Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 41 yang dipersembahkan oleh
Admin white novel. Semoga bisa memberi hiburan, insipirasi dan
solusi bagi setiap masalah yang kamu hadapi.
Baca Novel Twilight – Port
Angeles Bab 41
Aku hendak duduk, tapi Edward menggeleng.
"Barangkali ada tempat yang lebih pribadi?"
desaknya lembut.
Aku tak yakin, tapi sepertinya Edward menyelipkan tip
ke tangan si cewek. Aku tak pernah melihat ada orang yang menolak tawaran meja
kecuali di film-film lama.
"Tentu." Ia juga tampak sama terkejutnya
dengan aku.
Ia berbalik dan memandu kami ke deretan booth, semua
kursinya kosong.
"Bagaimana dengan yang ini?"
"Sempurna." Edward memamerkan senyumnya
yang memukau, membuat cewek itu sesaat terpana.
"Mmm"—ia menggeleng, matanya
mengerjap—"pelayan kalian akan segera datang." Ia berlalu dengan
langkah sempoyongan.
"Kau seharusnya tidak melakukan itu pada
orang-orang," aku mengkritiknya. "Tidak adil."
"Melakukan apa?"
"Membuat mereka terpesona seperti itu—barangkali
sekarang dia sedang sesak napas di dapur." Ia tampak bingung.
"Oh, ayolah," aku berkata ragu. "Kau
pasti tahu bagaimana reaksi orang terhadapmu."
Ia memiringkan kepala, sorot matanya penasaran. “Aku
membuat orang terpesona?"
"Kau tidak sadar? Kaupikir orang bisa jadi
seperti itu dengan mudahnya?"
Ia mengabaikan pertanyaanku. "Apakah aku membuatmu
terpesona?"
"Sering kali," aku mengakuinya.
Pelayan datang, wajahnya penuh harap. Cewek tadi
pasti sudah bercerita di belakang, dan cewek yang baru datang ini tidak tampak
kecewa. Ia menyelipkan helaian rambut hitam pendeknya di belakang telinga dan tersenyum
dibuat-buat.
"Hai. Namaku Amber, dan aku akan menjadi pelayan
kalian malam ini. Kalian mau minum apa?' Tentu saja aku menyadari ia hanya
bertanya kepada Edward.
Edward memandangku.
"Aku mau Coke." Jawabanku lebih terdengar
seperti bertanya. "Dua," kata Edwatd.
"Aku akan segera kembali
dengan pesanan kalian," ia meyakinkan Edward sambil lagi-lagi tersenyum
dibuat-buat. Tapi Edward tidak memandangnya. Ia sedang memerhatikanku.
"Kenapa?" tanyaku ketika si pelayan
berlalu. Pandangannya terpaku di wajahku. "Bagaimana perasaanmu?”
"Aku baik-baik saja," jawabku, terkejut
karena kesungguhan hatinya.
"Kau tidak merasa pusing, sakit,
kedinginan...?"
"Apakah harusnya aku merasa seperti itu?"
Ia tergelak mendengar kebingunganku.
"Well,
sebenarnya aku menunggumu syok." Senyum lebar mengembang di wajahnya.
"Kupikir itu tidak bakal terjadi," kataku
setelah bisa bernapas lagi.
"Aku selalu pandai menahan diri bila terjadi
hal-hal tidak menyenangkan."
"Sama, aku akan merasa lebih baik kalau kau
makan sesuatu atau minum yang manis-manis.”
Pucuk dicinta ulam tiba, si pelayan muncul membawa
minuman kami dan sekeranjang roti Prancis. Ia berdiri memunggungiku sambil
menaruh barang-barang bawaannya di meja.
"Kau sudah mau memesan?" tanyanya pada
Edward. “Bella?” tanya Edward. Si pelayan dengan enggan berbalik menghadapku.
Aku memilih makanan pertama yang kulihat di menu.
"Mmm... aku mau mushroom ravioli." "Kau?" ia berbalik lagi
sambil tersenyum.
"Aku tidak pesan." kara Edward. Tentu saja.
"Panggil aku kalau kau berubah pikiran."
Senyum malumalu masih mengembang di bibirnya, tapi Edward tidak melihatnya, dan
si pelayan pergi meninggalkan kami dengan perasaan kecewa.
"Minum," ia menyuruhku.
Kusesap sodanya dengan paruh, lalu minum lagi lebih
banyak. Aku terkejut menyadari betapa hausnya aku. Aku baru sadar telah
menenggak habis minumanku ketika ia mendorong gelasnya ke arahku.
"Terima kasih," gumamku, masih haus. Rasa
sejuk soda yang dingin itu masih terasa di dadaku, membuatku gemetaran.
"Kau kedinginan?"
"Tidak, hanya Coke yang kuminum," aku
menjelaskan, kembali gemetaran.
“Kau tidak punya jaket?" suaranya tidak puas
dengan penjelasanku.
“Punya." Aku memandang kursi kosong di
sebelahku.
“Oh—ketinggalan di mobil Jessica," aku tersadar.
Edward menanggalkan jaketnya. Tiba-tiba aku menyadari
tak sekali pun aku pernah memerhatikan pakaian yang dikenakannya—bukan hanya
malam ini, tapi sejak awal. Sepertinya aku tak bisa berpaling dari wajahnya.
Namun sekarang aku melihatnya, benar-benar memerhatikannya.
Ia menanggalkan jaket kulit warna krem muda; di balik
jaketnya ia mengenakan sweter turtleneck kuning gading. Sweter itu amat pas di
tubuhnya, memperjelas bentuk dadanya yang kekar.
Ia memberikan jaketnya padaku, mengalihkan kerlingan
mataku.
"Terima kasih," kataku lagi, sambil mengenakan
jaketnya. Rasanya sejuk—seperti ketika pertama kali memakai jaketku di pagi
hari.
Aku kembali gemetaran. Aromanya menyenangkan. Aku
menghirupnya, mencoba mengenali aroma itu. Tidak seperti aroma kolonye.
Lengannya kelewat panjang; aku harus mendorongnya naik supaya tanganku
kelihatan.
"Warna biru itu kelihatan indah di
kulitmu," katanya memerhatikan. Aku terkejut; lalu menunduk, wajahku
memerah tentu saja.
Ia menyorongkan keranjang rotinya ke arahku.
"Sungguh, aku tidak merasa syok," protesku.
"Kau seharusnya syok—seperti umumnya orang
normal.
Kau bahkan tidak terlihat gemetaran." Ia tampak
khawatir.
Ia menatap ke dalam mataku, dan aku melihat betapa
matanya terang, lebih terang daripada yang pernah kulihat, cokelat keemasan.
"Aku merasa sangat aman denganmu," ujarku,
begitu terkesima hingga mengatakan yang sebenarnya lagi.
Perkataanku membuatnya tidak nyaman; alisnya yang
berwarna pualam mengerut. Ia menggeleng, wajahnya cemberut.
"Ini lebih rumit daripada yang
kurencanakan." gumamnya pada diri sendiri.
Aku mengambil roti dan menggigit ujungnya, sambil
menebak ekspresinya. Aku bertanya-tanya kapan saat yang tepat untuk mulai
bertanya padanya.
"Biasanya suasana hatimu lebih baik bila warna
matamu terang." ujarku, mencoba mengalihkannya dari pikiran apa pun yang
membuatnya cemberut dan murung.
Ia menatapku, terkesima. "Apa?"
"Kau selalu lebih pemarah ketika matamu berwarna
hitam—tadi kupikir matamu berubah kelam," lanjutku. Aku punya teori
tentang itu. Matanya menyipit. "Teori lagi?"
"Mm-hm." Aku mengunyah sepotong kecil roti,
berusaha terlihat cuek.
"Kuharap kau lebih kreatif kali ini... atau kau
masih mengutip dari buku-buku komik?" Senyumnya mengejek, namun tatapannya
masih tegang.
"Well,
tidak, aku tidak mendapatkannya dari komik, tapi aku juga tidak menduga-duganya
sendiri," aku mengakui.
"Dan?" sambarnya.
Penutup Novel Twilight – Port
Angeles Bab 41
Gimana Novel twilight – Port Angeles Bab 41 ? keren kan ceritanya.
Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan
khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik
tombol nvaigasi bab di bawah ini.
0 comments: