Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 42 yang dipersembahkan oleh
Admin white novel. Semoga bisa memberi hiburan, insipirasi dan
solusi bagi setiap masalah yang kamu hadapi.
Baca Novel Twilight – Port Angeles Bab 42
Tapi kemudian si pelayan muncul membawa pesananku.
Aku menyadari tanpa sadar kami telah mencondongkan tubuh kami ke tengah, karena
kami langsung duduk tegak lagi ketika si pelayan datang. Ia menaruh makanan itu
di depanku—sepertinya lumayan enak—dan langsung berbalik menghadap Edward.
"Apakah kau berubah pikiran?" tanyanya.
"Kau tak ingin kubawakan sesuatu?" Aku mungkin saja membayangkan
makna ambigu dalam kata-katanya.
"Tidak, terima kasih, tapi kau boleh membawakan
soda lagi.” Dengan tangan pucatnya yang jenjang ia menunjuk gelasku yang
kosong.
“Tentu." Ia menyingkirkan gelas-gelas kosong
dari meja dan berlalu.
"Apa katamu tadi?" tanya Edward
"Aku akan menceritakannya di mobil.
Kalau..." aku berhenti.
"Ada syaratnya?" Ia mengangkat satu
alisnya, suaranya terdengar waswas.
"Tentu saja aku punya beberapa pertanyaan."
"Tidak masalah."
Si pelayan kembali dengan dua gelas Coke. Kali ini ia
meletakkannya tanpa bicara, lalu pergi.
Aku menyesapnya.
“Well, ayo
mulai,” ia mendesakku, suaranya masih tegang.
Aku memulai dengan yang paling sederhana. Atau
begitulah menurutku. "Kenapa kau berada di Port
Angeles?"
Ia menunduk, perlahan-lahan melipat tangannya yang besar di
meja. Meski menunduk, bisa kulihat matanya berkilat menatapku dari balik bulu
matanya, menandakan ia mengejekku. "Berikutnya."
"Tapi itu yang paling mudah," ujarku
keberatan.
"Berikutnya," ia mengulangi perkataannya.
Aku menunduk, kesal. Kuambil garpu dan dengan
hatihati membelah ravioli-nya. Pelan-pelan aku memasukkannya ke mulut, masih
menunduk, mengunyah sambil berpikir. Jamurnya enak. Aku menelan dan menyesap
Coke lagi sebelum mendongak.
"Oke, kalau begitu." Aku memandangnya
marah, dan perlahan melanjutkan pertanyaan.
"Katakan saja, secara hipotesis tentu saja,
seseorang... bisa mengetahui apa yang dipikirkan orang lain, membaca pikiran,
kau tahu—dengan beberapa pengecualian."
"Hanya satu pengecualian," ia meralatku,
“secara hipotesis.”
"Baik kalau begitu, dengan satu pengecualian.
Aku senang ia bersedia meladeniku. tapi aku berusaha terlihat kasual
"Bagaimana cara kerjanya? Apa saja batasanbatasannya?
Bagaimana bisa... seseorang... menemukan orang lain
pada saat yang tepat? Bagaimana kau bisa tahu dia sedang dalam kesulitan?"
Aku bertanya-tanya apakah pertanyaanku yang kusut ini bisa dimengerti.
"Secara hipotetis?" tanyanya.
"Tentu saja."
"Well,
kalau... seseorang itu..."
"Sebut saja dia Joe," aku mengusulkan. Ia
tersenyum ironis.
"Ya sudah. Kalau Joe memerhatikan, pemilihan
waktunya tak perlu setepat itu." Ia menggeleng, memutar bola matanya.
"Hanya kau yang bisa mendapat masalah di kota
sekecil ini. Kau bisa membuat angka tindak kriminal meningkat untuk kurun waktu
satu dekade, kau tahu itu."
"Kita sedang membicarakan kasus secara
hipotetis," aku mengingatkannya dengan nada dingin.
Ia tertawa, matanya hangat.
"Betul juga," sahurnya menyetujui.
"Bisakah kita memanggilmu Jane?"
"Bagaimana kau bisa tahu?" tanyaku, tak
mampu membendung rasa penasaranku. Aku menyadari telah mencondongkan tubuhku ke
arahnya lagi.
Sepertinya ia bergidik, disiksa dilema yang
berkecamuk dalam batinnya. Kami bertatapan, dan kurasa ia sedang membuat
keputusan, mengatakan yang sejujurnya atau tidak.
“Kau tahu, kau bisa memercayaiku," gumamku.
Tanpa berpikir aku mengulurkan tangan dan menyentuh tangannya yang terlipat,
tapi ia langsung menariknya, begitu juga aku.
"Aku tak tahu apakah aku masih punya
pilihan."
Suaranya nyaris seperti bisikan. "Aku salah –
kau lebih teliti daripada yang kukira." "Kupikir kau selalu
benar."
"Biasanya begitu." Ia kembali menggeleng.
"Aku juga salah menilaimu mengenai suatu hal. Kau bukan daya tarik
terhadap kecelakaan—penggolongan itu tidak cukup luas.
Kau daya tarik terhadap masalah. Kalau ada sesuatu
yang
berbahaya dalam radius sepuluh
mil, masalah itu selalu bisa menemukanmu.”
"Dan kau menempatkan dirimu sendiri dalam
kategori itu?" tebakku.
Raut wajahnya berubah dingin, tanpa ekspresi.
"Tak salah lagi."
Kuulurkan tanganku sekali lagi—mengabaikan ketika ia
mencoba menariknya—dan dengan hati-hati menyentuh punggung tangannya. Kulitnya
dingin dan keras, seperti batu.
"Terima kasih." Suaraku benar-benar tulus.
"Sudah dua kali kau menyelamatkanku."
Ketegangan di wajahnya mencair. "Jangan ada yang
ketiga kali, oke?"
Aku cemberut, tapi mengangguk. Ia menarik tangannya
dan menaruhnya di bawah meja. Tapi ia mencondongkan tubuhnya ke arahku.
"Aku membuntutimu ke Port Angeles," akunya
terburuburu.
"Aku tak pernah menjaga seseorang sebelumnya,
dan ini lebih merepotkan dari yang kusangka. Tapi barangkali itu hanya karena
itu adalah kau. Orang normal sepertinya bisa melewati satu hati tanpa mengalami
begitu banyak bencana." Ia berhenti.
Aku bertanya-tanya apakah seharusnya aku merasa
terganggu mengetahui ia membuntutiku: tapi sebaliknya aku malah senang. Ia
menatapku, barangkali bertanya-tanya mengapa aku tibatiba tersenyum.
"Pernahkah kau berpikir mungkin takdir telah
memilihku sejak pertama, pada insiden van
itu, dan kau malah mencampurinya?" tanyaku berspekulasi, mengalihkan
kecurigaanku.
"Itu bukan yang pertama," katanya, suaranya
sulit didengar. Aku menatapnya terpana, tapi ia menundukkan kepala.
"Takdir pertama kali memilihmu ketika aku bertemu denganmu."
Aku merasakan sekelumit perasaan ngeri mendengar
kata-katanya, ditambah ingatan akan tatapan kelam matanya yang
sekonyong-konyong hari itu... tapi perasaan aman yang sangat hebat berkat
kehadirannya mengenyahkan semuanya. Ketika ia mendongak untuk menatap mataku,
tak ada secercah pun rasa takut di dalamnya.
"Kau ingat?" tanyanya, wajahnya yang tampan
berubah serius.
Penutup Novel Twilight – Port
Angeles Bab 42
Gimana Novel twilight – Port Angeles Bab 42 ? keren kan ceritanya.
Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan
khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik
tombol nvaigasi bab di bawah ini.
0 comments: