh dengan pertanyaannya sendiri.
"Kau sudah siap pulang?" tanyanya.
"Ya, aku siap," aku mengiyakan, amat sangat
bersyukur dapat pulang bersamanya. Aku belum siap berpisah dengannya.
Pelayan muncul seolah ia telah dipanggil. Atau
memerhatikan.
"Jadi bagaimana?" ia bertanya kepada
Edward. "Kami mau bayar, terima kasih." Suaranya tenang, agak serak,
masih tegang oleh obrolan tadi. Sepertinya ini membuat si pelayan bingung.
Edward mendongak, menunggu.
"T-tentu," ujar pelayan itu terbata-bata.
"Ini dia." Ia mengeluarkan folder kulit kecil dari saku depan celemek
hitamnya dan menyerahkannya pada Edward. Ternyata Edward sudah menyiapkan
uangnya. Ia menyelipkannya ke folder itu dan menyerahkannya lagi pada si
pelayan.
"Simpan saja kembaliannya." Edward
tersenyum, lalu bangkit. Aku ikut berdiri dengan susah payah. Ia tersenyum
menggoda lagi kepada Edward. "Semoga malammu menyenangkan."
Edward tidak berpaling dariku ketika mengucapkan
terima padanya. Aku menyembunyikan senyumku.
Ia berjalan dekat di sisiku menuju pintu, masih
berhatihati agar tidak menyentuhku. Aku teringat ucapan Jessica tentang
hubungannya dengan Mike, bagaimana mereka nyaris sampai ke tahap ciuman. Aku
menghela napas.
Edward sepertinya mendengar, dan ia menunduk
penasaran. Aku memandang trotoar, bersyukur karena ia sepertinya tidak bisa
mengetahui apa yang kupikirkan. Ia membukakan pintu untukku dan menunggu sampai
aku masuk, lalu menutupnya dengan lembut.
Aku memerhatikannya memutar ke depan, masih mengagumi
keanggunannya. Barangkali seharusnya aku sudah terbiasa dengan itu
sekarang—tapi nyatanya belum. Firasatku mengatakan tak seorang pun akan pernah
terbiasa dengan Edward.
Begitu masuk ke mobil ia menyalakan mesin dan pemanas
hingga maksimal. Udara dingin sekali, dan kurasa cuaca bagusnya sudah berakhir.
Meski begitu aku merasa hangat dalam balutan jaketnya, menghirup aromanya
ketika kupikir ia sedang tidak melihat.
Edward mengeluarkan mobilnya dari parkiran,
sepertinya tanpa melirik, berputar menuju jalan tol.
"Sekarang," katanya, "giliranmu."
Penutup Novel Twilight – Port
Angeles Bab 43
Gimana Novel twilight – Port Angeles Bab 43 ? keren kan ceritanya.
Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan
khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik
tombol nvaigasi bab di bawah ini.
0 comments: